Perilaku Buruk Pemeluk Buddha

Oleh William McGowan

Pada September tahun lalu di Sri Lanka sekelompok massa Budha Sinhala yang dipimpin oleh sekitar 100 biksu Buddha menghancurkan sebuah tempat suci Muslim di kota kuno Anuradhapura. Pada saat kerumunan orang melambaikan bendera umat Buddha yang berwarna-warni, emas dan merah, seorang biksu membakar sebuah bendera ijau Islam berwarna hijau. Para biarawan mengklaim bahwa kuil itu berada pada lahan yang telah diberikan kepada orang Sinhala 2.000 tahun yang lalu – sebuah kiasan atas kepemilikan mereka atas seluruh negara pulau itu, sebagaimana tertulis dalam teks-teks keagamaan kuno.

Serangan Anuradhapura bukanlah insiden terakhir umat Buddha yang berperilaku buruk di Sri Lanka. Pada bulan April, para biarawan memimpin hampir sekitar 2.000 umat Buddha Sinhala dengan berpawai menuju sebuah masjid di Dambulla, sebuah kota suci di mana raja Sinhala diyakini telah berlindung dari para penjajah yang datang dari selatan India dalam suatu jaringan luas gua yang terjadi hampir dua ribu tahun lalu. Yang mereka tuntut – tetapi sebagian besar tuntutan itu adalah simbolis – adalah bahwa serangan itu menandai “hari bersejarah,” kata seorang biksu yang memimpin serangan kepada khalayak ramai, “suatu kemenangan bagi orang-orang yang mencintai ras [Sinhala], memiliki darah Sinhala, dan beragama Buddha.”

Tindakan Chauvinisme tersebut bertentangan dengan anggapan sebelumnya di Barat atas agama Buddha – sebuah agama yang menekankan antikekerasan dan ketidak-terikatan – tetapi hal ini sesuai dengan sejarah agama di Sri Lanka. Buddhisme militan berakar pada sebuah cerita kuno yang disebut sebagai Mahavamsa (Babad Agung), yang disusun oleh para rahib di abad keenam. Menurut Mahavamsa, Sang Buddha meramalkan runtuhnya agama Buddha di India tetapi melihat masa depan yang cerah di Sri Lanka. “Di (Sri) Lanka lah, wahai tuhan para dewa, agama saya tumbuh dan berkembang,” katanya. Orang Sinhala mengambil pemahaman ini sebagai tanda bahwa mereka adalah orang-orang Buddha pilihan, yang diperintahkan untuk “melestarikan dan melindungi” agama Buddha dalam bentuk yang paling murni. Menurut mitos itu, seorang pangeran muda Sinhala di abad kedua SM mempersenjatai dirinya dengan tombak yang ujungnya adalah sebuah peninggalan Sang Buddha dan memimpin 500 orang biksu untuk mengalahkan penjajah Tamil. Selain membela kerajaannya dari bahaya kehancuran, kemenangan sang pangeran itu melegitimasi kekerasan agama sebagai alat untuk kelangsungan hidup nasional.

Buddhisme militan adalah kekuatan pendorong di belakang perang selama 25 tahun antara mayoritas Sinhala (74 persen dari jumlah penduduk) dengan minoritas Tamil (18 persen dari jumlah penduduk), yang berjuang bagi sebuah negara merdeka bagian utara dan timur negara pulau itu. (Kaum Muslim, yang berjumlah enam persen penduduk Sri Lanka, seringkali terjebak berada di tengah.) Selama perang berlangsung, para biksu berulang kali melemahkan segala upaya untuk menghasilkan kesepakatan damai.

Sangha, yang seringkali dirujuk oleh para biksu dalam Buddhisme Theravada, secara historis memegang kekuasaan politik dari balik layar, dengan mewujudkan suatu bentuk luas nasionalisme religius. Namun dalam tahun-tahun terakhir peperangan, hal itu menjadi lebih dipolitisir secara terang-terangan. Pada tahun 2004, partai garis keras National Heritage (yang dikenal sebagai partai JHU) memilih tujuh orang anggotanya untuk Parlemen; semuanya adalah biarawan, dan partai itu berjalan pada platform yang menyerukan untuk kembali kepada moralitas Buddhis dalam kehidupan publik. Segera setelah mereka menduduki posisinya, JHU melancarkan perkelahian di dalam lantai gedung parlemen Srilangka.

Partai JHU juga bekerja untuk menjegal penyelesaian perdamaian yang ditengahi oleh Norwegia pada bulan Maret 2002 yang menyerukan otonomi Tamil yang terbatas. Para biksu menyatakan bahwa Sri Lanka akan selalu merupakan kerajaan Sinhala, otonomi yang melanggar ide negara kesatuan yang nyaris mistis, dan bahwa tidak ada pilihan lain selain pilihan militer. Perundingan perdamaian hanya akan membuat Macan Tamil kuat, kata salah satu pemuka agama, Athuraliye Rathana yang dijuluki Biksu Perang, kepada Media Sri Lanka. “Jika mereka menyerahkan senjata, baru kita bisa bicara,” katanya. “Jika tidak, maka kita akan mengendalikan mereka dengan cara apapun yang diperlukan. Kita harus berperang sekarang dan bicara kemudian.” Pada musim semi tahun 2006, sekelompok biksu menyerang sebuah kelompok ekumenis yang berbaris dengan damai dan memimpin aksi duduk yang panjang menentang kesepakatan gencatan senjata, yang menyebabkan satu putaran peperangan.

Ketika pertumpahan darah semakin meningkat, sebagian besar pendeta Budha memberkati sebuah serangan terakhir kepada separatis Macan Tamil. Pada bulan Mei tahun 2009, militer Sri Lanka muncul dari pertempuran itu dengan penuh kemenangan. Namun, serangan brutal terhadap Macan Tamil telah menjadikan pemerintah Presiden Mahinda Rajapaksa mendapat sasaran kecaman internasional luas. Perkiraan atas kematian warga sipil berkisar hingga 40.000 orang, dan saluran televisi Channel Four Inggris telah mendokumentasikan eksekusi terhadap para tahanan Macan Tamil dalam program “Sri Lanka Killing Fields.” Meskipun organisasi HAM, termasuk Amnesti Internasional dan Dewan HAM PBB, telah menyerukan penyelidikan atas pelanggaran dan kemungkinan kejahatan kemanusiaan dari perang itu, pemerintah Rajapakse menolaknya. Para biarawan telah mendukung sikap keras kepala pemerintah ini, dengan mengatakan bahwa tuntutan tersebut menyerang rujukan orang Sinhala terhadap Srilangka sebagai “ibu pertiwi” orang Budha.

Sejak perang berakhir, para pendeta Buddha berada di garis depan untuk mempromosikan kemenangan itu dengan tindakan menghukum. Mayoritas Sinhala secara luas memandang kemenangannya atas Tamil sebagai ratifikasi kekuasaannya yang ditakdirkan kitab suci, dimana kelompok-kelompok lain menempati posisi bawahan. Dengan demikian, langkah-langkah menuju rekonsiliasi menjadi goyah. Upaya pemerintah untuk menempatkan kembali hampir 300.000 orang Tamil yang terlantar akibat pertempuran itu, sebagian besar belum selesai hingga sekarang, berjalan dengan lambat dan kacau, dan menyisakan kebencian. Militer telah membentuk distrik-distrik militer yang besar di wilayah Tamil, dengan merawat warga sipil yang terluka dengan tangan besi. Menurut International Crisis Group, “Ketika mendapat protes publik, militer malah menunjukkan dirinya menyerang secara fisik para demonstran dan pihak militer kemudian dituduh terlibat dalam tindakan penghilangan secara paksa dan hukuman ekstrajudisial lainnya.” Meskipun rehabilitasi para mantan kader Macan Tamil – yakni sebanyak 11.000 orang – sebagian besar berjalan sesuai jadwal, ada tuduhan penganiayaan terhadap para tahanan saat mereka di tahan dan pelecehan terhadap mereka setelah dibebaskan.

Menteri Pertahanan Gotabaya Rajapaksa, yang merupakan saudara Presiden, baru-baru ini mengatakan bahwa bagian utara dan timur negara itu bukanlah wilayah eksklusif Tamil, dengan mengisyaratkan bahwa pemerintah akan melanjutkan program kolonisasi negeri Sinhala, yang merupakan titik utama pergesekan menjelang terjadinya perang. Sementara itu, Macan Tamil mengeluh bahwa militer telah memungkinkan didirikannya candi-candi Budha di mana candi-candi Hindu dihancurkan dalam pertempuran itu, termasuk penghancuran kuil-kuil Hindu tradisional dekat wilayah pertempuran. Ada juga tuduhan bahwa para biksu telah mengambil keuntungan dari kebingungan pasca perang untuk merebut tanah Tamil, terutama di daerah yang berdekatan dengan pangkalan militer yang baru. Tahun lalu, ICG memperingatkan sebuah “resep atas konflik yang baru” dan mengatakan bahwa rekonsiliasi “tampaknya lebih sulit dari sebelumnya.”

Tanda lain dari militansi Buddhisme yang kronis adalah penolakan pemerintah dalam menghadapi pelanggaran HAM yang dilakukan dalam perang yang terjadi terakhir. Presiden Rajapaksa, yang pergi ke Kandy, yang merupakan ibukota budaya, segera setelah kemenangan tahun 2009 berlutut di hadapan para pemuka tertinggi agama Budha, dan telah menolak Resolusi Dewan HAM PBB yang disahkan pada Maret, yang menyerukan penyelidikan atas pelanggaran kemanusiaan dan kemungkinan kejahatan perang. Hanya baru-baru ini saja pemerintah Rajapakse mengakui bahwa memang ada korban sipil. Sebenarnya, pada saat UNHRC memberikan suara pada resolusi bulan Maret, ratusan biksu Budha memimpin doa dan berjaga di Kolombo untuk menentangnya. Ratusan biksu lainnya memimpin protes ketika resolusi disahkan. The Los Angeles Times mengutip seorang demonstran yang mengatakan, “kekuatan jahat baik lokal maupun internasional telah bergabung untuk mencabut perdamaian di Sri Lanka dan menjadikan pulau yang diberkati ini kembali ke era kegelapan.”

Sebagian orang melihat hal ini sebagai sebuah ironi dimana para biksu menyelaraskan diri begitu erat dengan pemerintah yang menolak pertanggungjawaban atas pelanggaran kemanusiaan. Namun, ironi yang lebih besar adalah bahwa dalam melindungi dan melestarikan bentuk-bentuk khusus Buddhisme, orang Sinhala tampaknya telah merusaknya. Keasyikan orang Sangha dengan politik telah menyebabkan terlantarnya fokus pada aktivitas rohani. Sebagian besar biarawan di Sri Lanka tidak lagi bermeditasi, yang seharusnya menjadi inti Buddhisme. Sebagian umat Buddha di wilayah Barat telah pergi melakukan perjalanan misionaris ke Sri Lanka untuk menghidupkan kembali praktek meditasi. Namun, keberhasilan cepat berlalu.

Ada juga gangguan dalam disiplin monastik. Februari lalu, seorang biarawan dijatuhi hukuman mati karena pembunuhan – yang merupakan biarawan pertama yang dijatuhi hukuman seperti itu sejak Talduwe Somarama membunuh Perdana Menteri SWRD Bandaranaike pada tahun 1959 setelah dia mengingkari implementasi penuh agenda nasionalis Buddha. Selama dekade terakhir, telah terjadi hampir 100 kasus dimana para biksu Buddha dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, dan banyak contoh dari para biksu, terutama biksu muda, yang disebutkan mabuk-mabukan di depan umum dan melakukan hooliganisme. Ide fundamentalis bahwa Buddhisme adalah khas milik nasional telah mendorong rasa superioritas moral, yang membuat sulit bagi banyak orang Sinhala unutk bisa menerima bagaimana rusaknya Buddhisme. Sebagaimana salah satu tokoh Buddhis menjelaskan (secara diam-diam) kepada saya lebih dari dua puluh tahun lalu, “Saat ini Buddhisme menjadi keropos di Sri Lanka. Kami hanya mengikuti apa yang terjadi.” Pada hari ini, gerakan-gerakan ini tumbuh semakin mengganggu.

Politik identitas beracun Sri Lanka tidaklah sama sekali unik, terutama pada bangsa lain, Buddha Theravada. Nasionalisme Budha di Myanmar, misalnya, memberikan titik penyatuan yang sama melawan kolonialisme Inggris. Tetapi penyatuan atas “tanah, ras, dan agama” di antara mayoritas penduduk di sana, bersama dengan pandangan bahwa mayoritas itu merupakan pelayan murni Buddhisme dengan bentuknya yang tersendiri, telah menjadi sumber ketidakharmonisan politik dan budaya di negara dengan banyak kelompok minoritas non-Buddha, dan yang terakhir adalah dengan Muslim Rohingya. Meskipun Buddhisme mungkin menentang kekerasan pada tingkat doktrin, Budhisme tidak bebas dari mitos kaum nasionalis yang melihat tempat untuk hal itu. (RZ; Senin, 6 Agustus, 2012 Sumber: www.foreignaffairs.com )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*