UU PT dan UU BHP ini memiliki ruh yang sama yaitu liberalisasi pendidikan, yang berbeda hanya kemasannya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengetuk palu persetujuan disahkannya Rancangan Undang-Undang Pependidikan Tinggi (UU PT) menjadi Undang-undang saat sidang Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (13/7), di tengah penolakan substansi RUU oleh berbagai elemen masyarakat. Namun sepertinya pemerintah dan DPR tak peduli.
Berbagai pihak itu di antaranya Forum Rektor, gabungan guru besar, Komite Nasional Pendidikan, organisasi mahasiswa, dan berbagai ormas Islam tetap konsisten menolaknya. Maka patut dipertanyakan, sebenarnya untuk apa dan untuk siapa UU ini disahkan?
Komisi Nasional Pendidikan menyatakan sikapnya terkait disahkannya Rancangan Undang-Undang Pendid ikan Tinggi (RUU PT). Alghiffari Aqsa, anggota Komnas Pendidikan menyatakan, Komnas Pendidikan menolak pengesahan RUU tersebut karena menilai RUU PT merupakan bentuk legitimasi pemerintah untuk mempertahankan sistem ekonomi, politik yang antirakyat.
Alghiffari mengungkapkan, dalam situasi rakyat terbelenggu kemiskinan dan penderitaan, pemerintah dinilai terus melahirkan berbagai kebijakan yang semakin menyengsarakan rakyat. “Pendidikan yang menjadi faktor pendorong bagi kemajuan tenaga produktif justru dijadikan sebagai penguat cengkeraman pemerintah pada perguruan tinggi, dan melegitimasi pendidikan yang antirakyat,” tuturnya.
Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah terkait pendidikan justru hilang arah dan tidak mampu menjawab persoalan rakyat. Sehingga terkesan melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan.
Otonomi dan Liberalisasi
Anggota Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Kusman Sadik menilai paling tidak ada dua pasal yang menjadi inti liberalisasi tersebut, yaitu Pasal 77 dan Pasal 80.
Pada Pasal 77 terdapat pengelompokan status pengelolaan perguruan tinggi, yaitu otonom terbatas, semi otonom, dan otonom. Pada Ayat 4 dan 5 dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa status otonom merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non akademik.
Berarti doctor ini, mereka diberi kewenangan mengelola perguruan tinggi dengan dana sendiri yang tidak lagi tergantung pada subsidi APBN. Tentu saja, lanjutnya, salah satu sumber utama dana mandiri tersebut adalah pembayaran yang dibebankan kepada mahasiswa.
“Hal ini akan mengubah wajah perguruan tinggi dari lembaga pemerintah yang menyediakan pelayanan publik yang berorientasi pada peningkatan ilmu dan pendidikan rakyat menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan bisnis,” imbuhnya.
Sejatinya, menurut Kusman, UU PT dan UU BHP ini memiliki ruh yang sama yaitu liberalisasi pendidikan, yang berbeda hanya kemasannya. Bank Dunia sangat berperan dalam melahirkan UU BHP tersebut melalui program jangka panjang pendidikan tinggi atau yang biasa dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS).
“Untuk program HELTS IV (2003-2010), Bank Dunia telah memberikan pinjaman sebesar US$ 98.267.000 untuk mereformasi sistem pendidikan tinggi ke arah otonomi yang lebih luas. Hasilnya adalah UU BHP itu yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” terangnya.
Maka, menurutnya, ada dua hal krusial yang perlu dicermati dalam RUU PT ini. Pertama masalah kapitalisasi atau komersialisasi pendidikan. “Kedua, terkait dengan legalisasi peran asing dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia,” paparnya.
Legalisasi peran asing, menurut Kusman sangat jelas tersurat pada Pasal 114. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa perguruan tinggi di negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasannya dijabarkan pada ayat 3 yakni prosesnya dilakukan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi Indonsia dan mengangkat dosen serta tenaga kependidikan dari warga negara Indonesia.
Selama ini pemerintah beralasan bahwa dengan mengizinkan perguruan tinggi asing berdiri di Indonesia maka akan memperbaiki daya saing perguruan tinggi dalam negeri. Namun pemerintah seolah melupakan risiko besar yang akan diterima oleh anak-anak negeri ini khususnya generasi Islam. “Penanaman budaya hidup dan ideologi Barat oleh perguruan tinggi asing tersebut,” terangnya.
Tentu saja, negara-negara Barat kapitalisme khususnya AS dan Eropa, tidak sekadar menjajakan sains dan teknologi, namun yang lebih penting bagi mereka adalah mencengkeramkan ideologi kapitalismenya terhadap generasi muda Islam Indonesia.
Faktanya, tutur Kusman, lembaga-lembaga internasional yang berkecimpung di dunia pendidikan, seperti USAid dan Unesco, sangat peduli terhadap propaganda ideologi sekulerisme dan kapitalisme ini khususnya demokrasi. “USAid misalnya, bekerja untuk mengembangkan pemerintahan demokratis dan hak-hak asasi manusia di negara-negara berkembang,” tuturnya.
Dalam UU PT yang baru disahkan ini, Kusman sangat yakin kalau undang-undang ini tidak bisa dilepaskan dari jeratan lembaga-lembaga internasional yang mengintervensi Indonesia untuk meliberalkan sektor pendidikan Indonesia. “Ya, itu saya yakin seribu persen. RUU PT bertujuan meliberalkan sektor pendidikan di Indonesia.”
Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 1995 Indonesia resmi menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Negara-negara anggota WTO diharuskan menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi, serta jasa-jasa lainnya. Jadi RUU PT ini bisa dianggap sebagai wujud ketundukan Indonesia pada GATS.
Realitas intervensi asing terhadap sistem pendidikan di Indonesia, ungkap Kusman, tidak lain merupakan upaya penyempurnaan penjajahan mereka di negeri ini. Sektor ekonomi, pendidikan, dan politik merupakan sektor vital bagi suatu negara.
Menurutnya, apabila ketiga sektor itu telah dikuasai maka secara de facto sebenarnya negara tersebut telah terjajah. Parahnya, para pemimpin di negeri ini justru rela menyengsarakan rakyatnya sendiri demi mengabdi pada negara penjajah.
“Karenanya, seruan membebaskan negeri ini dari cengkeraman sistem kapitalisme penjajah melalui tegaknya syariah dan Khilafah Islamiyah semakin menemukan relevansinya,” tegasnya. (mediaumat.com, 24/7/2012)
Warisan penjajahan ratusan tahun, penerapan lanjutan ideologi Sekulerisme, adopsi Demokrasi-Kapitalisme, menghasilkan generasi rejim budak, kacung, mental-mental manusia Terjajah !