[Edisi 424] (Catatan Kritis atas RUU Pornografi)
Jika tidak ada aral melintang, bulan Oktober ini, DPR akan mengesahkan RUU Pornografi menjadi UU Pornografi. Sedianya, seperti banyak diberitakan, RUU ini disahkan pada 23 September lalu. Namun, tiba-tiba rencana tersebut batal.
Sebagaimana diberitakan Republika (6/10), pembahasan RUU Pornografi kembali dimulai Senin lalu dengan rapat pimpinan DPR. Pada 10 Oktober ini, pembahasan dilanjutkan dengan rapat untuk mendengar laporan dari panitia kerja.
Sementara itu, Polri dan Kejaksaan Agung telah menyatakan dukungannya untuk mengawal penerapan RUU Pornografi, yang naskahnya sesuai dengan naskah terakhir tanggal 4 September 2008. Ketua Panitia Khusus RUU Pornografi, Balkan Kaplale, menyatakan, dengan dukungan itu, masyarakat tidak perlu khawatir soal pemberlakuan RUU itu nantinya (Republika, 6/10).
Kritik Terhadap RUU Pornografi
Tanpa mengurangi semangat untuk menolak segala bentuk budaya porno yang melatarbelakangi RUU Pornografi ini, ada sejumlah catatan sekaligus kritik terhadap subtansi maupun isinya. Dari sisi subtansi, paling tidak ada dua hal yang perlu dikritisi.
Pertama: RUU ini telah mengalami perubahan, yakni dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP) menjadi RUU Pornografi. Perubahan ini jelas kontraproduktif sekaligus kontradiktif (bertentangan) dengan semangat awal untuk memberantas dan menghapus segala bentuk kepornoan. Penghapusan kata anti pada judul RUU memberikan kesan, bahwa RUU ini hanya akan mengatur pornografi, dan bukan berniat menghapuskannya.
Adapun penghapusan kata pornoaksi mengandung pengertian, bahwa yang diatur hanyalah pornografi (media/sarana yang mengandung unsur kepornoan), sementara pornokasi (perilaku porno seperti cara berpakaian yang mengumbar aurat ataupun tindakan porno lainnya di tempat umum) tidak diatur alias dibiarkan. Karena itu, alih-alih pornografi dan pornoaksi akan lenyap, dengan disahkannya RUU Pornografi ini menjadi UU, pornografi dan pornoaksi mungkin malah akan semakin berkembang.
Kedua: Tidak digunakannya hukum Allah (syariah Islam) sebagai standar. Akibatnya, RUU ini terjebak dalam tarik-ulur yang berlarut-larut karena mengikuti kehendak masyarakat yang pro maupun yang kontra terhadap RUU ini. Pada akhirnya, RUU ini cenderung merupakan hasil kompromi dari dua kehendak yang saling bertentangan satu sama lain.
Adapun dari sisi isi, beberapa cacat utama RUU Pornografi ini—yang sebetulnya merupakan konsekuensi dari dua faktor subtansial di atas—antara lain adalah:
Pertama, masalah definisi. Dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan: Pornografi diartikan sebagai: adalah materi seksualitas yang dibuat manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar kesusilaan masyarakat.
Pasal ini saja mengandung sejumlah masalah:
Yang termasuk dalam cakupan pornografi menurut RUU ini hanyalah materi seksualitas yang mengandung unsur: (a) yang dapat membangkitkan hasrat seksual, dan/atau (b) melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam mayarakat. Pengertian ini masih belum konkret sehingga bisa menimbulkan macam-macam penafsiran masing-masing orang. Misal: Apa batasan ‘membangkitkan hasrat seksual’ itu dan siapa yang berhak menentukan kriterianya? Apa yang dijadikan sebagai standar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat? Masyarakat yang mana? Bukankah di Indonesia terdapat banyak suku dan budaya yang memiliki standar nilai kesusilaan yang berbeda-beda?
Dalam pasal-pasal berikutnya memang dijelaskan beberapa jenis materi pornografi yang dilarang. Namun, materi pornografi yang dilarang itu sangat sempit dan sedikit sehingga memberikan peluang bagi lolosnya banyak materi pornografi di masyarakat.
Pengertian pornografi dalam RUU ini juga mencakup ’pertunjukan di muka umum’. Tampaknya pengertian tersebut berusaha mencakup wilayah ’pornoaksi’. Akan tetapi, jangkauannya amat sempit karena yang disebutkan hanya ’pertunjukan’ saja. Berbagai tindakan lain yang termasuk dalam ’pornoaksi’ (seperti cara berpakaian yang mengumbar aurat di tempat umum, berpelukan dan berciuman di tempat umum, dll) tidak bisa dijerat dalam RUU ini.
Kedua: masalah larangan. Ada sejumlah larangan dalam RUU ini yang juga bermasalah. Dalam Pasal 4 ayat 1, misalnya, disebutkan: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: (e) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, (f) kekerasan seksual, (g) masturbasi atau onani, (h) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, atau (i) alat kelamin.
Menurut pasal ini, materi seksual yang dikategorikan sebagai pornografi hanya menyangkut lima perkara, yang semuanya hanya berkisar pada kelamin saja (persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, dan alat kelamin). Ini berarti, materi pornografi selain yang disebutkan itu tidak termasuk dalam kategori pornografi yang dilarang. Kesimpulan ini juga sejalan pasal 13 ayat 1.
Dengan demikian, mempertontonkan beberapa anggota tubuh lainnya yang juga dapat membangkitkan hasrat seksual seperti paha, pinggul, pantat, pusar, perut dan payudara perempuan tidak termasuk dalam pornografi yang dilarang. Kategorisasi demikian tentu sangat membahayakan dan merusak kehidupan masyarakat. Akan muncul banyak produk dan perbuatan porno secara bebas tanpa takut diusik siapapun karena telah mendapatkan legalisasi dari RUU ini. Perempuan yang terbiasa mempertontonkan beberapa anggota tubuhnya seperti paha, pinggul, pantat, pusar, perut, dan payudara, misalnya, menjadi semakin merasa aman. Demikian juga berbagai tindakan yang membangkitkan hasrat seksual seperti tarian erotis, berciuman, berpelukan, dan sebagainya.
Ketiga: masalah pembatasan. Dalam RUU ini juga ada sejumlah pembatasan yang juga bermasalah. Dalam pasal 14, misalnya, disebutkan: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya (b) adat istiadat, dan (c) ritual tradisional.
Pembatasan ini tentu berbahaya. Bagaimana mungkin dengan alasan itu, materi seksualitas dapat dibuat, disebarluaskan dan digunakan? Apalagi tidak ada batasan yang jelas mengenai materi seksualitas yang dimaksud. Seni dan budaya yang mengantarkan pada kerusakan moral masyarakat seharusnya dilarang, bukan malah dikecualikan dari larangan pornografi. Bukankah selama ini pornografi dan pornoaksi dapat merajalela di tengah masyarakat justru sering atas nama seni, budaya, olahraga dan semacamnya? Demikian juga dalam adat-istiadat dan ritual tradisional. Tugas Pemerintah di antaranya justru melakukan bimbingan dan menumbuhkan kesadaran pada masyarakat yang memiliki adat-istiadat dan ritual tradisional yang menyimpang, bukan malah justru melegalisasinya dengan UU.
Menghapus Budaya Porno dengan Syariah Islam
Sebetulnya masih banyak hal yang perlu dikritisi dalam RUU Pornografi ini. Namun yang pasti, semua itu harus dikembalikan pada ajaran dan hukum Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk negeri ini. Pertama: Pornografi dan pornoaksi adalah kemungkaran yang harus dilenyapkan; bukan diatur, apalagi dilegalisasi.
Kedua: Islam memang tidak secara khusus memberikan pengertian tentang pornografi. Namun, Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ»
Janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki lain dan jangan pula wanita melihat aurat wanita lain (HR Muslim).
Adapun aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan mahram-nya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Janganlah para wanita menampakkan perhiasan (aurat)-nya kecuali yang biasa tampak padanya (QS an-Nur [24: 31).
Ibn Abbas menafsirkan frasa ’yang biasa tampak padanya’ adalah wajah dan kedua telapak tangan. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
«
إِنَّ الْجَارِيَةَ إَذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ وَجْهُهَا وَ يَدَاهَا إَلَى الْمَفْصَلِ»
Sesungguhnya seorang anak gadis itu, jika telah haid (balig), tidak boleh tampak darinya kecuali wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangannya (HR Abu Dawud).
Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak, terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak. Di samping itu, pakaian yang dikenakan para wanita di tempat umum sudah ditentukan yakni: jilbab (QS al-Ahzab [33]; 59) dan kerudung (QS an-Nur [24]: 31). Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornografi.
Ketiga: Islam juga melarang beberapa perilaku yang berkaitan dengan tata pergaulan pria dan wanita. Di antaranya Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), ber-khalwat (berdua-duaan) dengan wanita bukan mahram (apalagi berpelukan dan berciuman), ber-ikhtilât (bercampur-baur antara pria-wanita), dan segala perbuatan yang dapat mengantarkan pada perzinaan. Ketentuan itu berlaku umum. Seni budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional tidak termasuk dalam alasan yang dibenarkan syar’i untuk membolehkan pornografi dan pornoaksi dilakukan di tengah kehidupan masyarakat. Perkecualian hanya disandarkan pada ketentuan syariah, seperti dalam kesaksian dalam pengadilan dan pengobatan. Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornoaksi.
Wahai kaum Muslim:
Islam tidak mentoleransi berkembangnya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Segala tindakan yang dapat mengantarkan masyarakat pada perzinaan dan hancurnya akhlak masyarakat wajib dienyahkan dari kehidupan.
Karena itu, sekali lagi kita diingatkan tentang betapa pentingnya negeri ini menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam tata hubungan pria-wanita (seperti kewajiban menutup aurat di depan umum, keharaman ber-khalwat dan ber-ikhtilât, larangan atas pornografi dan pornoaksi serta segala hal yang bisa mengantarkan pada perzinaan). Hanya dengan syariah Islamlah masyarakat akan menjadi baik, beradab, bermartabat dan diridhai Allah SWT. []
Komentar:
Presiden Ekuador: Krisis Amerika Bukti Kegagalan Sistem Kapitalis (Hidayatullah.com, 6/10/2008).
Saatnya sistem Islam tampil dan Khilafah Islam memimpin dunia.
Semoga Kaum Muslim segera memiliki kesadaran politik Islam dan berjuang menegakkan syariah dan khilafah yang sudah di depan mata. Allahu Akbar!!
Terus Berjuang!! Semoga Allah SWT memberikan pertolongan kepada Kaum Muslim. Amin…!! Allahu Akbar !!
Ummat Islam jangan gentar menghadapi persekongkolan orang-orang kafir dan munafiq. Teruskan perjuangan agar undang-undang yang bernuansa syari’ah bisa diundangkan dinegri ini. Namun bagaimanapun bagusnya undang-undang yang disusun oleh manusia walau bernuansa syari’ah, tidak ada yang bisa menandingi bagusnya undang-undang yang bernana Al-Qur’an dan Al-Hadits. Wahai saudaraku kaum muslimin, hanya khilafah islam yang bisa menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai undang-undang secara kaaffah, agar bisa mengngkat derajat ummat manusia baik muslim maupun non muslim. Mari tingkatkan ukhuwah untuk menegakkan KHILAAFAH ISLAM. Allaahu Akbar 3X.
Hanya Syariah, satu-satunya hukum yang melindungi kesucian laki – laki dan perempuan. Allahu Akbar!!!
Hanya orang tak bersusila yang MENOLAK DISAHKANNYA RUU APP (saya tetap suka menggunakan kata anti pornografi dan pornoaksi).