Oleh: Hafidz Abdurrahman
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, atau dikenali sebagai Rhazes di dunia Barat, merupakan salah seorang pakar sains yang hidup antara tahun 251-313 H/865-925 M. Dia hidup pada zaman Khilafah Abbasiyah, bertepatan pada era delapan Khalifah. Mulai dari Khalifah al-Muntashir (861-862 M) hingga Khalifah al-Muqtadir (902-932 M).
Sebagai ilmuan sekaligus dokter, ar-Razi memberikan panduan kepada murid-muridnya, bahwa tujuan utama para dokter adalah menyembuhkan orang sakit lebih besar ketimbang niat untuk mendapatkan upah atau imbalan materi lainnya. Mereka diminta memberikan perhatian kepada orang fakir, sebagaimana orang kaya maupun pejabat negara. Mereka juga harus mampu memberikan motivasi kesembuhan kepada pasiennya, meski mereka sendiri tidak yakin. Karena kondisi fisik pasien banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya (‘Abdul Mun’im Shafi, Ta’lim at-Thibb ‘Inda al-Arab, hal. 279).
Perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar, bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Perlu dicatat di sini, Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi.
Wazir Ali bin Isa al-Jarrah, yang menjadi wazir di masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M) dan al-Qahir (932-934 M), dan dikenal sebagai wazir yang adil dan ahli hadits yang jujur, juga penulis yang produktif, pernah mengirim surat kepada kepala dokter di Baghdad, “Aku berpikir tentang orang-orang yang berada dalam tahanan. Jumlah mereka banyak, dan tempatnya pun tidak layak. Mereka bisa diserang penyakit. Maka, kamu harus menyediakan dokter-dokter yang akan memeriksa mereka setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara dan mengobati mereka yang sakit.” (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’, hal. 148)
Wazir Ali sendiri dikenal kaya raya. Pendapatannya 700.000 dinar per bulan. Tetapi, dari 700.000 Dinar itu, ia infakkan untuk kemaslahatan umat sebesar 680.000 dinar. Termasuk untuk wakaf dan lain-lain.
Para Khalifah dan penguasa kaum Muslim di masa lalu, bukan hanya mengandalkan anggara negara. Karena mereka juga ingin mendapatkan pahala yang mengalir, maka mereka pun mewakafkan sebagian besar harta mereka untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya. Di masa itu, dikenal istilah Waqf Khida’ al-Maridh (wakaf mengubah persepsi pasien). Sebagai contoh, Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa di zaman Abbasiyah, mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit, yang didirikan di Kairo, yaitu rumah sakit al-Manshuri al-Kabir.
Dari wakaf ini juga gaji karyawan rumah sakit ini dibayar. Bahkan, ada petugas yang secara khusus ditugaskan untuk berkeliling di rumah sakit setiap hari. Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada para pasien, dengan suara lirih yang bisa didengarkan oleh pasien, meski tidak melihat orangnya. Bahkan, al-Manshur al-Muwahhidi, mengkhususkan hari Jumat, seusai menunaikan shalat Jumat, untuk mengunjungi rumah sakit, khusus memberikan motivasi kepada pasien.
Di antara motivasi para penguasa kaum Muslim kepada pasien yang terkenal adalah ungkapan Wazir Ali al-Jarrah, “Mushibatun qad wajaba ajruha khairun min ni’matin la yu’adda syukruha (Musibah yang pahalanya sudah ditetapkan lebih baik ketimbang nikmat yang syukurnya tidak ditunaikan).” []
tegakan syariah dan khilafah dengaN SEMANGAT YANG SELALU BERKOBAR