Kedutaan Negara Asing Di Negara Khilafah

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Kedutaan, dalam bahasa Arab, disebut Safarah. Kedutaan besar  adalah  kantor perwakilan diplomatik suatu negara yang ditempatkan secara permanen di ibukota negara lain atau lembaga/organisasi internasional (seperti PBB). Pejabat diplomatik tertinggi yang memimpin kedutaan besar disebut duta besar. Adanya keduataan di suatu negara biasanya tidak terlepas dari hubungan yang terjadi di antara keduanya. Jika antara keduanya tidak ada hubungan diplomatik, maka keduanya tidak akan mempunyai kedutaan di masing-masing negara tersebut.

Dalam hubungan diplomatik tersebut ada empat faktor penting: Pertama, adanya hubungan kerjasama antar bangsa/negara yang dituangkan dalam perjanjian, baik bilateral maupun multilateral. Kedua, adanya perwakilan masing-masing banga/negara di negara mitranya, dan diakui sebagi perwakilan resmi. Ketiga, adanya misi/kepentingan timbal balik di antara masing-masing bangsa/negara tersebut. Keempat, adanya hak imunitet yang diberikan kepada duta/perwakilan resmi. Keempat faktor ini selalu ada dalam setiap hubungan diplomatik.

Berdasarkan fakta hubungan diplomatik di atas, maka Negara Khilafah pun tidak mungkin menjalin hubungan diplomatik dengan Negara Kafir Harbi Fi’lan. Karena di antara keduanya sedang terjadi peperangan secara nyata. Biasanya yang terjadi justru sebaliknya, dimana hubungan diplomatik di antara keduanya putus, sehingga duta/perwakilannya pun ditarik, dan kedutaannya pun ditutup. Dengan demikian, hubungan diplomatik yang dilakukan oleh Negara Khilafah dengan Negara Kafir adalah dengan Negara Kafir Harbi Hukman, yang tidak memusuhi dan menyerang kaum Muslim. Mereka adalah Negara Kafir Mu’ahadah, yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah, baik di bidang ekonomi, politik, maupun yang lain. Negara Khilafah akan membuka kedutaan di negara tersebut, demikian juga sebaliknya.

Empat faktor penting dalam hubungan diplomatik di atas juga tetap berlaku di dalam Negara Khilafah. Karena, ini merupakan konvensi umum dalam hubungan diplomatik. Di zaman Nabi saw, ada utusan yang dikirim oleh Musailmah al-Kadzdzab untuk menyampaikan pesan Musailamah kepada Nabi saw. Nabi bersabda, “Andai kalian bukan utusan/duta, tentu kalian sudah aku bunuh.” (H.r. ). Dengan demikian, jelas Islam pun mengakui hak imunitet tersebut.

Hanya saja, siapa yang termasuk dalam kategori utusan/duta tersebut? Menurut Kongres Wina 1961, duta tersebut meliputi: (1) Duta Besar atau Nuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara, dan kepala perwakilan lain yang sama derajatnya; (2) Utusan, Duta dan Internuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara; (3)  Kuasa Usaha (Charge d’affairs) yang diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri. Secara hirarki struktur, duta/utusan tersebut meliputi: (1) Duta Besar; (2)  Minister; (3) Minister Counsellor; (4)  Counsellor; (5)  Sekretaris Pertama; (6)  Sekretaris Kedua; (7)  Sekretaris Ketiga; (8) Atase. Atase itu sendiri terdiri dari Atase Teknik,  Atase Militer,  Atase Kebudayaan,  Atase Pendidikan,  Atase Perdagangan,  Atase Pertanian dan Perburuhan, dan lain-lain.

Jadi, semuanya ini bisa dimasukkan dalam kategori duta/utusan negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Negara Khilafah. Karenanya, mereka berhak mendapatkan hak imunitet, sebagaimana hak yang diberikan kepada duta/utusan (rusul).

Secara umum, urusan kedutaan negara asing di Negara Khilafah, maupun kedutaan Negara Khilafah di Negara Kafir Harbi Hukman, merupakan urusan yang ditangani oleh Departemen Luar Negeri (Dairah Kharijiyyah), yang langsung bertanggungjawab kepada Khalifah. Hanya saja, terkait dengan masalah keamanan di dalam Negara Khilafah, maka ini merupakan kewenangan Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili).

Ini meliputi keberadaan dan fungsi kantor kedutaan mereka di Negara Khilafah, termasuk aktivitas para duta/utusan Negara Kafir Harbi Hukman itu di dalam wilayah Negara Khilafah. Dalam hal ini, Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili) mempunyai kewenangan untuk memonitor dan memata-matai mereka. Termasuk terhadap rakyat Negara Khilafah yang bekerja di kantor perwakilan tersebut. Dengan dua syarat:

1-       Hasil monitoring Departemen Pertahanan (Dairah Harbiyyah) dan Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili) terhadap para pimpinan korp diplomatik Negara Kafir Harbi Hukman tersebut menyatakan, bahwa aktivitas mereka tidak wajar, dan mencurigakan.

2-     Hasil monitoring dua departemen tersebut diserahkan kepada Qadhi Hisbah, kemudian Qadhi Hisbah memutuskan aktivitas mereka berpotensi mengancam kepentingan Islam dan kaum Muslim.

Jika kedua syarat di atas terpenuhi, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili) berhak memata-matai rakyat Negara Khilafah yang bekerja kepada mereka. Karena hukum asalnya memata-matai mereka adalah haram, dan diperbolehkan ketika terbukti mereka menjadi Ahl Ribah, karena aktivitas dan interaksi mereka dengan Negara Kafir Harbi Hukman tersebut dianggap membahayakan Negara Khilafah.

Adapun memata-matai kedutaan Negara Kafir Harbi Hukman di Negara Khilafah hukumnya boleh, karena dianggap berpotensi menimbulkan ancaman terhadap Negara Khilafah. Bahkan aktivitas tersebut wajib dilakukan terhadap Negara Kafir Harbi Fi’lan. Karena hubungan perang yang terjadi antara kita dengan mereka.

Mengenai izin pendirian kedutaan dan bangunan yang digunakan oleh Negara Kafir Harbi Hukman sebagai tempat perwakilan resmi mereka, hal ini semestinya mengacu kepada asas kebutuhan yang ditentukan oleh hubungan diplomatik di antara keduanya.

Besar dan kecilnya gedung perwakilan tersebut sebenarnya mencerminkan kepentingan Negara Kafir Harbi tersebut di Negara Khilafah. Karena itu, Negara Khilafah berhak, dan bahkan wajib membatasi ruang gerak mereka. Juga perlu dicatat, bahwa hubungan diplomatik antara Negara Khilafah dengan Negara Kafir Harbi Hukman ini tidak bersifat permanen. Tetapi, hubungan ini didasarkan kepada perjanjian bilateral antara Negara Khilafah dengan mereka. Dalam perjanjian seperti ini, hadits Nabi hanya memberi tenggat waktu, maksimal 10 tahun. Tidak lebih. Artinya, tidak boleh Negara Khilafah menjalin hubungan diplomatik yang didasarkan pada perjanjian kerjasama tersebut lebih dari 10 tahun. Karena ini akan menyalahi nas, sebagaimana yang ditetapkan dalam Sulh Hudaibiyyah. Ini sekaligus mempertegas, bahwa hukum asal dalam hubungan antara Negara Khilafah dengan Negara Kafir Harbi Hukman ini adalah hubungan perang, bukan hubungan damai.

Dengan demikian, maka kebijakan Negara Khilafah terhadap kantor kedutaan asing tersebut dilihat sebagai “kantor sementara”, bukan “kantor permanen”. Dengan begitu, jika mereka mengajukan izin pembangunan kantor permanen, maka izin tersebut harus ditolak, karena tidak sejalan dengan kebijakan Negara Khilafah terhadap mereka.

Jika kemudian terbukti, bahwa kantor perwakilan ini digunakan untuk melakukan aktivitas yang mengancam kepentingan Negara Khilafah, maka Negara Khilafah bisa melakukan tindakan sebagai berikut:

1-       Menutup kantor kedutaan tersebut.

2-     Mengusir duta/utusan, dan seluruh korp diplomatik yang bekerja di kantor kedutaan tersebut.

3-      Meminta keterangan rakyat Negara Khilafah yang bekerja dengan mereka, yang jika terbukti mereka melakukan tindakan yang mengancam kepentingan Negara Khilafah, maka mereka akan dijatuhi sanksi ta’zir.

4-     Membatalkan perjanjian yang menjadi dasar dibukannya hubungan diplomatik tersebut. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari mereka, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur (sama). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Q.s. al-Anfal [08]: 58)

Ayat ini dengan tegas memberikan opsi kepada kita untuk membatalkan perjanjian yang kita teken dengan mereka, jika mereka terindikasi mengkhianati perjanjian tersebut, atau terindikasi mengancam kepentingan kita. Inilah yang dilakukan terhadap kaum Kafir Quraisy, ketika Sulh Hudaibiyyah baru seumur jagung. Karena dianggap patron politik mereka mengkhianati isi perjanjian ini, meski kaum Kafir Quraisy itu berat hati, tetapi Rasulullah saw. tetap tidak peduli.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*