Zohara Khatun masih menderita trauma sejak melihat ayahnya dibunuh di Myanmar barat Juni lalu.
“Ayah saya ditembak oleh militer Myanmar di depan saya. Desa kami dihancurkan. Kami berlari menyelamatkan diri. Saya masih tidak tahu apa yang terjadi pada ibu saya,” kata dia, duduk di pondok di sebuah desa nelayan dekat kota Teknaf di tenggara Bangladesh.
Khatun adalah salah seorang warga muslim Rohingya yang berhasil menyeberang ke Bangladesh setelah kerusuhan di Provinsi Rakhine, Myanmar barat.
Perempuan berusia 30 tahun itu beberapa kali menangis ketika menjelaskan apa yang terjadi di perbatasan.
Ia mengatakan desanya diserang saat terjadi bentrokan antara warga Buddha dan Muslim setempat, yang sebagian besar berasal dari etnis minoritas Rohingya. Hampir 80 orang tewas dalam pertempuran itu dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh pasukan keamanan Myanmar terus melakukan penangkapan masal dan memaksa muslim Rohingya melarikan diri. Situasi darurat yang ditetapkan bulan lalu masih berlaku di banyak wilayah provinsi tersebut.
Tidak ada konfirmasi independen mengenai klaim pembunuhan di luar hukum dan tuduhan-tuduhan lain. Wartawan tidak diberikan akses ke wilayah itu. Namun Myanmar menyangkal pasukan keamanan bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Sejak bentrokan Juni lalu, ribuan pengungsi berusaha memasuki Bangladesh dengan naik perahu menyusuri sepanjang Tanjung Bengal dan menyeberangi sungai Naf yang memisahkan kedua negara.
“Kami terombang-ambing di perairan selama enam hari. Saya tidak bisa memberi makan anak saya selama berhari-hari,” kata Khatun.
“Ketika kami mendekati Bangladesh, kami tidak diizinkan untuk masuk. Kami tidak tahu harus pergi ke mana.”
Saat ini diperkirakan ada 800 ribu muslim Rohingya di Myanmar barat. Pemerintah Myanmar bersikeras Rohingya adalah pendatang dari Bangladesh. Tetapi Dhaka mengatakan mereka adalah warga Myanmar, sehingga mereka tidak diizinkan masuk ke Bangladesh.
Etnis Rohingya sudah tinggal di wilayah bagian barat Myanamr itu sejak ratusan tahun lalu.
Dhaka mengatakan sudah ada 400 ribu warga Rohingya yang tinggal di Bangladesh dan sebagian besar dari mereka adalah pendatang ilegal.
Bangladesh telah menolak 1.500 muslim Rohingya sejak Juni dan mengatakan tidak sanggup menolong mereka. Tetapi ada saja yang berhasil masuk seperti Zohara Khatun.
Muslim Rohingya yang baru datang tinggal dengan warga desa Bangladesh. Mereka takut polisi setempat akan mengirim mereka ke Myanmar jika ketahuan.
Pemerintah Bangladesh sendiri mengatakan mereka bertekad menghentikan arus pendatang Rohingya.
Letkol Zahid Hasan dari pengawal perbatasan Bangladesh menunjukkan bagaimana anggotanya berpatroli di Sungai Naf untuk mencegah warga Rohingya menyusup ke negara mereka.
“Hal ini berdampak langsung pada stabilitas sosial dan juga ekonomi kami. Jika arus pendatang terus terjadi maka masalah stabilitas akan terjadi,” kata Letkol Hassan.
“Kadang-kadang warga Rohingya terlibat perdagangan obat, perdagangan manusia, dan aktivitas-aktivitas antisosial yang berdampak pada stabilitas sosial di wilayah ini.”
Warga Rohingya membantah tuduhan tersebut.
Pengungsi Rohingya menuduh pasukan Myanmar menutup mata ketika desa mereka diserang.
“Suami saya dibunuh dalam kerusuhan itu. Polisi Myanmar hanya menembaki muslim, bukan warga pemeluk Buddha. Militer hanya menonton dari atap dan mereka tidak melakukan intervensi,” kata Sayeda Begum, seorang wanita muslim Rohingya.
Warga Rohingya mulai mengungsi ke Bangladesh dalam 30 tahun terakhir, membawa kisah-kisah mengenai tekanan dan pengasingan. Mereka tidak mendapat kewarganegaraan dan hak kepemilikan properti di Myanmar.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan mereka adalah satu di antara minoritas paling ditekan di dunia.
Tetapi penolakan Bangladesh untuk menerima pengungsi juga menuai kritik.”Kami mengerti hal ini tidak mudah. Jadi kami meminta pemerintah Bangladesh memberikan setidaknya status perlindungan sementara bagi mereka yang datang dari negara bagian Rakhine di Myanmar,” kata Dirk Hebecker, seorang pejabat senior badan pengungsi PBB di kota Cox’s Bazaar Bangladesh.
Warga Rohingya di Bangladesh tinggal di gubuk-gubuk sepanjang perbatasan tanpa air bersih, sanitasi, atau fasilitas kesehatan.
Pernyataan terbaru oleh Presiden Myanmar Thein Sein bahwa Rohingya harus tinggal di negara ketiga juga menambah kesedihan para pengungsi.
“Kami sangat prihatin dengan komentar presiden. Kami adalah rakyat Myanmar dan kami ingin kembali ke desa kami. Sangat sulit hidup di kamp pengungsian seperti ini,” kata Ahmed Hossain, seorang pemimpin komunitas Rohingya di kamp Kutupalong, dekat Cox’s Bazaar. (mediaindonesia.com, 24/7/2012)
keji dan kejam tentara myamar. Seperti PKI