Ada ketakutan nyata yang diperlihatkan oleh kelompok yang menyebut dirinya pendukung “negara sipil” setelah kelompok Islamis berhasil meraih tampuk kekuasaan. Hal ini dikemukakan oleh seorang penulis sekaligus aktivis politik Sudan, Haji Ali Warraq dalam sebuah diskusi tentang hak-hak kewarganegaraan dan politik pada seminar bertajuk “Kelompok Islamis dan Revolusi Arab”, di Doha.
Haji Warraq tidak ragu-ragu lagi menyebut semua gerakan Islam sebagai pembawa persepsi holistik yang berusaha menyusun kembali dunia manusia secara keseluruhan, menyempurnakan kesucian penguasa, memberlakukan pola piker jizyah, Dar al-Harb dan Dar a-Islam di abad kedua puluh, serta berusaha mengislamkan segalanya, hingga ilmu pengetahuan.
Ia menunjukkan pengalaman kelompok Islamis di Sudan terkait “kerusakan bawaan dari kelompok Islamis”. Ia mengatakan bahwa mereka di negara ini tidak pernah mengalami apa yang diderita oleh kelompok Islamis di negara-negara Arab lainnya. Mereka menggabungkan secara eksklusif budaya tradisional Sudan dan hasil studi mereka di sejumlah perguruan tinggi di dunia. Namun mereka “di dalam pemerintahan telah menghasilkan pengalaman terburuk dalam sejarah modern Sudan”.
Haji Warraq tidak ragu-ragu lagi terkait ketakutan ini, yang menegaskan bahwa ketakutan tersebut merupakan hal nyata bukan hayalan. Ia dengan lantang mengatakan bahwa “Pemikiran yang rusak akan menghasilkan situasi yang rusak juga. Dan sama sekali tidak terkait dengan orang-orang yang rusak, melainkan dengan pemikiran yang sejak awal memang sudah rusak”.
Islamisasi Negara?
Apakah memang ada ketakutan terhadap islamisasi negara pada saat kelompok Islamis berhasil meraih tampuk kekuasaan di sejumlah negara-negara Arab?
Dari awal—seperti yang diperlihatkan penulis Mesir, Fahmi Huwaidi—mengharuskan untuk tidak mengacu pada kelompok Islamis (dan hal yang sama dilakoni oleh kaum sekuler), bahkan seolah-olah mereka adalah satu tim.
Huwaidi fokus pada contoh Mesir, di mana ia melihat bahwa pembicaraan tentang Islamisasi atau Ikhwanisasi negara adalah lebih sederhana. Dan mereka yang mengatakannya sedang memperlakukan negara ini “seolah-olah panas”.
Menurut Huwaidi, bahwa yang mengatakan akan bahayanya kelompok Islamis terhadap kewarganegaraan, maka mereka diperlakukan dengan perspektif orientalis, yang memandang orang-orangnya sebagai makhluk yang datang dari luar angkasa, padahal mereka “bagian integral dari rakyat”.
Huwaidi menekankan dalam menanggapi pertanyaan, “Apakah kezaliman itu telah menimpa kaum Koptik di Mesir?” bahwa “Kezaliman itu menimpa semua rakyat, dan tidak khusus pada kaum Koptik saja”.
Sebenarnya semua ini, tidak lain adalah cara-cara lama yang keji dan jahat dengan mengobarkan fitnah sektarianisme, baik di Mesir maupun di negeri-negeri Islam lainnya, agar negara-negara kafir penjajah punya dalih untuk mengintervensinya. Sebab sepanjang sejarah penerapan sistem pemerintahan Islam tidak ada seorang pun warga negara non-Muslim yang merasa hidupnya dizalimi (aljazeera.net, 11/9/2012)