Oleh: Muhammad Bajuri
Pengantar
Khilafah adalah akad seperti halnya akad-akad syar’iy lainnya yang dilakukan oleh dua pihak yang berakad. Oleh karena itu akad khilafah harus dilakukan atas dasar pilihan dan kerelaan dari kedua belah pihak.Lalu, bagaimana mekanisme akad khilafah ini bisa dikatakan selesai sehingga khilafah berpindah dari satu pihak ke pihak yang lain yang berakad, dan menjadikannya memiliki wewenang jabatan khilafah yang berhak untuk ditaatinya?
Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 28, yang berbunyi: “Tidak seorang pun berhak menjadi Khalifah kecuali setelah diangkat oleh kaum Muslim. Dan tidak seorang pun memiliki wewenang jabatan Khilafah, kecuali setelah sepurna akadnya berdasarkan hukum syara’, sebagaimana halnya pelaksanaan akad-akad lainnya di dalam Islam.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 127).
Mekanisme Akad Khilafah
Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar pilihan dan kerelaan dari kedua belah pihak yang berakad, kerena ia merupakan baiat untuk taat kepada seseorang yang mempunyai hak ditaati dalam kekuasaan. Jadi, dalam hal ini harus ada kerelaan dari pihak yang dibaiat untuk memegang tampuk kekuasaan dan kerelaan pihak yang membaiatnya.
Oleh karena itu, apabila seseorang tidak bersedia menjadi khalifah dan menolak jabatan khilafah, maka ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk menerimannya, tapi harus dicarikan orang lain untuk menduduki jabatan tersebut. Demikian pula tidak boleh mengambil baiat dari kaum Muslim dengan kekerasan dan pemaksaan, karena dalam keadaan demikian akad yang dilakukan tidak dianggap sah. Sebab, khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pilihan, tidak boleh ada unsur paksaan atau tekanan sebagaimana pada akad-akad dalam Islam yang lainnya.
Dan, mengingat khilafah merupakan akad, maka tidak akan sempurna tanpa adanya akid, yaitu pihak pertama yang menginginkan akad. Sebagaimana halnya dalam masalah pengadilan (al-qadla’), seseorang tidak sah menjadi qadli kecuali setelah pihak yang berwenang menyerahkan jabatan tersebut kepadanya. Demikian pula dalam masalah pemerintahan, seorang amir tidak sah kecuali setelah jabatan tersebut diserahkan kepadanya oleh pihak yang memiliki wewenang dalam hal ini.
Terkait akad khilafah, seseorang tidak akan menjadi khalifah kalau kaum Muslim, sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, tidak menyerahkan jabatan tersebut kepadanya. Dia akan memiliki wewenang pemerintahan hanya jika pelaksanaan akad khilafah kepadanya berjalan secara sempurna. Akad ini tidak akan terlaksana kecuali adanya dua pihak yang berakad. Pihak pertama adalah orang yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan khalifah. Pihak kedua adalah kaum Muslim yang sepenuhnya rela kepada pihak pertama untuk menjadi khalifah mereka. Oleh karena itu, dalam hal pengangkatan khalifah harus ada baiat dari kaum Muslim (An-Nabhani, Ad-Daulah al-Islâmiyah, hlm. 57; Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II, hlm. 23; Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).
Al-Istikhlâf atau al-‘Ahd
Tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa al-Istikhlâf atau al-‘Ahd merupakan mekanisme syar’iy dalam akad khilafah. al-Istikhlâf atau al-‘Ahd adalah menunjuk orang untuk menjadi khalifah pada saat khalifah sebelumnya masih hidup, kemudian setelah khalifah sebelumnya itu meninggal, maka ia (orang yang ditunjuk tersebut) langsung mengantikannya. Dan, mereka yang berpendapat seperti ini adalah al-Mawardi, an-Nawawi, Ibnu Hazm, al-Qalqasyandi, Ibnu Qutaibah ad-Dainuri, ar-Rafi’i dan lain-lainnya (Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 146).
Sementara, argumentasi mereka yang berpendapat bahwa al-Istikhlâf atau al-‘Ahd merupakan mekanisme syar’iy dalam akad khilafah, terfokus pada dua perkara: Pertama, tidak adanya nash syar’iy atau ijma’ yang melarang akad khilafah dengan al-Istikhlâf. Bahkan akad khilafah melalui wasiat imam (kahlifah) sebelumnya yang telah meninggal merupakan cara yang paling utama dan baik dalam masalah tersebut (Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal, IV/169). Kedua, adanya ijma’ sahabat yang membolehkan akad khalifah melalui penunjukan atau janji (wasiat) dari khalifah sebelumnya. Dalam hal ini al-Mawardi berkata: “Adapun akad khilafah berdasarkan penunjukan atau janji (wasiat) dari khalifah sebelumnya, maka ia merupakan perkara yang telah terdapat ijma’ tentang kebolehannya, serta telah terjadi konsesus mengenai keabsahannya. Bahkan kedua perkara ini telah dipraktekkan oleh kaum Muslim, dan tidak seorang pun yang mengingkari praktek kedua perkara ini.” (al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 10).
Argumentasi pertama itu sangat lemah bahkan tidak memiliki landasan sama sekali. Sebab bagaiman dikatakan tidak ada nash, sementara nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah menjelaskan bahwa mengangkat khalifah merupakan kewajiban kaum Muslim secara syar’iy. Sedang baiat merupakan metode syar’iy dalam mengangkat kepala Negara Islam (khalifah). Allah SWT berfirman:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (TQS. An-Nisâ’ [4] : 59).
Rasulullah saw bersabda:
« لاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ »
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah yang luas, kecuali mereka dipimpin oleh salah seorang dari mereka.” (HR. Ahmad).
Dan sabda Rasulullah saw:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiah (kepada khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa), seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim).
Nash-nash di atas menunjukkan tentang wajibnya kaum Muslim mengangkat seorang pemimpin (imam atau khalifah), serta menunjukkan bahwa metode syar’iy satu-satunya dalam mengangkat pemimpin (imam atau khalifah) bukan dengan penunjukan atau janji (wasiat), melainkan dengan baiat kaum Muslim yang dilakukan atas dasar pilihan dan kerelaan. Sementara klaim tidak adanya ijma’ yang melarang akad khilafah dengan al-Istikhlâf, adalah klaim yang juga tidak memiliki hujjah. Sebab ijma’ sahabat terkait pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah melalui baiat tersebar luas di tengah kaum Muslim, dan tidak satu pun yang mengingkarinya, kecuali mereka yang keras kepala (Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 151).
Adapun klaim adanya ijma’ sahabat yang membolehkan akad khalifah melalui penunjukan atau janji (wasiat) dari khalifah sebelumnya adalah tidak benar, justru ijma’ sahabat menegaskan bahwa mekanisme akad khilafah harus melalui baiat kaum Muslim atas dasar kerelaan dan pilihan setelah musyawarah. Sebagaimana khotbah Umar dalam pembaiatan Abu Bakar:
فَمَنْ بَايَعَ رَجُلاً عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَإِنّهُ لاَ بَيْعَةَ لَهُ هُوَ وَلاَ الّذِي بَايَعَهُ تَغِرّةً أَنْ يَقْتُلاَ
“Siapa saja yang membaiat seseorang tanpa musyawarah di antara kaum Muslim, maka tidak ada baiat baginya dan bagi yang membaiatnya, sebaliknya kedua orang tersebut layak untuk dibunuh.” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, IV/226). Hal ini didengar oleh para sahabat, namun tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.
Dengan demikian, al-Istikhlâf atau al-‘Ahd itu tidak lain kecuali sekedar pencalonan, dan tidak dianggap sebagai mekanisme syar’iy dalam akan khilafah. Sebab satu-satunya mekanisme akad khilafah adalah harus melalui baiat kaum Muslim atas dasar kerelaan dan pilihan (Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 156).
Penekanan, Pemaksaan dan Penguasaan
Dalam hal ini, beberapa fuqaha’ dan ulama telah menetapkan bolehnya akad khilafah melalui penekanan, pemaksaan dan penguasaan. Abu Ya’la al-Farra’ mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu riwayatnya. “Siapa saja yang menguasai mereka dengan pedang, hingga ia menjadi khalifah dan dinamakan Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir bermalam sedang ia tidak melihat imam, baik imam itu baik (adil) atau buruk (zalim).” (al-Farra’, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 23).
Yang benar bahwa mekanisme akad khilafah tidak dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan, sebab khilafah merupakan akad yang dilakukan melalui baiat kaum Muslim atas dasar kerelaan dan pilihan. Sehingga hal itu tidak sah dilakukan dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan, tidak dengan memaksa orang yang dibaiatnya, dan tidak pula memaksa orang yang membaiatnya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233). Rasululah Saw bersabda:
«إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ»
“Sesungguhnya Allah menggugurkan dari umatku (dampak hukum akibat perbuatan yang dilakukan karena) kesalahan, lupa dan terpaksa.” (HR. Ibnu Majah dari jalan Ibnu Abbas).
Begitu juga ketika Rasulullah saw menawarkan dirinya kepada mereka yang diminta nushrah-nya, maka beliau bersabda:
«لاَ أَكْرَهُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَلَى شَيْءٍ مَنْ رَضِيَ مِنْكُمْ بِالَّذِى أَدْعُوْهُ إِلَيْهِ فَذَلِكَ وَمَنْ كَرِهَ لَمْ أَكْرَهُهُ إِنَّمَا أُرِيْدُ أَنْ تَحْرُزُوْنِي فِيْمَا يُرَادُ لِى مِنَ القَتْلِ حَتىَّ أَبْلُغُ رِسَالَةَ رَبِّى»
“Saya tidak akan memaksa seorang pun di antara kalian untuk sesuatu. Barangsiapa yang rela di antara kalian dengan apa yang saya serukan padanya, maka itu pilihannya. Dan barangsiapa yang tidak menyukainya, maka saya tidak akan memaksanya. Sesungguhnya saya hanya ingin kalian menjaga saya dari pembunuhan yang ditujukan pada saya, hingga saya selesai menyampaikan risalah (misi) dari Tuhan saya.” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, III/140).
Sehingga, tidak sah akad khilafah yang diberikan kepada orang yang menekan umat, menguasai pemerintahan, dan memaksa umat dengan pedang agar tunduk pada perintahnya. Sebab hal itu berarti menghancurkan kaidah-kaidah sistem pemerintahan yang dibawa oleh akidah Islam. Di samping hal itu merupakan perbuatan ghashab (pemaksaan), sedang menurut syara’ ghashab itu haram, dan setiap sesuatu yang haram, kaum Muslim wajib menghilangkannya, dan tidak boleh rela dengannya(Khalidi, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam, hlm. 167).
Namun jika orang yang menduduki pemerintahan dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan itu mampu menyakinan masyarakat bahwa kemaslahatan kaum Muslim ada dalam membaiatanya, serta penegakkan hukum-hukum Islam mengharuskan baiat kepadanya, kemudian masyarakat yakin dengan itu dan mereka rela, selanjutnya mereka membaiatnya dengan kerelaan dan pilihan, maka sejak saat itu ia menjadi khalifah, di mana pada saat itu ia dibaiat atas dasar dengan kerelaan dan pilihan, sekalipun pada awalnya ia mengambil kekuasaan dengan penekanan, pemaksaan dan penguasaan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 128).
Dengan demikian, satu-satunya mekanisme akad khilafah yang sesuai syara’ adalah melalui baiat umat yang dilakukan atas dasar pilihan dan kerelaan dari kedua belah pihak. Di mana seseorang tidak berhak menjadi khalifah, kecuali setelah diangkat oleh umat; dan seseorang tidak memiliki wewenang jabatan khilafah, kecuali setelah sepurna akadnya berdasarkan hukum syara’, sebagaimana halnya pelaksanaan akad-akad lainnya di dalam Islam. WalLâhu a’lam bish-shawâb.
Daftar Bacaan
Al-Farra’, Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 2000.
Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an Nihal, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Cetakan II, 1975.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Baiat dalam Persepektif Pemikiran Politik Islam (Terjemahan Muhammad Bajuri), (Bangil:Al-Izzah), Cetakan I, 2002.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizâmul Hukm fil Islâm, (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr), Cetakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizam al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2003.