Sebagaimana ramai diberitakan, Presiden SBY telah memberikan grasi kepada sejumlah terpidana mati dalam kasus narkoba. Diantaranya adalah Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola alias Tania, yang hukuman keduanya diubah menjadi hukuman seumur hidup. Sebelumnya, pada 26 September 2011, Presiden juga mengeluarkan grasi yang mengubah hukuman terpidana mati kasus narkoba atas nama Ola dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Keputusan pemberian grasi atau pengampunan oleh Presiden kepada sejumlah terpidana mati dalam kasus narkoba tentu patut dipertanyakan. Bila dikatakan grasi itu dikeluarkan dengan alasan kemanusiaan, apakah Presiden lupa bahwa narkoba kini telah menjadi ancaman yang sangat serius terhadap keselamatan rakyat negeri ini, terutama generasi mudanya. Lihatlah, jumlah kejahatan narkoba terus meningkat dari 26.000 kasus pada 2010 menjadi 29.000 kasus pada 2011 dengan jumlah pecandunya juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Sekretaris Utama Badan Narkotika Nasional (BNN), Irjen Pol Bambang Abimanyu, jumlah pecandu narkoba di Indonesia saat ini telah mencapai 3,8 juta jiwa, dengan kerugian sosial ekonomi lebih dari Rp 50 triliun per tahun yang ditimbulkan olah dampak sosial, turunnya kualitas sumber daya manusia sebab cacat permanen otak, dan dampak samping berupa kejahatan dari pencurian hingga kekerasan serta biaya rehabilitasi yang harus dikeluarkan. Setiap hari 50 orang meninggal karena narkoba secara langsung atau tertular HIV/AIDS melalui jarum suntik. Yang dirugikan bukan hanya pemakai, melainkan juga keluarga dan masyarakat umum, seperti kasus Afriyani yang menabrak 12 orang pejalan kaki yang mengakibatkan 9 diantaranya meninggal dunia akibat pengaruh narkoba jenis ekstasi saat dia mengemudikan mobil di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, 22 Januari lalu.
Inilah akibatnya bila hukum jahiliah (sekuler) yang dijadikan dasar dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum menjadi obyek tarik ulur berbagai kepentingan sehingga tidak pernah dihasilkan kepastian hukum. Dengan dalil memiliki hak prerogratif, Presiden dalam kasus ini lebih memperhatikan kepentingan kemanusiaan terdakwa, tapi mengabaikan kepentingan rakyat banyak yang menjadi korban dan terancam oleh kejahatan narkoba. Ketidakpastian hukum ini pada akhirnya pasti akan merugikan rakyat banyak karena hukum yang ada tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, yakni kejahatan narkoba.
Maka, pemberian grasi itu tak pelak menunjukkan secara nyata, bahwa Presiden SBY tidak lagi peduli terhadap keselamatan rakyatnya. Apalagi dalam keputusan itu ternyata lebih memperhatikan citra dan pujian pihak luar. Menutut Menlu Marty Natalegawa, pemberian grasi itu mengikuti atau kecenderungan internasional pengurangan hukuman mati yang dilakukan di banyak negara. Menurut Menlu Marty, 140 dari 193 negara anggota PBB telah menghapus hukuman mati atau melakukan moratorium. Pemberian grasi SBY itu juga sempat mendapat pujian dari Komnas HAM Asia. (Muhammad Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia)