Pejabat Besar dan Penjahat Besar

UU Hamidy Budayawan Riau.

Allah Maha Indah dan suka pada keindahan. Keindahan ciptaan-Nya telah terpancar dari segenap penjuru jagad raya. Segala sesuatu berlaku dalam kendali kebijaksanaan Allah Yang Maha Bijaksana.

Tak ada sedikitpun perubahan apalagi kekurangan pada sunnatullah itu. Insan yang mau mengambil ibarat niscaya akan semakin yakin pendiriannya dengan memperhatikan sunnatullah itu sepanjang masa.

Marilah perhatikan bagaimana sunnatullah berlaku dalam alam demokrasi sekuler, yang tak mau tunduk pada hukum Allah sebagaimana telah disampaikan oleh utusan-Nya Nabi Muhammad SAW untuk memandu kehidupan umat manusia.

Lihatlah bagaimana sunnatullah berlaku pada pejabat besar dan penjahat besar. Ketika seseorang diangkat menjadi pejabat besar, maka mulai saat itu dalam dunia demokrasi sekuler, kedudukannya berubah 180 derajat dari orang sembarangan menjadi bukan orang sembarangan. Dari the man in the street kepada very important person.

Dia tak dapat lagi bergerak sesuka hatinya, kehilangan fitrahnya sebagai manusia yang bebas memilih. Rumahnya (istananya) dijaga 24 jam siang dan malam oleh orang bersenjata. Tak ada yang dapat lagi bertemu dengannya tanpa izin pengawalnya.

Dia terikat oleh protokoler yang menentukan gaya hidupnya. Tak dapat lagi berjalan sendirian pergi ke mana-mana. Selalu didampingi oleh ajudan ke mana punya acara dan upacara serta dijaga dengan pengawal yang ketat.

Tapi anehnya, keadaan yang membuat pejabat besar terpisah dari pergaulan masyarakat itu, malah jadi kebanggaan. Hal itu malah dipandang sebagai penghargaan dan kehormatan.

Dia dijuluki orang nomor satu, sehingga timbul ujub (berbangga diri) dalam hatinya yang kemudian melahirkan kesombongan dalam perbuatannya.

Keadaan ini telah diberi petunjuk oleh Alquran -kitab pedoman umat manusia- dengan mencantumkan 57 kata sultan (penguasa) dan 37 kata nifaq (munafik) yang berarti para penguasa itu banyak yang munafik.

Selanjutnya lihatlah penjahat besar. Orang ini mendapat ruang tahanan istimewa, dijaga siang dan malam 24 jam. Tidak dapat siapa saja menemuinya walaupun anak dan isterinya, tanpa izin penjaga yang mengawasinya.

Penjahat besar jika pergi ke mana-mana juga selalu dijaga dengan ketat, serta dipisahkan dari pergaulan masyarakat.

Dengan demikian, dapat dilihat persamaan pejabat besar dengan penjahat besar dalam kehidupan demokrasi sekuler. Persamaan itu akan lebih jelas lagi ketika pejabat besar berubah statusnya menjadi penjahat besar.

Ini terjadi karena pejabat besar dengan kekuasaannya yang besar itu, bertindak mengikuti kebenaran hawa nafsunya tanpa menyadari sebenarnya kekuasaan itu adalah milik Allah semata.

Dia binasa oleh kekuasaan yang dimilikinya tanpa panduan iman, bagaikan lading memakan sarungnya.

Gambaran pejabat besar dalam demokrasi sekuler itu akan kontras sekali dengan pejabat besar dalam tatanan Syariah Islam dengan bingkai khilafah.

Dalam tatanan Syariah Islam, pejabat besar yang memegang tampuk kekuasaan itu dipandang sebagai pelayan umat, sehingga disebut khalifah atau amirul mukminin.

Dia tidak terpisah dengan masyarakat atau rakyatnya oleh kekuasaan yang disangkutkan di bahunya. Dia tak memerlukan pengawal pergi ke mana-mana, sebab dia tak merasa terancam oleh manusia (rakyatnya) sebagaimana terjadi pada pejabat besar dalam demokrasi sekuler.

Dia malah memandang dirinya sebagai perisai bagi rakyatnya, sehingga dia niscaya akan hancur oleh kesombongan, dengki, serakah dan ego kekuasaan. Maka dia membangun akhlak mulia.

Tapi dia menyadari pula surga berada di bawah kilatan pedang, sehingga dia berjihad di jalan Allah dengan jiwa, raga serta hartanya. Dia membangun ketangguhan dirinya dengan tidak menjadi bangkai pada malam hari dan tidak jadi keledai pada siang harinya.

Pejabat yang menjunjung tinggi Syariah Islam itu tak merasa lebih mulia daripada rakyatnya. Sebab ukuran kemuliaan hanya ditentukan oleh ketakwaan yakni taat dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan segala perkara yang menentang Alquran dan Sunnah Nabi SAW.

Karena itulah pemimpin yang memegang teraju kekuasaan sesuai dengan Syariah Islam tidak akan dibenci rakyatnya. Sebab keadaan hidup sang pemimpin sama saja dengan keadaan rakyatnya. Inilah pemimpin yang pilihan, yang mencintai rakyatnya dan rakyat mencintainya.***

Diterbitkan di Riau Pos (6 Agustus 2012)

One comment

  1. Bambang Kumboyono

    Seharusnya begitulah seorang pemimpin, itu memang hanya ada di kepemimpinan islam bukan di sekuler

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*