Badan Intelijen Negara (BIN) meminta semua perusahaan asing berkoordinasi dengan pemerintah dalam menyalurkan bantuan di Papua.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen Marciano Norman di Jakarta meminta agar semua perusahaan asing yang beroperasi di Papua berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia dalam setiap kegiatan sosialnya di Papua. Hal ini menurut Marciano penting dilakukan, agar bantuan-bantuan itu tidak jatuh ke pihak-pihak yang ingin melepaskan Papua dari Indonesia.
“Tidak tertutup kemungkinan apabila bantuan asing itu tidak terkoordinasi nanti sampainya malah ke kelompok-kelompok yang mempunyai keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Menyalurkan bantuan itu harus tepat sasaran. Sehingga kalo tepat sasaran kita jadi mudah. Tapi kalau bantuan itu dengan jumlah yang sebegitu besar diterima oleh kelompok yang berbeda, itu sama saja dengan menyuburkan mereka,” ujarnya pada Jumat (24/8).
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menyambut baik upaya BIN melakukan pengawasan terhadap bantuan asing yang masuk ke Papua. Ia mengkhawatirkan jika ada sebuah kelompok yang memanfaatkan bantuan-bantuan asing ini untuk kepentingan tertentu.
“Selama itu dikoordinasikan dengan pemerintah daerah dan masyarakat adat di sana saya kira sudah relatif bagus. Tetapi ada yang memang kurang dikordinasikan, tetapi saya juga tidak menyalahkan lembaganya ya, karena kadang-kadang permintaan dari masyarakat sporadis dan tidak mungkin institusi, lembaga atau perusahaan menolak permintaan itu,” ujarnya.
Septar Manofando, Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama LSM Papua, meminta BIN juga melakukan pengecekan terhadap instansi pemerintah khususnya yang ada di Papua, karena banyak sekali dana asing yang langsung masuk ke instansi pemerintah daerah yang belum diketahui apakah sudah dinikmati oleh rakyat Papua.
“Ketika lembaga asing ini kerja di Papua, biasanya akan ada persetujuan dengan pemerintah. Kemudian pemerintah mengeluarkan izin mereka bisa bekerja. Pertanyaannya adalah sejauh mana program yang dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dirasakan oleh masyarakat adat Papua,” katanya.
Marciano memastikan pemerintah Indonesia akan memberikan teguran keras kepada perusahaan-perusahaan asing yang ada di Papua, jika tidak berkoordinasi dengan Pemerintah Indonesia dalam menyalurkan bantuan lewat program Corporate Social Responsibility (CSR), apalagi jika bantuan itu tidak tepat sasaran.
“Nah itu sudah kita atensikan kepada pihak asing yang ada di Papua. Apabila itu nanti ada buktinya tentunya mereka akan dapat teguran yang sangat keras dari itu,” ujarnya.
Juru bicara PT Freeport Indonesia Ramdhani Sirait kepada VoA memastikan pelaksanaan program CSR dari PT Freeport Indonesia selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat agar tepat sasaran.
“Termasuk di kabupaten Mimika, ada namanya Muspida Plus. Jadi para pimpinan daerah, mulai dari DPRD, pemerintah daerah, militer, kepolisian, kejaksaan. Hal ini dilakukan karena apa yang ingin dicapai perusahaan adalah apa yang betul-betul dibutuhkan masyarakat dan bisa membantu masyarakat bisa mandiri,” ujarnya.
Selain dari lembaga non pemerintah dan perusahaan-perusahaan asing yang ada di Papua, bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Papua juga disalurkan dari pemerintah sebuah negara. Baru-baru ini, Pemerintah Australia mengucurkan dana bantuan sebesar A$25 juta (Rp 247 miliar) untuk meningkatkan akses layanan HIV di Papua dan Papua Barat. (VOA online; 24.08.2012 )