Surat Terbuka Kepada Rashid al Ghannouchi

Idries de Vries

Sheikh Rashid,

Pada tanggal 23 Oktober 2011, selama dilangsungkannya pemilu “bebas” [1] di Tunisia menyusul jatuhnya sang diktator tiran Ben Ali, 60% warga Tunisia yang berhak memilih benar-benar muncul di tempat-tempat pemungutan suara di seluruh negeri yang mengantarkan partai Anda, Partai Nahdha, kepada kemenangan yang nyata [2].

Pada umumnya dapat diterima bahwa alasan utama bagi kesuksesan partai Anda meraih kemenangan adalah platform kampanye partai yakni “kebangkitan yang berlandaskan Islam”. Jadi, ketika saya mengetahui hasil pemilu, saya bertanya-tanya bagaimana partai Anda akan bekerja untuk mencapai hal ini, karena saya tahu dari wawancara yang Anda berikan kepada saluran berita Pemerintah Channel France24 dimana anda mengatakan bahwa mengubah Tunisia menjadi Negara Islam adalah hal yang mustahil [3].

Karena itu, saya sangat ingin membaca transkrip pidato terakhir Anda pada “Pusat Studi Islam dan Demokrasi”, yang berjudul “Sekularisme dan Hubungan Agama dan Negara dari Perspektif Partai Nahdha” [4]. Saya berharap agar didalamnya bisa menemukan penjelasan mengenai pandangan Anda mengenai metodologi dalam mencapai “kebangkitan yang berlandaskan Islam”. Tapi sayangnya, hal itu memang bagi saya memperjelas beberapa aspek pemikiran Anda, dan pada akhirnya hal ini menimbulkan banyak pertanyaan.

Anda mengatakan dalam pidato Anda:

“(…) Bukan tugas agama untuk mengajarkan kepada kita teknik pertanian, industri atau bahkan pemerintahan, karena akal cukup memenuhi syarat untuk mencapai kebenaran melalui akumulasi pengalaman.”

“Peranan agama (…) adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar bagi kita, yakni yang berkaitan dengan keberadaan kita, asal-usul penciptaan, takdir, dan tujuan kita diciptakan, dan untuk menyediakan kepada kita sistem nilai dan prinsip-prinsip yang akan memandu kita dalam berpikir, berperilaku, dan peraturan-peraturan negara yang kita inginkan. ”

“Ketika kita perlu undang-undang (…) kita membutuhkan mekanisme, dan mekanisme terbaik yang ditemui oleh umat manusia adalah lewat mekanisme pemilihan (elektoral) dan demokrasi yang menghasilkan wakil-wakil negara dan membuat interpretasi atas hal ini sebagai sebuah usaha kolektif sebagai lawan dari usaha individu. ”

Arti dari pernyataan-pernyataan itu adalah jelas. Menurut Anda Islam harus menentukan tujuan, sementara pikiran manusia harus mendefinisikan hukum dan sistem yang mengarah kepada pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dan Anda merasa bahwa perwakilan yang mendapat mandat dari rakyatlah yang dapat menerapkan pikiran-pikiran untuk menentukan hukum-hukum dan sistem-sistim yang mengarah kepada pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Islam, dan bukan satu individu atau satu kelompok individu yang bertindak tanpa suatu kewenangan dari rakyat.

Hal ini malah menjadi lebih tidak jelas ketika Anda memberikan argumen atas visi Anda. Anda mengatakan:

“Dari sejak awal, Islam, selalu mengkombinasikan agama dengan politik, agama dengan negara. Nabi (saw) adalah pendiri agama maupun pendiri negara. Perjanjian Aqabah pertama yang dibuat oleh sekelompok orang Madinah yang datang ke Makkah adalah janji agama untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tapi Perjanjian Aqabah kedua adalah untuk melindungi umat Islam, bahkan dengan pedang, apabila Al-Madinah akan diserang. ”

“Nabi (saw) adalah seorang imam dalam pengertian agama yakni ketika beliau memimpin doa di masjid-masjid, dan pada saat yang sama juga seorang imam politik yang menjadi penengah atas sengketa rakyat, memimpin tentara, dan menandatangani kesepakatan berbagai perjanjian internasional. Yang relevan bagi kita adalah kenyataan bahwa setelah kedatangan beliau ke Madinah, beliau mendirikan sebuah masjid dan membuat konstitusi yang bernama Al-Sahifah. ”

“Perbedaan antara yang bersifat politis dan yang bersifat agamis adalah jelas di dalam konsitusi Sahifah bahwa umat Islam adalah sebuah bangsa beragama (ummah) sementara orang-orang Yahudi adalah bangsa yang lain, tetapi kombinasi keduanya ditambah dengan orang-orang musyrik lainnya menjadikannya sebuah bangsa dalam arti politik . (…) Sementara agama ada dalam ranah ketaatan dan kewajiban, sedangkan politik ada pada ranah akal dan ijtihad. Pada saat-saat ketika para sahabat dalam situasi yang membingungkan, mereka akan bertanya kepada Nabi (saw) apakah hal itu adalah wahyu ilahi atau pendapat belaka. Dalam masalah yang pertama (wahyu ilahi), mereka akan mematuhinya, dan ketika hal itu adalah masalah yang kedua, mereka dapat berbeda pendapat dan menawarkan alternatif.

Pada lebih dari satu kesempatan memang para sahabat berbeda pendapat dengan Nabi (saw) dalam kapasitasnya sebagai kepala negara (…). Suatu ketika, Nabi (saw) melewati sekelompok orang di Madinah yang sedang melakukan penyerbukan pohon kurma dan berkata: “Saya tidak melihat manfaat untuk melakukan hal itu’ . Penduduk Madinah mengira bahwa hal itu adalah wahyu ilahi dan berhenti melakukan penyerbukan pohon korma sehingga membuat panen mereka pada tahun itu berkualitas lebih rendah. Mereka bertanya mengapa beliau memerintahkan mereka untuk tidak melakukannya, dan beliau menjawab:. “Kamulah yang lebih mengetahui apa yang bermanfaat bagi kamu dalam urusan duniamu ”

Jelas, bahwa ini adalah argumen agama, karena Anda mengatakan bahwa pikiran manusia harus mendefinisikan hukum-hukum dan sistem-sistim negara karena hal ini adalah apa yang Nabi (saw) ajarkan. Oleh karena itu pula, anda mengambil referensi dari ulama-ulama Islam masa lalu, yang – menurut Anda – memahami hukum Islam mengenai negara dengan cara yang sama:

“Disebutkan bahwa al-Mansour menjadi prihatin dengan banyaknya pandangan-pandangan dan interpretasi keagamaan yang berasal dari agama yang sama dan khawatir akan memecah belah negara. Jadi dia memanggil Imam Malik dan memintanya untuk menggabungkan semua hal ini dalam satu pandangan agar bisa menyatukan rakyat. Imam Malik kemudian menulis bukunya yang terkenal ‘al-Muwatta ‘, dimana al-Mansour sangat senang dan ingin menjadikannya hukum yang mengikat semua Muslim. Hal ini mengkhawatirkan Imam Malik dan memintanya untuk tidak melakukan hal itu. “

“Ketika al-Ma’mun (Khalifah Abbasiah) ingin memaksakan satu interpretasi Quran dan satu pemahaman tertentu dari keyakinan Islam (yakni yang dibawa mazhab Mu’tazili), Imam Ahmad Ibnu Hanbal memberontak dan menolak upaya negara untuk mendominasi agama. ”

Bagi saya, hal ini lebih membingungkan lagi. Karena ketika Anda mengatakan bahwa visi Anda tentang negara adalah seperti apa yang diatur Islam, secara efektif anda mengatakan bahwa Anda menginginkan Negara Islam – apa lagi yang bisa orang definisikan sebagai “Negara Islam” selain “negara yang diatur oleh Islam”? Tapi seperti yang disebutkan sebelumnya, kami memiliki catatan bahwa anda juga mengatakan anda menentang Negara Islam!

Melalui surat ini saya ingin meminta perhatian Anda, Syekh Rasyid, karena saya kira banyak juga orang yang mengalami kebingungan seperti saya.

Saya ingin mengingatkan Anda akan perlunya premis intelektual yang merupakan jantung atas kebingungan ini, yakni bahwa jika Anda benar-benar menentang Negara Islam, Anda tidak dapat menggunakan argumen-argumen agama, tetapi jika Anda bersikeras menggunakan argumen-argumen agama ketika berdebat mengenai negara, maka Anda tidak akan menentang Negara Islam karena topik diskusinya adalah karakteristik dari Negara Islam.

Dan saya ingin mendorong Anda untuk menghilangkan kebingungan ini dan memperjelas posisi dasar Anda pada masalah ini. Jika Anda ingin negara seperti yang didefinisikan oleh Islam, maka katakanlah bahwa Anda ingin Negara Islam. Dan kemudian kami, sebagai umat, dapat melakukan perdebatan tentang karakteristik yang harus dimiliki negara, berdasarkan bukti-bukti agama. (Saya cukup yakin bahwa akan ada banyak orang yang mengetahui dalil-dalil yang cukup seperti yang Anda sajikan dalam pidato Anda. Misalnya, bagaimana Anda bisa mengatakan al-Sahifah merupakan indikasi bahwa “politik ada dalam ranah logika “padahal salah satu pasalnya mengatakan” “Ketika kamu berselisih mengenai sesuatu masalah, kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Muhammad (SAW) “? Atau bagaimana anda bisa mengatakan hadits tentang penyerbukan silang, yang topiknya adalah mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki implikasi bagi topik yang sama sekali berbeda tentang pemerintahan, hukum dan sistem? Atau bagaimana dapat Anda mengatakan bahwa Khilafah bukanlah sebuah bentuk Negara Islam, ketika para sahabat terbaik Nabi, Abu Bakar (ra), ‘ Umar bin al Khattab (ra), Utsman bin’ Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu (ra), semuanya mengisi jabatan Khalifah dengan persetujuan dari semua sahabat lainnya?). Atau, jika Anda tidak ingin sebuah negara seperti yang didefinisikan oleh Islam, tapi kemudian juga berkata seperti itu – tetapi muslim yang mana yang bisa mengatakan bahwa dia tidak ingin apa yang Islam telah tentukan bagi dia?

Supaya perdebatan ini memberikan kejelasan baik bagi Islam maupun umat, dengan meletakkan sebuah landasan yang jelas atas suatu diskusi yang mendesak, yakni diskusi tentang jalan ke depan bagi Muslim yang ingin hidup menurut Islam. Hal ini juga akan baik bagi diri anda sendiri, Syekh Rashid. Selama Anda terus melayang-layang di antara dua posisi yang mungkin dalam masalah ini, Anda meninggalkan pintu terbuka bagi setan yang terkutuk untuk berbisik di telinga rakyat: “Sheikh Rashid adalah seorang munafik. Dia orang yang menentang sebuah negara yang ditentukan oleh Islam, yakni Negara Islam, dan hanya mencoba untuk menyembunyikan fakta-fakta melalui penalaran religius ”

Idries de Vries adalah seorang ahli ekonom yang menulis tentang masalah ekonomi dan geopolitik untuk berbagai publikasi. Sebagai seorang manajemen profesional, dia pernah tinggal dan bekerja di Eropa, Amerika dan Asia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*