Jakarta. Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming menuding lembaganya tempat bernaung sebagai tunggangan organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia. Daming menyatakan itu pada saat dirinya memberikan pandangan akhir mengenai Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 65, Selasa (10/7) di Gedung Komnas HAM, Jakarta.
Dalam Sidang Paripurna yang dipimpin Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim tersebut, Daming menolak laporan hasil penyelidikan Tim Adhoc Komnas HAM mengenai pelanggaran HAM 65 yang menyimpulkan bahwa hanya PKI yang menjadi korban pelanggaran HAM Berat.
“Karena justru PKI-Iah sebagai pelaku tak terbantahkan pelanggaran HAM berat!” sanggah Daming lantang.
Kepada mediaumat.com, Daming menyatakan sudah berkali-kali dirinya mengingatkan rekan-rekan sejawatnya itu bahwa dalam peristiwa tahun 1965, korban pelanggaran HAM berat tidak hanya mencakup orang-orang yang dituduh PKI. Tetapi korban juga mencakup orang-orang anti PKI atau masyarakat biasa yang tidak berada pada aliran politik tertentu, namun menjadi korban pelanggaran HAM berat dengan pelaku dari orang-orang PKI atau simpatisannya.
Pakar hukum yang menempuh jalur pendidikan sarjana, magister dan doktor di bidang hukum ini pun menyatakan sangat prihatin dan menyesalkan prakarsa dan niat baik Tim Adhoc untuk mengungkap sejarah hitam yang melingkupi peristiwa pelanggaran HAM berat tahun 1965.
Karena upaya tersebut dinilainya tidak adil, tidak proporsional, dan sangat linier. Hal ini berpotensi menimbulkan persangkaan negatif dari publik yang menilai Komnas HAM hanya melindungi korban pelanggaran HAM berat dari kalangan PKI dan simpatisannya.
“Tak hanya itu, dengan mengikuti hasil penyelidikan tim seperti itu, maka tidak dapat dinafikkan jika Komnas HAM dianggap sebagai kuda tunggangan kebangkitan PKI di Indonesia!” tegasnya dalam sidang yang berlangsung siang tadi.
Karena itu Daming pun menolak hasil penyelidikan Tim Adhoc meski dirinya mengakui fakta pelanggaran HAM berat terjadi di masa itu. Tetapi pelanggaran HAM berat dimaksud tidak dapat diproses secara hukum karena delik yang dipersangkakan, tidak memenuhi unsur pidana lantaran pelaku yang harus bertanggung jawab atas delik tersebut, seluruhnya telah meninggal dunia. “Dengan demikian pertanggung jawaban pidana gugur demi hukum,” tegasnya.
Daming pun memberikan solusi, dengan menyatakan bahwa karena secara de facto, terdapat kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa tersebut meski secara de jure harus gugur karena tidak memenuhi unsur delik.
“Maka untuk mewujudkan keadilan bagi semua pihak, saya mengusulkan agar pengungkapan kasus tersebut dan solusi penyelesaiannya ditempuh melalui mekanisme dalam komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau cara lain,” sarannya.
Namun Daming pun menegaskan agar upaya tersebut tidak lagi hanya terkonsentrasi pada kelompok orang tertentu yang menjadi korban, tetapi juga semua kalangan, termasuk dari kalangan anggota TNI, Polri dan pejabat pemerintahan di masa itu yang turut menjadi korban kebiadaban orang-orang PKI sendiri.
Kuda Troya PKI
Kepada mediaumat.com Daming menjelaskan bahwa saat ini memang banyak pihak dari kalangan simpatisan bekas PKI atau mungkin oknum dari kalangan kader yang beraliran PKI berupaya membangkitkan komunisme atau yang sealiran dengan paham itu dengan berlindung di balik reformasi dan HAM serta demokratisasi.
PKI secara efektif dan substantif telah membangun kekuatannya kembali setelah hancur berpuing-puing sejak dibubarkannya 12 Maret tahun 1966 dan dihancurkan oleh rakyat serta dilarang oleh negara berdasarkan Tap MPRS no XXV/MPRS/1966.
Memasuki reformasi, upaya menghidupkan kembali PKI, telah dilakukan melalui jalur politik yakni usaha mencabut Tap MPRS no XXV/MPRS/1966, dalam sidang umum MPR tahun 2003, melalui jalur hukum, gugatan class action PKI melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat pada Agustus tahun 2005.
Jalur non yudicial pun ditempuh PKI dengan disahkannya UU KKR no 27 tahun 2004, sebagai pintu masuk PKI untuk dapat eksis, jalur pendidikan kurikulum sejarah berbasis kompetensi tidak lagi mencantumkan pemberontakan PKI tahun 1948 & 1965. Dari berbagai upaya tersebut tidak ada yang behasil, kecuali pasal 60 huruf g UU Pemilu tahun 2003.
Saat ini, beber Daming, mereka secara optimal memanfaatkan Komnas HAM sebagai kuda troya untuk mecapai sasaran strategis yakni mencari pijakan yuridis untuk melakukan tuntutan ke Mahkamah Internasional dan tuntutan pemulihan nama baik (rehabilitasi) agar eksistensi PKI dapat hidup kembali, serta tuntutan ganti rugi (kompensasi).
Kejahatan PKI
Daming pun membeberkan kejahatan-kejahatan PKI, di antaranya ialah pada tahun 1948 melakukan pembunuhan massal dan kudeta, perampasan harta benda dan pemerkosaan yang di lakukan di berbagai tempat.
“Hal itu dilakukan atas intruksi petinggi PKI untuk melakukan intimidasi dan penculikan terhadap tokoh atau kiai yang dianggap menghalangi kepentingannya, sampai pada tahun 1965 dan itu terus dilakukannya sebagian timbul perlawanan, seperti kejadian di Banyuwangi, di Madiun, dan pembunuhan para jendral, dan lain-lain,” Daming mencontohkan.
Melihat hasil sidang siang tadi, Daming pun menghela nafas dan menyatakan bahwa nampaknya ada skenario yang dikembangkan oleh eks PKI untuk memutihkankan sejarah hitamnya dengan cara memutus sejarah antar waktu. Padahal tidak ada akibat tanpa sebab.
Sejarah yang diungkap setelah tahun 1965 ternyata tidak mengkaitkan hukum kausalitas sebagaimana kaidah-kaidah keilmuan. Tindakan tersebut merupakan kebohongan intelektual. Dimensi tahun 1965 adalah kasus politik, ideologi, sosial, ekonomi. Tetapi eks PKI hanya dibawah dimensi hukum.
“Langkah yang ditempuh Komnas HAM bersifat patologis dari segi keilmuan, menciderai nilai-nilai kebenaran,” simpulnya. (mediaumat.com, 10/7/2012)