SAAT kementerian kesehatan Indonesia berhenti mengirimkan sampel virus flu burung ke sebuah lab riset di AS beredar isu bahwa langkah itu dilakukan karena khawatir Washington akan menggunakan virus tersebut sebagai senjata biologi. Menteri Pertahanan AS Robert Gates menertawai isu tersebut dan menyebutnya sebagai “hal paling konyol” yang pernah didengarnya.
Namun, di balik tawa Robert Gates tersebut, AS ternyata mempunyai peraturan tambahan ekspor yang menekankan larangan ekspor vaksin antiflu burung dan sejumlah antivirus lainnya ke lima negara yang disebut sebagai “pendukung terorisme.” Alasan dari larangan itu adalah karena adanya kekhawatiran akan kemungkinan antivirus tersebut digunakan sebagai senjata biologi.
Berdasarkan kebijakan yang tak diketahui oleh khalayak luas ini, Korea Utara, Iran, Kuba, Suriah, dan Sudan tak bisa mendapatkan vaksin antivirus tersebut dari AS apabila tak mengajukan izin ekspor khusus. Izin tersebut kemungkinan bisa diberikan atau ditolak berdasarkan pertimbangan tertentu. Akibat dijatuhi embargo oleh AS, Iran, Kuba, dan Sudan bahkan terkena larangan untuk mendapatkan semua jenis vaksin influenza pandemi manusia.
Peraturan ekspor yang mencakup berbagai vaksin mulai dari demam dengue hingga virus Ebola itu telah meningkatkan keprihatinan di kalangan komunitas ilmiah dan kedokteran. Meskipun peraturan ekspor tersebut diberlakukan tak secara terang-terangan lebih 1 dasawarsa lalu, peraturan itu dinilai tak relevan mengingat perkembangan flu burung yang memprihatinkan.
Pihak Departemen Kesehatan dan Badan Pencegahan serta Pengendalian Penyakit AS mengaku tak menyadari adanya kebijakan tersebut apabila tak dihubungi oleh The Associated Press bulan lalu. Setelah mengetahui kebijakan itu, Departemen Kesehatan dan Badan Pencegahan serta Pengendalian Penyakit AS menyampaikan keprihatinannya.
‘Peraturan ekspor tersebut “secara ilmiah tak masuk akal,”‘ kata Peter Palese, ketua departemen mikrobiologi Fakultas Kedokteran Mount Sinai, New York. Peter Palese menerangkan vaksin antiflu burung, misalnya, dapat digunakan untuk menangkal wabah ini pada saat beredar di antara unggas sebelum bermutasi dan menyebar dengan mudah di kalangan manusia.
“Semakin banyak vaksin, semakin lebih baik. Ini merupakan masalah melindungi diri kita agar virus flu burung tak menyebar di negara-negara yang terkena larangan ekspor vaksin dari AS,” kata Peter Palese.
Beberapa ahli etika biologi menjelaskan pembatasan tersebut dapat memunculkan pertanyaan moral tentang apakah negara-negara itu terkena larangan untuk mendapatkan vaksin karena keputusan yang didasarkan pada kebijakan luar negeri. Para pakar itu berpendapat pengendalian ekspor AS ini tidak konsisten karena Libya, Irak, serta beberapa negara lainnya yang dicurigai AS memiliki program senjata biologi tak dikenakan larangan ekspor untuk vaksin unggas.***