Awan Mendung Pemberantasan Korupsi

Oleh: Abdullah Zaid, Peminat Kajian Sosial Tinggal di Pangkalan Bun
Semangat menyelamatkan negeri ini dari ancaman korupsi kembali menemui jalan terjal.  Kisruh antara KPK  vs Polri dalam menangani kasus simulator SIM Korlantas semakin meruncing yang berujung pada upaya -menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjanjanto- kriminalisasi KPK. Sebagaimana diberitakan, pada 27 Juli lalu KPK menetapkan Gubernur Akademi Polisi Irjen Djoko Susilo dan sejumlah petinggi Polri sebagai tersangka kasus simulator SIM. KPK menduga Djoko menyalahgunakan kewenangan dalam proyek berbiaya Rp 196 miliar itu sehingga menimbulkan kerugian negara puluhan miliar. Pasca pemeriksaan Djoko di gedung KPK Jumat lalu, Polri kemudian melakukan serangan balik dengan menangkap salah seorang penyidik KPK Kompol Novel Baswedan atas tuduhan penganiayaan yang dilakukannya 8 tahun lalu.
Konflik yang terjadi antara KPK vs Polri hanya akan semakin menambah sengkarut pemberantasan rasuah di negeri ini. Sejauh ini, KPK diposisikan menjadi pihak yang terzalimi dan sukses meraih simpati serta dukungan publik dalam menjalani drama cicak versus buaya jilid II.
KPK sepertinya sedang di keroyok. Selain menghadapi ancaman dari sesama lembaga hukum, KPK harus meladeni upaya sistemik sejumlah anggota DPR yang berkeinginan memangkas kewenangan KPK lewat revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak pihak menduga revisi UU ini justru akan semakin melemahkan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi.
Terlepas dari itu semua, kisruh yang terjadi semakin menunjukkan bahwa semangat pemberantasan korupsi belum menjadi komitmen seluruh rakyat Indonesia. Dapat dikatakan masih ada sebagian komponen bangsa khususnya pada level elite kekuasaan yang belum ikhlas untuk lepas dari jejaring korupsi. Sejauh ini, semangat pemberantasan korupsi hanya sekedar komoditas politik yang sewaktu waktu dapat disingkirkan jika dianggap sudah tidak menguntungkan khususnya bagi para elit parpol maupun pemerintahan. Bukan merupakan sebuah panggilan nurani untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang menjadi keinginan masyarakat pada umumnya.
Kita tidak boleh lupa, bahwa upaya untuk mengamputasi – bahkan jika perlu membubarkan – KPK bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, publik terpana oleh mencuatnya kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan disusul oleh Chandra Hamzah.
Akar Korupsi : Sistem Korup
Harus diakui, praktik korupsi sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia yang katanya religius. Berbagai upaya pemberantasan korupsi baik melalui seruan moral, penegakan hukum hingga pembentukan lembaga super body KPK ternyata tak membuat praktik amoral ini surut. Buktinya, trend korupsi dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang signifikan dan merata pada semua level. Kabar terbaru menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyelewengan uang negara di tingkat pemerintah provinsi dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Semester II Tahun 2011. Kerugian negara di 33 provinsi dari 2005 hingga 2011 mencapai Rp4,1 triliun.
Alhasil, keliru jika masih ada yang menganggap praktik korupsi yang kian menggurita pada semua level dan lembaga negara hanya sekedar kesalahan individu an sich.
Jika ditelaah secara mendalam, praktik korupsi sejak awal kelahiran hingga beranak cucu sampai sekarang hakikatnya adalah produk sistem demokrasi yang bercorak sekulerisme yakni suatu model kehidupan yang memisahkan antara agama dan kehidupan.
Dalam corak masyarakat sekuler, agama hanya diposisikan sebagai simbol dan konsep ritual yang tidak berhubungan langsung dengan aspek kehidupan duniawi. Model masyarakat semacam ini menjadikan  nilai nilai agama tidak pernah nyambung dengan realitas kehidupan masyarakat.Alhasil, muncullah masyarakat Indonesia yang mengidap kepribadian ganda (split personality).  Pada satu sisi, rajin sholat ke masjid, membayar zakat bahkan haji berkali kali. Namun, pada sisi lain, tetap doyan korupsi, kolusi dan nepotisme saat bekerja mencari nafkah. Model masyarakat semacam ini merupakan realitas biasa yang ada dimana mana dan bukan dianggap sebuah penyimpangan. Pembenaran ini terjadi bukan karena pandangan keagamaan yang sudah berubah. Bagi seorang muslim yang hobi korupsi sekalipun sangat memahami bahwa tindakan korupsi yang dilakukan merupakan dosa di sisi Allah SWT. Namun, tetap saja dilakukan dengan dalih sudah menjadi tradisi yang lumrah dan dilakukan secara berjamaah di lingkungan kerja. Sementara itu, sistem hukum yang berlaku dalam memberantas korupsi tidak memiliki negasi (hubungan langsung) dengan pahala dan dosa. Ketika seseorang ditangkap karena melakukan praktik korupsi, maka akan dijatuhkan hukuman sesuai undang undang pidana korupsi yang berlaku. Tidak ada kaitan dengan apakah apakah hukuman yang dijatuhkan sudah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Inilah yang menjadikan semangat melawan korupsi menjadi sia sia karena minus ikatan ruhiyah yang dilandasi nilai nilai ketuhanan.
Sistem Islam : Anti Korup
Padahal, jika pemberantasan korupsi dilandasi kepada aturan aturan ketuhanan, maka siapapun akan berpikir 1.000 kali untuk korupsi. Sebab, dalam pandangan seorang muslim, ketaatan dalam menjalankan rukun rukun sholat lima waktu sama pentingnya dengan ketaatan untuk amanah dan tidak korupsi di tempat kerja. Sebab, keduanya merupakan aktivitas ibadah dan akan mendapat ganjaran pahala bagi siapa saja yang menaatinya. Jika melanggar, akan mendapat siksa/sanksi baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Agar ini terwujud, maka sanksi yang diterapkan pun harus berlandaskan kepada Syariah Islam. Sebab, Syariah Islam mampu memberi efek jera bagi para koruptor karena memiliki sifat  jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah). Lewat penanaman nilai nilai ketakwaan kepada masyarakat, para koruptor akan dengan sukarela mengembalikan harta hasil korupsi dan menyerahkan diri untuk mendapat sanksi dari negara.  Dan bagi yang tetap membandel, akan mendapat tazir (sanksi oleh hakim) sesuai dengan tingkat kejahatan mulai penjara hingga hukuman mati secara tegas dan adil. Kesimpulannya, pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dengan tambal sulam dan sebatas kesadaran individu semata. Pemberantasan korupsi hanya efektif ketika melibatkan sistem kehidupan yang anti korupsi yakni dengan penerapan sistem sanksi Islam. Dengan model semacam ini, maka pemberantasan korupsi akan terlihat nyata dan tidak sekedar retorika. Akan tetapi, konsep ini hanya akan berjalan sempurna ketika didukung oleh sistem dan subsistem lain yang Islami lewat penegakan Syariah Islam pada seluruh level kehidupan. Insya Allah, awan mendung yang selama ini menyelimuti pemberantasan korupsi akan sirna berganti cahaya keadilan Islam bagi semua baik muslim maupun nonmuslim. Wallahualam
 

Sumber: harian Borneonews (8/10/2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*