Risalah Langit Menghapus Konflik

Tanggapan Atas Kolom Catatan Joni, SH, MH, MKN, MP 

Oleh : Abu Nasir, Ketua DPD II Hizbut  Tahrir Indonesia (HTI) Kotawaringin Barat.

Opini kolom mimbar intelektual muda Kalteng Saudara Joni yang berjudul Konflik Tidak Tergantung Hukum Tetapi Manusianya patut mendapat apresiasi sekaligus sah sah saja untuk dikritisi.

Ada beberapa point penting dalam catatan tersebut. Pertama, Syariah Islam mustahil di terapkan di Indonesia karena negara kita bukan negara agama. Kedua, kekerasan yang terjadi pascareformasi adalah konflik struktural dan bukan kultural. Ketiga, pendekatan paling tepat dalam mengatasi konflik adalah dengan keteladanan dari pemimpin yang berorientasi kesejahteraan bagi rakyat.

Menanggapi catatan ini, penulis ingin mengatakan bahwa adalah benar Indonesia bukan negara Islam. Namun, apakah salah kalau kemudian negeri ini menjadi negara Islam. Dari sisi normatif, kewajiban menegakkan syariah Islam merupakan perintah yang sangat jelas dalam Al Quran maupun As Sunnah (Lihat Al Hasyr 7, Al Maidah 44, 45, 47, 49, 50, An Nisa 60, 65 dan masih banyak lagi). Bahkan, dalam pembukaan UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia atas Rahmat Allah Yang maha Kuasa. Kalau memang benar demikian, sudah sepantasnya kita sebagai hamba NYA untuk tunduk dan taat terhadap seluruh perintah dan larangan Allah SWT. Sebaliknya, tidak layak seorang muslim ingkar kepada aturan Allah yang tertuang dalam Syariah Islam. Kalau ada yang mengatakan NKRI harga mati, mengapa Timor Timor bisa lepas ?

Penulis sepakat NKRI harga mati dalam konteks kesatuan wilayah  teritorial karena Syariah Islam mengharamkan disintegrasi.  Penulis juga sepakat kalau yang dimaksud final adalah negara kesatuan (unitary state), bukan negara federal, karena sistem federal bertentangan dengan Islam.

Namun, kalau yang dimaksud final adalah konstitusi atau sistem pemerintahan, kenyataannya hingga kini tak pernah final. Selalu berubah-ubah dan dinamis, bergantung kepada aspirasi masyarakat.

Dulu, awalnya sistem presidensial, lalu berganti sistem parlementer, dan kembali lagi ke sistem presidensial hingga sekarang. Pasca reformasi, UUD kita juga selalu berubah-ubah dan telah terjadi amandemen berkali-kali. Jadi, yang dimaksud final itu seperti apa ? Karena pada kenyataan selalu berubah ubah.

Atas dasar ini, seandainya anak-cucu kita kelak menghendaki Syariah dan Khilafah, ya itu hak mereka. Sah sah saja menjadi aspirasi umat Islam selama diperjuangkan dengan cara-cara damai.

Adapun realitas penerapan hukum hukum Islam yang buruk pada sebagian negeri negeri muslim seperti di negara negara Timur Tengah saat ini tidak dapat menjadi dasar bagi wajib tidaknya menegakkan Syariah Islam. Sebab yang menjadi dasar kewajiban penegakan Syariah Islam adalah hukum syara yang tertuang dalam Al Quran dan Al Hadist. Kalau realitas menjadi hukum wajib tidaknya sesuatu, maka risalah Islam akan menjadi rusak.

Fakta membuktikan hingga kini masih ada sebagian kecil umat Islam yang bolong bolong sholat lima waktu, tidak berpuasa saat bulan ramadan dan enggan membayar zakat. Kalau bersandar pada realitas tersebut, maka perintah sholat lima waktu, puasa saat bulan ramadan dan membayar zakat hukumnya menjadi tidak wajib. Logika ini jelas sesat dan menyesatkan. Kalau pun logika ini tetap ingin dipaksakan, maka sistem demokrasi yang kita jalankan saat ini hukumnya menjadi haram untuk diterapkan karena penuh dengan berbagai penyimpangan dan terbukti menjadikan negeri ini semakin sengsara dalam seluruh bidang kehidupan.

Menyangkut point kedua, penulis juga sependapat bahwa kekerasan yang terjadi saat ini adalah kekerasan struktural. Penting bagi kita untuk memahami bahwa segala bentuk kekerasan struktural yang terjadi di negeri ini pada hakikatnya sama dengan kondisi masyarakat arab pra Islam (sebelum Islam datang). Dalam kitab kitab sirah banyak digambarkan kondisi jahiliyah masyarakat arab pra Islam yang kerap terlibat pertempuran antar suku dan kelompok. Konflik tersebut terjadi karena fanatisme kesukuan dan taklid buta yang menjangkiti masyarakat terhadap para pemimpin kabilahnya. Alhasil, apapun perintah sang kepala suku, akan dijalankan dan ditaati oleh para anggotanya tanpa kritik.

Realitas kekerasan saat ini tidak jauh berbeda bahkan dengan faktor pemicu yang lebih kompleks. Melalui pemberitaan media massa, hampir setiap hari kita mendengar kabar aksi kekerasan dan kriminalitas antar kelompok atau golongan terhadap sesama yang dipicu oleh beragam faktor mulai dari persoalan pribadi, keluarga, ekonomi, hingga isu SARA. Yang memprihatinkan, eskalasi kekerasan dari tahun ke tahun semakin meningkat dan tidak menunjukkan tanda tanda akan berakhir.  Bahkan keberkahan ramadan sekalipun tak mampu meredam panasnya bara sosial di tengah tengah masyarakat.

Menurut hemat penulis, justru dalam kondisi seperti ini, penegakan Syariah Islam menjadi penting untuk diperjuangkan karena terbukti setelah Islam hadir di tengah tengah jazirah arab, berbagai bentuk kekerasan dan konflik yang terjadi baik struktural maupun kultural menjadi sirna dan berganti dengan kehidupan yang damai.

Ikatan sukuisme dan fanatisme kelompok yang sempit menjadi luluh lantak dan melebar menjadi satu oleh ikatan persaudaraan atas dasar aqidah Islam. Sebagai contoh, dua suku terkemuka di Madinah yakni Aus dan Khazraj yang saling membenci dan sering bertikai sebelum Islam datang mampu berubah menjadi masyarakat yang satu, saling mencintai dan saling mengasihi bersama dengan kaum Muhajirin.

Semua itu mampu terwujud sekali lagi bukan hanya ditopang keluhuran pribadi Rasulullah SAW sebagai  pemimpin umat. Namun, tidak lepas dari keunggulan sistem Islam yang beliau bawa dan terapkan sebagai hukum positif di Negara  Islam Madinah. Tentunya hal yang  sama Insya Allah akan mampu terwujud ketika Syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah tegak di muka bumi ini. Segala bentuk pertikaian antar kelompok, golongan, suku dan agama akan mampu teratasi hingga ke akar-akarnya atas dasar Islam. Sebab, syariah Islam memberi jaminan kebebasan beribadah, keadilan hukum dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh warga negara secara merata baik muslim maupun non muslim. Impian ini tentunya hanya akan terwujud ketika dijalankan oleh pemimpin yang baik dan sistem yang baik pula. Yakni Seorang Khalifah (Kepala Negara Islam) yang menerapkan Syariah Islam dalam bingkai Daulah Islamiyah. Bukan hanya salah satu. Wallahualam. []

Dimuat di Borneonews edisi Senin, 10 September 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*