Rencana Pemerintah Indonesia memberikan ‘pinjaman’ kepada International Monetary Fund (IMF) untuk memperkuat permodalan lembaga tersebut dinilai bodoh. Pasalnya, Indonesia dinilai malah menghidupkan kembali semangat untuk dijajah.
Menurut Koordinator Indonesia for Global Justice, Salamuddin Daeng, sumbangan yang diberikan oleh negara-negara berkembang untuk lembaga keuangan Internasional itu hanya akan menguntungkan bank-bank dan korporasi besar saja.
“Bank-bank swasta Jerman dan Perancis adalah pemilik 70 persen dari total uang Yunani,” kata Daeng, di Jakarta, Minggu (1/7).
Menurutnya, utang IMF kepada Yunani pada akhirnya akan digunakan untuk membayar utang kepada bank swasta itu. Ia mengatakan resep ekonomi IMF pada 1998 di Indonesia telah menyebabkan beralihnya utang swasta menjadi utang pemerintah.
“Rakyat di negara penerima hutang akan menanggung beban krisis lewat pemotongan anggaran sosial dan pembayaran utang, ini jelas tidak akan membantu negara yang kena krisis,” kata Daeng
Dengan kata yang lebih sederhana, lanjut Daeng, uang dari Indonesia yang berasal dari uang rakyat melalui APBN pindah ke tangan korporasi dan bank swasta untuk membuat beban negara-negara lain.
“Uang itu hanya untungkan negara maju, SBY enggak mau belajar kesalahan masa lalu dan rakyat yang menanggung ulah IMF,” kata Daeng.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Ray Rangkuti mengatakan sudah selayaknya pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakannya. “Jangan sampai rakyat lagi yang menjadi korban,” kata Ray.
Sementara Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi Masinton Pasaribu mengatakan SBY seharusnya mendukung pembubaran IMF. “Bukan malah dikasih nyawa lagi. IMF ini hanya dibentuk oleh negara maju untuk melakukan penetrasi ke negara-negara berkembang. Ini wujud VOC yang lintas negara,” katanya.
Jumlah ‘pinjaman’ Indonesia ke IMF tidaklah sedikit. Pemerintah mengatakan akan memberikan US$1 miliar atau sekitar Rp9,4 triliun. Uang tersebut akan digunakan untuk menanggulangi krisis ekonomi di Eropa dan dampaknya di negara berkembang. (mediaindonesia.com, 1/7/2012)