Total lebih dari 30 ribu orang tewas akibat pergolakan politik di Suriah dalam 18 bulan terakhir. Sementara itu serangan bom menghantam sebuah gedung penting militer di pusat ibukota Damaskus, pada hari Rabu (26/09).
Lebih dari 30 ribu orang, sebagian besar adalah rakyat sipil tewas terbunuh dalam kekerasan yang terjadi sejak meletusnya pemberontakan atas Presiden Bashar al-Assad, pada bulan Maret tahun lalu.
“Paling sedikit 21.534 warga sipil, 7.322 tentara dan 1.168 pembelot telah terbunuh selama 18 bulan terakhir,” kata Rami Abdel Rahman, Direktur Pengawas Hak Asasi Manusia Suriah. Termasuk diantara mereka adalah kelompok sipil yang ikut mengangat senjata untuk menentang Presiden Assad.
Serangan Bom di Damaskus
Serangan bom kembar meledak di sebuah instalasi penting milik militer di jantung ibukota Suriah. Markas besar Staf Angkatan Bersenjata mengalami kerusakan kecil. Demikian keterangan Menteri Informasi Suriah Omran al-Zohbi yang disiarkan stasiun televisi milik pemerintah.
“Pasukan keamanan kini sedang mengejar sebuah kelompok teroris bersenjata di daerah pinggiran, di mana ledakan terjadi,” kata dia menambahkan.
Istilah “teroris“ dipakai oleh pemerintah Suriah untuk menggambarkan pasukan oposisi yang mencoba menjatuhkan Presiden Bashar al Assad. Pengawas Hak Asasi Manusia Suriah yang berbasis di London Inggris mengatakan bahwa ledakan itu terjadi dalam rentang 15 menit.
Mereka juga melaporkan bahwa tembakan senjata otomatis segera terdengar menyusul suara ledakan bom, saat terjadi bentrok antara kelompok oposisi dengan pasukan keamanan pemerintah meletus.
Prancis Serukan Perlindungan PBB
Sementara itu, Presiden Prancis Francois Hollande, hari Selasa (25/09) menyerukan kepada PBB untuk melindungi wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak sebagai upaya untuk menghentikan pertumpahan darah di Suriah.
Dalam pidato di depan Majelis Umum PBB di New York, Hollande mengatakan “Rezim Suriah….tidak punya masa depan diantara kita.”
“Tanpa ditunda, saya menyerukan kepada PBB agar segera menyediakan kepada rakyat Suriah semua dukungan yang diminta dan melindungi wilayah-wilayah yang telah dibebaskan (direbut kelompok oposisi-red).”
Pemerintah Prancis telah mengatakan bakal memusatkan bantuan kemanusiaan bagi Suriah di daerah-daerah yang telah “dibebaskan”.
Dalam pidato di Majelis Umum, Hollande mendukung para pemimpin dunia lainnya yang telah menyerukan diakhirinya kekuasaan Presiden Bashar al-Assad.
Menegaskan kembali posisi negaranya, Hollande mengatakan bahwa apapun pemerintahan yang dibuat oleh kelompok oposisi setelah Assad terguling nanti, akan mendapat pengakuan dari Prancis.
Dalam pidato sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga menegaskan bahwa kekuasaan Presiden Assad harus diakhiri untuk menghentikan penderitaan rakyat Suriah.
Prancis bersama negara barat lainnya marah kepada Rusia dan Cina yang telah tiga kali memveto resolusi Dewan Keamanan terkait pemberian sanksi kepada rezim Assad, menyusul pembantaian yang dilakukan atas ribuan rakyat Suriah. (dw.de,26/9/2012)