HTI Press, Bogor. Keputusan pemerintah dan DPRD Kota Bogor yang menyetujui kenaikan tarif PDAM menuai protes. Hal ini mencuat dalam diskusi yang dihadiri oleh 17 tokoh Kota Bogor yang digagas oleh HTI Kota Bogor yang bertempat di kantor DPD HTI Jl. Pandu Raya pada hari Sabtu (13/10).
Menurut Gus Uwik (Ketua DPD 2 HTI Kota Bogor) bahwa pengelolaan sumber daya air saat ini di Kota Bogor tidak sesuai dengan syariah Islam. “Pengelolaan air di kota bogor saat ini terjadi liberalisasi. Pemerintah dalam hal ini PDAM bertindak tak lebih menjadi pedagang yang menjual air kepada masyarakat,” jelas Gus Uwik. Padahal menurut syariat Islam seharusnya pemerintah dalam mengelola air harus dalam sudut pandang pelayanan, bukan pedagang.
Lebih lanjut Gus Uwik menegaskan bahwa dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah disebutkan bahwa umat manusia, baik di Islam maupun non Islam berserikat dan mempunyai hak yang sama dalam tiga hal, yakni air, padang rumput dan api. “Hak di sini artinya ada dua. Pertama setiap manusia mempunyai posisi yang sama untuk mendapatkan air dengan murah, bahkan kalau bisa gratis baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Kedua; air harus dikelola oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” jelas Gus Uwik.
Gus Uwik juga menyoroti kenapa semua pihak lebih ribut membahas otak-atik direksi PDAM. Sedangkan kenaikan tarif PDAM dibiarkan lolos melenggang. Padahal jelas, kenaikan ini memberatkan masyarakat dan tidak sesuai dengan syariah. “Ada apa ini? Kenapa kenaikan tarif pemkot dan DPRD diam seribu bahasa?” tanya Gus Uwik.
Hai ini dikuatkan juga oleh Ace Sumanta pengurus LBH Nusantara yang juga dewan pengurus kesenian kota bogor. Beliau menyebutkan barang siapa yang mengabaikan air, maka murka Allah itu jelas. Tapi sebaliknya jika kita dekat dengan air, Allah pun akan ridho. Hal ini menunjukan bahwa bagaimanapun cara pengelolaan air atau sumber daya alam oleh seorang yang ahli, insinyur bahkan master sekalipun, selama dikelola dengan system yang bukan berasal dari Allah, maka pengelolaannya tidak akan berhasil.
Sedangkan Firman dari YLBHI mengharapakan HTI bisa menjadi garda terdepan dalam hal pemberian masukan kepada Pemkot Bogor. “Saya melihat HTI tidak ada kepentingan apa-apa. HTI saya nilai sangat kencang dalam menyuarakan hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan umat,” kata Firman. Firman juga menambahkan bahwa perubahan status air menjadi private goods dari sebelumnya public goods merupakan hal yang perlu dikritisi juga. Sebab ini sudah melenceng dari ketentuan syariah dan Undang-undang yang ada.
Sedangkan menurut bapak Abdullah Marasbesi dari PAN, masalah pengelolaan SDA tidak hanya air saja yang bermasalah, tapi juga menyangkut pengelolaan sumber daya alam lainnnya. Mulai dari tata ruang, kehutanan, daerah aliran sungai dan seterusnya. “Jadi membicarakan air seharusnya bukan membahas PDAM semata tapi juga membahas aspek yang lain. Karena semua terkait,” terangnya. Pak Abdullah juga menegaskan bahwa masalah pengelolaan air ini sistemik. Penyelesaiannya pun harus sistemik. “Kalau tidak diatur dengan sistem khilafah maka tidak akan bisa,” tutur Abdullah.
Acara yang dimulai sekitar pukul 09.00 itu ditutup sekitar pukul 11.30 dengan doa dan harapan besar bahwa jangka panjang pengelolaan sumber daya alam seperti air yang merupakan kebutuhan orang banyak akan dikelola dengan baik dengan sistem yang berasal dari Allah swt dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Lebih lanjut hasil ini akan diteruskan ke pihak-pihak terkait, seperti wali kota dan DPRD. “Kita sudah layangkan surat audiensi ke Walikota dan DPRD. Kita tunggu respons mereka. Adalah tidak bijak jika Pak Wali dan DPRD mengabaikan aspirasi rakyat. Sebab surat audiensi kita yang pertama diacuhkan. Oleh karena itu kita layangkan surat ke dua. Semoga tidak diacuhkan lagi. Kita merasa aneh jika tidak ditanggapi. Ada apa gerangan?,” terang Gus Uwik. []MNR