Rencana Pemerintah untuk memberikan pinjaman ke IMF dengan membeli surat berharga lembaga tersebut senilai satu miliar dollar AS atau setara dengan Rp 9,405 triliun merupakan bagian dari komitmen Indonesia dan negara-negara anggota KTT G20 di Los Cabos, Meksiko, 18-19 Juni 2012 lalu. Dalam pertemuan tersebut para negara anggota sepakat untuk membantu meredakan krisis Eropa yang kini masih berlangsung.
Dengan demikian, kedatangan Lagarde, Direktur IMF ke Indonesia beberapa waktu lalu hanyalah menagih janji dari pemerintah Indonesia. Mengingat pentingnya komitment tersebut, Sri Mulyani Direktur Pelaksana Bank Dunia, bahkan harus ikut meyakinkan pemerintah Indonesia dengan melakukan kunjungan ke Indonesia beberapa hari setelah kunjungan Lagarde.
Upaya IMF untuk menggalang dana dari negara-negara anggotanya merupakan upaya lembaga tersebut untuk memperkuat cadangan likuiditasnya untuk meredakan krisis Eropa saat ini. Komitmen pinjaman dari negara-negara anggota lembaga tersebut yang kini telah mencapai US$ 456 miliar.[i] Meski demikian, biaya untuk mengatasi krisis Eropa bisa jadi lebih besar dari jumlah tersebut sebab sejumlah indikator ekonomi di kawasan tersebut belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan, seperti tingginya angka pengangguran, penerunan ekspor, defisit APBN yang masih menganga, yield obligasi yang makin tinggi masih mewarnai sejumlah negara di kawasan tersebut. Akses mereka pada pinjaman di pasar modal makin sulit sebab resiko memegan surat utang mereka makin tinggi di mata investor seperti Yunani, Italia dan Spanyol. Padahal kebutuhan likuiditas untuk menstimulasi ekonomi di saat krisis menjadi sangat penting.
Kebutuhan likuiditas di kawasan Eropa akan semakin besar sebab sektor perbankan di kawasan tersebut juga mulai kesulitan likuiditas akibat banyak mengoleksi surat utang pemerintah yang nilainya merosot. Di saat yang sama Bank Sentral Eropa tidak dapat berbuat banyak untuk memberikan bantuan likuiditas kepada pemerintah di kawasan tersebut sejumlah penentangan khususnya dari Jerman, negara terkuat di kawasan tersebut. Di sinilah mengapa IMF menjadi tumpuan utama negara-negara yang terkena krisis di kawasan tersebut.
Pinjaman Indonesia
Memang pemberian pinjaman tersebut dilakukan dengan pembelian surat berharga IMF dengan cadangan devisa yang dimiliki oleh BI. Namun yang patut dicatat, pemerintah Indonesia sendiri sebagai pengelola keuangan negara dan bertanggungjawab atas kecukupan modal Bank Indonesia, telah menganggung utang yang sangat besar dimana pembayaran bunganya saja mencapai Rp117 triliun atau 11 % dari total belanja negara APBN-P 2012. Selain itu cadangan devisa Indonesia yang mencapai US$ 110 miliar per Desember 2011, juga masih sangat minim dibandingkan dengan negara-negara seperti China (US$3.181 miliar), Jepang (US$1.326 miliar), Thailand (US$176 miliar) bahkan Malaysia (US$143 miliar) sekalipun. AS saja yang merupakan negara pemilik suara terbesar di IMF tidak termasuk dalam daftar pemberi komitmen pinjaman kepada lembaga tersebut untuk mengatasi krisis Eropa. [ii]
Lebih dari itu, saat ini cadangan devisa Indonesia merosot menjadi US$106 miliar akibat intervensi moneter dan merosotnya surplus transaksi berjalan Indonesia akibat menurunnya volume ekspor di tengah badai krisis Eropa. Padahal di tengah krisis seperti saat ini, cadangan devisa dalam jumlah besar menjadi sangat penting. Cadangan devisa yang kecil jelas akan mengurangi kemampuan moneter Bank Sentral untuk menjaga kurs rupiah agar tetap stabil sebagaimana pengalaman buruk Indonesia pada krisis 1997/8 silam.
Selain itu, rencana pemerintah tersebut justru tidak konsisten dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan cadangan devisanya. Beberapa saat lalu, pemerintah melakukan kesepakatan dari sejumlah negara dan lembaga seperti Jepang Australia, ADB dan Bank Dunia untuk mendapatkan pinjaman stand by loan senilia US$5,5 miliar. Tujuannya untuk memperkuat cadangan devisa sehingga pemerintah memiliki dana untuk mengantisipasi kemungkinan buruk krisis saat ini. Dengan demikian, pemberian pinjaman tersebut tidak dapat difahami kecuali sebagai bentuk ketundukan Indonesia kepada IMF dan bukan sekedar bentuk solidaritas ataupun sekedar menjaga gengsi.
Padahal sebagaimana diketahui, IMF bersama dengan Bank Dunia merupakan lembaga yang mewakili kepentingan negara-negara besar khususnya AS dan Uni Eropa. Hal itu tercermin dari komposisi kuota suara mereka yang dominan di lembaga tersebut. Pemegang suara terbesar adalah AS (16.75%), Jepang (6.23%), Jerman (5.81%), Inggris (4.29%) dan Prancis (4.29%). Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki suara 0.85%.[iii]
Di samping itu, IMF merupakan lembaga keuangan global yang ikut bertanggungjawab atas krisis global dan termasuk krisis yang pernah melanda Indonesia. Bahkan struktur perekonomian Indonesia saat ini merupakan hasil desain dari lembaga tersebut. Sebagaimana diketahui Indonesia telah masuk ke IMF sejak tahun 1957. Di antara resepnya yang paling pahit adalah LoI pasca krisis 1997/8 lalu yang membuat perekonomian Indonesia semakin parah. Kebijak tersebut antara lain: restrukturisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan luar negeri dan investasi, perluasan program privatisasi; penerapan kebijakan nilai tukar yang fleksibel; penghapusan subsidi pemerintah dan penyesuaian harga termasuk tarif listrik dan produk minyak bumi.[iv]
Meski Indonesia tidak lagi memiliki utang ke lembaga tersebut namun desain kebijakan lembaga tersebut terus dipakai hingga saat ini. Akibatnya negara ini semakin liberal dan tunduk pada kepentingan negara-negara asing. Akibatnya rakyat di negara ini terus menurus mengalami penderitaan yang ditandai dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Belum lagi sebagai anggota, pemerintah Indonesia harus ikut menyawer lembaga tersebut dalam bentuk penyertaan modal. Pada LKPP APBN 2011 tercatat penyertaan modal Indonesia ke IMF termasuk dalam bentuk promissory notes mencapai Rp 55 triliun.
Kembali Ke Syariah & Khilafah
Semestinya krisis Eropa menyadarkan pemerintah Indonesia, bahwa sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negara ini termasuk negara-negara yang dianggap perkasa sekalipun seperti AS, Uni Eropa terbukti sangat rapuh dan menyengsarakan. Rapuh karena sistem ini mengandung mekanisme yang merusak dirinya sendiri. Kerusakan tersebut akhirnya harus ditanggung oleh rakyatnya. Krisis Eropa misalnya merupakan dampak dari lilitan utang ribawi yang menjerat sejumlah negara di kawasan tersebut dimana utang dijadikan sebagai penopang untuk membiayai pengeluaran mereka termasuk menalangi lembaga keuangan yang terlibat transaksi spekulatif. Untuk mengurangi beban tersebut rakyat pun dijadikan korban. Pemotongan anggaran belanja negara seperti pemotongan gaji, PHK, pengurangan dana subsidi dan penaikan tarif pajak terus dilakukan. Akibatnya jumlah pengangguran dan pekerja dengan upah minim di kawasan Eropa tersebut meningkat drastis. Jaring Pengaman Sosial tidak lagi banyak membantu.
Oleh karena itu, pemberian pinjaman kepada IMF haram dilakukan. Sebab selain dalam bentuk riba, pemberian bantuan kepada IMF sama halnya memperkuat eksistensi lembaga tersebut untuk menjajah dan mempertahankan sistem kapitalisme. Yang harus dilakukan pemerintah adalah keluar dari keanggotaan IMF termasuk berbagai perjanjian dan forum yang berbasis sistem kapitalisme lainnya seperti G-20 dan WTO. Karena sejatinya perjanjian-perjanjian tersebut pada faktanya hanya menjadikan Indonesia tersubordinasi oleh negara-negara besar yang pada akhirnya merugian rakyat Indonesia. Bukankah Allah swt berfirman: “dan sekali–kali Allah tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang–orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin“.[TQS An Nisaa` (4):141]
Sudah saatnya, Indonesia menjadi negara yang merdeka dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah Rasyidah, sistem yang terpancar dari aqidah Islam. Wallahu a’lam bisshawab. (Muh Ishak)
[i] http://www.imf.org/external/np/sec/pr/2012/pr12231.htm
[ii] http://www.imf.org/external/np/sec/pr/2012/pr12231.htm
[iii] http://www.imf.org/external/np/sec/memdir/members.aspx
[iv] http://www.imf.org/external/np/exr/facts/asia.pdf