Jubir HTI: Politisasi Konflik Sampang, Kelompok Liberal Overacting!

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto menganggap rencana kelompok liberal membawa kisruh Sampang ke Dewan HAM PBB sebagai tindakan yang berlebihan. “Mereka telah bersikap over acting!” ungkapnya kepada mediaumat.com, Kamis (30/8) di Bogor.

Meski mengakui ada faktor teologis, menurut Ismail tidak ada relevansinya membawa kisruh tersebut ke Dewan HAM PBB karena kisruh tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh faktor masalah keluarga.

Pasalnya, dari penilaian dan penyelidikan yang sudah dilakukan juga pengungkapan dari mereka yang terlibat itu, lanjut Ismail, memang kedua dimensi tersebut (teologis dan keluarga, red) berjalan.

“Tetapi dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa dimensi keluarga yang lebih menentukan,” ungkapnya. Karena Tajul Muluk membawa Syiah ke Sampang itu sudah lama, sejak 2004 tetapi bentrok baru terjadi Desember 2011 pasca terjadi konflik keluarga.

“Jadi apa relevansinya membawa soal ini ke Dewan HAM?” tanya Ismail mengingat konflik ini terjadi lebih didominasi oleh masalah keluarga.

Picu Masalah Baru

Menurutnya, membawa masalah ini ke Dewan HAM PBB dan apalagi kemudian menuduh bahwa negara itu gagal melindungi minoritas sembari mempersoalkan UU No 1 PNPS 1965 tentang Perlindungan Agama dari Penodaan seperti yang dilakukan kelompok liberal tersebut terlalu berlebihan.

Sementara pada kejadian-kejadian yang sudah jelas-jelas melanggar HAM, misalnya kasus Ambon, Poso, pelarangan membangunan masjid di Papua dan daerah minoritas Muslim lainnya mereka tidak bereaksi apa-apa.  “Ini merupakan tanda-tanda yang memuakkan yang dilakukan oleh para aktivis HAM. Alih-alih memberikan solusi tetapi malah menimbulkan masalah baru!” ujarnya.

Masalah baru tersebut adalah semakin maraknya rusuh sosial. Buktinya bentrok ini mereka jadikan sebagai pintu masuk upaya mempermasalahkan UU Perlindungan Agama tersebut ke Dewan HAM PBB setelah sebelumnya mereka gagal mencabut UU tersebut di Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu.

Kalau pengaturan perlindungan terhadap agama tidak ada, terang Ismail, orang akan bertindak semau-maunya bila merasa harkat dan martabat keyakinannya itu diciderai oleh orang lain. Alih-alih akan menjadi tertib sosial malah menjadi konflik sosial bila tidak ada rambu yang bisa dijadikan pegangan ketika terjadi pelecehan terhadap keyakinan orang lain.

“Nah, UU ada tetapi aparat lamban dalam menanganinya saja, rusuk bisa terjadi, apalagi tanpa ada UU yang mengaturnya?” tanyanya.

Lantas Ismail pun mempertanyakan hakikat dari getolnya aktivis HAM mempermasalahkan UU tesebut.

“Apakah aktivis HAM ini lebih ingin atau lebih setuju kalau masyarakat itu menyelesaikan masalah ini dengan cara sendiri-sendiri? Kalau demikian justru merekalah (aktivis liberal, red) sebenarnya justru yang akan menjadi pemicu kerusuhan sosial,” pungkasnya. (mediaumat.com, 31/8/2012)

One comment

  1. Demokrasi memang sumber konflik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*