Jakarta – Tiga organisasi keagamaan dimintai pendapatnya terkait rencana revisi undang-undang minyak dan gas bumi. Ketiga organisasi tersebut adalah PB Nadhlatul Ulama, Hizbut Tahrir Indonesia, dan PP Muhammadiyah.
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU Andi Najmi Fuadi mengatakan pihaknya mengapresiasi rencana DPR melakukan perubahan menyeluruh atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Salah satu poin yang menjadi perhatian PBNU adalah pemberian kewenangan eksplorasi dan eksploitasi sumber migas.
“Pemberian kewenangan kepada pemerintah, yang secara teknis dilakukan oleh BUMN, adalah keharusan, bukan alternatif,” kata Andi dalam pemaparannya, Kamis, 11 Oktober 2012.
Selain itu, Andi mengatakan sistem pengelolaan migas seharusnya sederhana, sehingga sistem pengawasannya juga sederhana. Namun, Andi mengingatkan pengelolaan ini tetap harus menjamin keuntungan dan pemasukan sebesar-besarnya bagi negara.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, yang hadir dalam rapat tersebut menyatakan UU Migas yang berlaku saat ini sarat nuansa liberalisasi. Ismail mengatakan liberalisasi yang terjadi di sektor hulu dan hilir ini membuat perusahaan migas asing bisa menguasai sumber-sumber migas di Indonesia.
Ismail juga mempertanyakan muatan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengenai larangan pengusahaan sektor hulu dengan sektor hilir oleh badan usaha yang sama. “Sekarang Pertamina dipecah-pecah, masing-masing entitas perusahaan kena pajak dan mengambil margin. Jadinya Pertamina tidak efisien,” kata Ismail.
Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menyoroti masalah lemahnya pengawasan di sektor migas. Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Syaiful Bahri menyatakan meskipun Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mewakili pemerintah, pengawasan terhadapnya masih lemah.
Dalam catatan sekretariat komisi, rapat dengar pendapat dengan ketiga organisasi masyarakat ini dihadiri oleh sekitar 20 anggota komisi. Namun, menurut pantauan Tempo, hanya belasan anggota dewan yang mengikuti rapat dengar pendapat yang dipimpin oleh Zainudin Amali ini.( TEMPO.CO,Kamis, 11 Oktober 2012 | 12:47 WIB)
Hanya jika dikelola dengan sistem syariah hasil sumber daya alam (migas) akan bisa dinikmati oleh rakyat.
Alhamdulillah HTI cukup diperhitungkan juga oleh DPR-RI….
Anggota komisi yang tidak hadir dengar pendapat dengan masyarakat adalah bukti bahwa mereka lebih mendengar apa kata “TUAN” mereka para kapitalis Asing yang membuat UU tersebut ,yang sejatinya adalah undang2 Perampokan kekayaan negara,dan ternyata mereka bukanlah wakil rakyat Indonesia,tapi wakil dari negara asing