Kelompok Liberal Politisasi Konflik Sampang Untuk Cabut UU Penodaan Agama

HTI-Press. Setelah gagal menyoal  Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama lewat Mahkamah Konstitusi, kelompok liberal menggunakan konflik Sampang untuk kembali memperkarakan aturan tentang penodaan agama.  Untuk itu Human Rights Working Group (HRWG) akan melaporkan peristiwa konflik di Sampang, Madura ke sidang Dewan HAM PBB.

Sebagaimana yang dilaporkan VOA online (29/08) kelompok kerja hak asasi manusia Human Rights Working Group (HRWG) menyatakan Rabu (29/8) bahwa pihaknya akan melaporkan kasus penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura, ke sidang evaluasi periodic universal (UPR) Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 19 September mendatang.

Sementara itu, ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim meyakini isu kebebasan beragama di Indonesia akan kembali dibahas dalam  sidang UPR Dewan HAM PBB September mendatang. Ifdal mengatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia semakin menurun, salah satunya karena masih adanya peraturan tentang pencegahan penodaan agama.

“Di negara-negara demokratik yang lain, blasphemy (penodaan agama) sudah dihapuskan pemidanaannya. Di Indonesia justru mengeras. Kalau kita baca draft Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang direvisi itu makin banyak delik agama. Ini menurut saya memberikan kontribusi pada terjadinya berbagai pergesekan di dalam masyarakat terkait dengan kebebasan beragama.

“Adanya UU tentang penodaan agama ini menjadi basis bagi berbagai  kelompok di dalam masyarakat untuk menyesatkan orang lain lain dan kemudian melakukan tindakan-tindakan  main hakim sendiri,” ujar Ifdal.

Kelompok liberal memang sejak lama sangat serius menghapuskan aturan tentang penodaan agama.  Selama ini penodaan agama ini dijadikan dasar untuk memperkarakan aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah. Dengan dihapuskannya aturan penodaan agama ini, kelompok liberal akan lebih mulus melegalisasi keberadaan aliran-aliran sesat  di Indonesia. Pemikiran sesat yang selama ini dikembangkan oleh kelompok liberal untuk menggugat Al Qur’an dan As Sunnah pun akan mendapat tempat. Sebaliknya, justru akan mengkriminalkan siapapun yang menyoal kelompok sesat di Indonesia.

Strategi yang selama ini digunakan oleh kelompok liberal adalah mengkaitkan fatwa-fatwa aliran sesat dengan tindakan kekerasan. Padahal tidak ada hubungan langsung antara fatwa aliran sesat dengan kekerasaan. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, kekerasan tumbuh justru karena tidak tegasnya pemerintah melarang aliran-aliran sesat ini. Dan sering kali terjadinya konflik karena provokasi kelompok-kelompok sesat yang mengundang kemarahan masyarakat.

Kelompok liberal juga menggunakan organisasi internasional seperti PBB untuk menyudutkan umat Islam. Padahal sudah bukan merupakan rahasia lagi kalau PBB hanyalah  alat negara-negara imperialis untuk mengokohkan penjajahan mereka di dunia Islam.

PBB cendrung diam atau tidak bertindak nyata untuk menghentikan penindasan umat Islam di Irak, Afghanistan yang dilakukan oleh Amerika. PBB mandul menghentikan serangan pesawat tanpa awak Amerika (drone) yang terus melakukan pembunuhan masal di perbatasan Pakistan-Afghanistan.  Dengan tudingan sepihak tanpa bukti bahwa mereka adalah teroris, militan, Amerika menjadi legal membunuh siapapun termasuk anak-anak dan wanita.

PBB  tampak mandul ketika berhadapan dengan zionis Yahudi yang melakukan pembunuhan terhadap umat Islam di Palestina. Termasuk tidak melakukan tindakan konkrit terhadap umat Islam minoritas yang tertindas di Myanmar (Rohingya), Turkistan Timur (Xianjiang China).

PBB juga cendrung tidak peduli, banyaknya aktifis Islam yang memperjuangkan syariah Islam disiksa dan dibunuh oleh para diktator di negeri-negeri Islam seperti Pakistan, Uzbekistan, Mesir (era Mubarak), Libya (era Khadafi), atau Suriah saat ini. (AF)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*