Sudah lebih dua pekan gelombang protes atas beredarnya film kontroversial Innocence Of Muslims semakin massif dan tidak menunjukkan tanda tanda akan berakhir. Terakhir, aksi ratusan pengunjuk rasa mengecam film anti Islam di Bangladesh pada hari Sabtu kemarin (22/9) berakhir dengan bentrokan fisik. Di dalam negeri, sejumlah ormas Islam merespon film anti Islam dengan melakukan aksi demo pada berbagai kota di Indonesia. Pada belahan dunia yang lain, negara negara barat seolah menutup mata dan tidak kapok melakukan provokasi dengan kembali melakukan penistaan dalam bentuk penerbitan kartun nabi Muhammad SAW yang dimuat Majalah Charlie Hebdo terbitan Perancis. Majalah tersebut memuat empat karikatur Nabi Muhammad, dan dua di antaranya menunjukkan nabi dalam keadaan telanjang pada rabu pekan lalu.
Jika ketegangan terus berlanjut, bukan tidak mungkin gesekan yang terjadi akan semakin terakumulasi dengan spektrum yang lebih luas hingga berujung pada benturan peradaban. Padahal, jauh sebelum konflik terjadi, sejumlah tokoh intelektual dan agama giat melakukan dialog antar peradaban sebagai jembatan untuk saling memahami dan menghargai perbedaan. Bahkan, hingga kini proses dialog tersebut terus berlangsung secara intens guna menghasilkan kesepahaman di tengah tengah perbedaan yang semakin menganga.
Tujuan akhir tak lain untuk menghindari benturan peradaban dan mewujudkan perdamaian dunia khususnya antara perabadan barat dan Islam.
Dalam kenyataannya, eskalasi konflik yang semakin meningkat akhir akhir ini seolah menjadi tanda bahwa dialog peradaban yang terjalin selama ini telah gagal dalam menuntaskan misi perdamaian.
Kalau kita mau objektif, kegagalan dialog peradaban yang selama ini berjalan lebih disebabkan arongansi negara negara barat yang memaksakan hegemoni atas dunia Islam. Dapat dikatakan barat tidak benar benar tulus menjadikan dunia Islam sebagai mitra yang sejajar dan harus dihormati. Sejauh ini, barat masih memposisikan dunia Islam sebagai pesakitan mulai dengan labelisasi teroris hingga aksi militer yang justru mencederai semangat perdamaian itu sendiri.
Perbedaan nilai nilai keyakinan antara barat dan Islam tidak menjadikan barat berusaha untuk memahami dan menghargai perabadan Islam yang nota bene berperan besar dalam mewujudkan superioritas dunia barat seperti sekarang ini.
Barat justru kerap bersikap egois dan memandang segala hal yang berbeda dengan nilai nilai demokrasi barat sebagai ancaman yang harus di musnahkan.
Lewat proyek besar perang melawan terorisme pasca runtuhnya menara kembar WTC 11/9, AS menempatkan Islam sebagai target politik dan militer yang dinilai menjadi inspirasi bagi lahirnya kekerasan dan terorisme. Tuduhan pelaku terorisme yang disematkan kepada Osama bin laden dan kepemilikan senjata pemusnah massal menjadi pintu bagi agresi militer Irak dan Afghanistan. Akibatnya, jutaan rakyat tak berdosa menjadi korban atas tuduhan yang di kemudian hari tidak terbukti.
Arogansi dan persepsi negatif tentang Islam itulah yang hingga kini bersemayam dalam benak masyarakat barat. Sebuah persepsi yang menjadi inspirasi dan legalitas untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap masyarakat muslim barat baik oleh individu maupun atas nama negara. Mencuatnya film dan kartun nabi, pelarangan jilbab bagi muslimah di Perancis, penyerangan fisik dan perusakan masjid pada sejumlah negara-negara barat menjadi potret buram kebebasan beragama dan semakin memicu ketegangan antara barat dan Islam.
Dalam kondisi semacam ini, konflik yang terjadi tidak akan pernah usia selama tidak ada itikad baik dari barat untuk memperbaiki hubungan dengan dunia Islam. Kalau barat serius, minimal ada tiga langkah konkret yang harus dibuktikan sebagai bentuk komitmen barat dalam mewujudkan perdamaian antar peradaban. Pertama, mulai detik ini barat harus belajar menghargai dan memahami peradaban Islam secara utuh. Tidak hanya melalui dialog dialog semu, namun betul betul teraplikasikan dalam kebijakan institusi negara. Pemerintah harus mampu memberikan jaminan perlindungan dan kebebasan beragama bagi semua khususnya masyarakat muslim di negara negara barat. Harus ada pengakuan dan penghormatan terhadap peradaban muslim sebagai mitra yang sejajar, bukan sebagai pesakitan Kedua, barat harus menghentikan segala bentuk invansi dan hegemoni politik ekonomi di dunia Islam. Intervensi politik yang kerap diwarnai konflik dalam mendudukan para politisi pro barat di negeri negeri muslim harus segera diakhiri. Termasuk menyudahi atas eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi (perusahaan) besar Amerika yang menguntungkan negara pemodal namun justru mensengsarakan rakyat seperti tambang emas oleh Freeport di Papua.
Ketiga, barat juga harus legowo dan memberikan kebebasan terhadap umat Islam untuk menentukan pilihan politik dan masa depan peradaban yang bersendikan nilai nilai ilahiah. Dengan cara itulah proses perdamaian dan sinergi antarperadaban akan terwujud. Tapi, apakah mungkin ?
Fatahillah, Pegiat Kajian Sosial Politik Tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng (Borneonews, Senin, 1/10/ 2012)