SETELAH menetapkan dua perwira tinggi polisi sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun membidik hakim. Yang terjaring bukan sembarang hakim, melainkan hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
KPK menangkap dua hakim tipikor di Semarang bertepatan dengan peringatan ke-67 HUT Kemerdekaan RI pada Jumat (17/8). Satu hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Kartini Marpaung, dan satu lagi hakim Pengadilan Tipikor Pontianak, Kalimantan Barat, Heru Kusbandono. Kedua hakim itu langsung dibawa ke Jakarta dan ditahan di KPK.
Sungguh mengherankan di tengah lensa KPK demikian tajam membidik penegak hukum, ada hakim masih mendagangkan perkara. Kedua hakim itu diduga bermain dalam perkara korupsi Ketua DPRD Grobogan, Jateng, M Yaeni.
Juga mengherankan Kusbandono bisa ngobjek perkara dari Pontianak sampai Semarang. Itu sebabnya, Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko menduga ada hakim merangkap broker alias makelar perkara.
Semestinya, hakim tipikor menjadi sangat terhormat di tengah era pemberantasan korupsi saat ini. Namun, ternyata mereka tidak imun, bahkan kemudian bertekuk lutut terhadap berbagai upaya sogok.
KPK membidik hakim tipikor karena tidak ingin penegak hukum mencederai semangat pemberantasan korupsi yang tengah dikobarkan KPK.
Penangkapan dua hakim tipikor di Semarang mestinya juga menampar wajah Komisi III DPR. Komisi hukum di DPR itu pernah ngluruk ke Semarang kemudian mempersoalkan mengapa kasus korupsi Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi Saputro disidangkan di Jakarta.
Komisi III DPR bahkan meminta MA membatalkan pemindahan sidang Soemarmo ke Jakarta sehingga kasus Soemarmo tetap disidangkan di Semarang.
Padahal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Pengadilan Tipikor Semarang suka bermurah hati menjatuhkan vonis bebas kepada koruptor.
Karena itu, jangan salahkan jika publik mengendus ada aroma tak sedap berhembus di balik usaha Komisi III DPR itu.
Komisi Yudisial juga telah mengingatkan Mahkamah Agung untuk menindak sejumlah hakim Pengadilan Tipikor Semarang, termasuk hakim yang kemudian ditangkap KPK itu. Investigasi Komisi Yudisial menemukan indikasi kuat hakim-hakim itu bermain perkara.
Penangkapan hakim itu kian memperkuat anggapan betapa rapuhnya seluruh pilar kehidupan negara. Negara telah digerus virus korupsi yang merasuk ke lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Lembaga peradilan yang mestinya menjadi tempat rakyat menimba keadilan ternyata telah dikotori tangan-tangan penadah uang haram. Hakim yang mestinya menjadi profesi mulia karena menjaga neraca keadilan telah menyewakan tangan, kehormatan, dan nurani demi fulus.
Kita ingatkan agar dalam merekrut hakim tipikor, harus benar-benar memperhatikan rekam jejak para calon. Hakim tipikor bukanlah tempat buangan setelah semua lowongan kerja tertutup. Juga bukan tempat para pengacara yang tidak laku menjajal kemampuan. Juga bukan tempat para dosen yang tidak jelas mencari penghasilan tambahan. (mediaindonesia.online ; Sabtu, 25 Agustus 2012 )
inilah muka buruk sistem yg tegak di atasnya demokrasi. Ia hanya mencetak generasi yg tidak amanah dg jabatan yg diembannya. saatnya memperjuangkan Khilafah sebagai sistem pengganti . Allahuakbar