Dr. Arim Nasim/Muhammad Ishaq (Lajnah Mashlahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Kisruh soal pengelolaan migas di negeri ini kembali mencuat. Kali ini Pertamina yang didukung oleh sejumlah aktivis dan akademisi menuntut agar BUMN tersebut diberikan kesempatan untuk mengelola blok Mahakam yang kontraknya berakhir pada tahun 2017. Pertamina sendiri telah mengajukan rencana akuisisi 51 persen hak pengelolaan blok tersebut pada 2017 ke Kementerian ESDM. Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam dilakukan oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) pada 31 Maret 1967 dan berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997 dan diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017. Sebelum kontrak selesai , Total dan Inpex, telah berupaya untuk memperpanjang kontrak.
Namun demikian, pemerintah hingga saat ini belum mengambil sikap, namun dari pernyataan Menteri ESDM, Wamen ESDM dan Kepala BP Migas cenderung untuk kembali memperpanjang kontrak kepada asing. Bahkan dengan congkaknya Wamen ESDM menyatakan Pertamina tidak akan mumpuni mengelola Blok Mahakam.
Potensi dan Produksi Blok Mahakam
Indonesia sejak dulu dikenal sebagai salah satu produsen utama gas yang menjadi incaran para investor raksasa. Pada tahun 2010 cadangan terbuktinya sebesar 153 TCF. Dengan produksi sebanyak 8.86 juta standar metrik kaki kubik per hari (MMSCFD), Indonesia tercatat sebagai produsen gas terbesar ke-9 dunia dengan kontribusi sebesar 14 persen dari total produksi gas dunia. Sementara dari sisi cadangan gas terbukti Indonesia menempati urutan 12 dunia (BP, 2011). Cadangan terbesar ada di blok Natuna dengan jumlah 50 TCF disusul blok Tangguh dan blok Mahakam. Namun dari sisi produksi saat ini, blok Mahakam masih yang paling besar.
Selama ini, blok yang memiliki potensi cadangan sekitar 12,4 TCF (trillion cubic feet) itu dikelola oleh Total E&P perusahaan asal Prancis dan Inpex perusahaan asal Jepang dengan masing-masing saham 50 persen. Total sendiri telah mengeruk blok ini sejak 1967 dan menjadi sumber produksi terbesarnya di Indonesia. Produksi harian dari blok ini mencapai 2,5 BCF perhari. Sebanyak 80 persen kebutuhan kilang LNG Bontang berasal dari blok ini. Sebagian besar dari LNG tersebut kemudian diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Selain itu, blok ini juga memproduksi 92 ribu barel minyak dan kondensat pada tahun 2011 (Platt.com).
Sayangnya sebagaimana hal sumber daya alam lainnya, produksi gas Indonesisa masih dikuasai pemain swasta khususnya asing. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan, pada tahun 2011 dari total produksi gas di Indonesia yang mencapai 3,26 TCF, produsen utamanya dipegang oleh Total (27%), Conoco (17%), Pertamina dan mitranya (13%) dan Britis Petrolium (12%). Dengan kata lain, 87 persen gas nasional dikelola oleh pihak swasta. Itupun belum memperhitungkan blok yang dikelola oleh Pertamina yang menggandeng pihak swasta.
Memang tidak semua dari produksi yang dikelola oleh swasta tersebut masuk ke kantong produsen sebab setiap hasil produksi mereka dibagi sesuai skema Production Sharing Contract (PSC). Namun tetap saja secara ekonomis akan lebih menguntungkan jika kekayaan alam tersebut dikelola oleh negara. Namun itulah buah pahit dari liberalisasi sektor migas yang telah dijalani di negeri ini. Liberalisasi sektor migas yang diarsiteki oleh IMF dan Bank Dunia, diantaranya melalui UU Migas No 22/2001, telah menempatkan Pertamina sebagai BUMN sejajar dengan perusahaan-perusahaan swasta. Mereka harus bersaing untuk memenangkan tender pengelolaan blok-blok migas yang ditawarkan pemerintah termasuk yang paling potensial sekalipun.
Yang lebih menyedihkan, sebagian besar dari produksi gas yang diproduksi di negeri ini justru lebih banyak diekspor. Berdasarkan Neraca Gas Indonesia tahun 2010-2025, total pasokan produksi gas baik untuk tahun 2012 masih defisit jika dibandingkan dengan permintaan domestik. Pada tahun 2010 misalnya sebanyak 52 persen dari produksi gas dalam negeri diekspor ke mancanegara. Padahal kebutuhan dalam negeri masih banyak yang belum tercukupi seperti yang mendera PLN dan sektor industri manufaktur yang menjerit kekurangan gas sehingga terpaksa menggunakan BBM yang harganya jauh lebih mahal. Biaya produksi mereka akhirnya menjadi lebih mahal. Pada tahun 2013 misalnya, pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik tahun sebesar 15 persen dengan alasan subsidi listrik sangat membebani APBN. Padahal hal itu tidak perlu terjadi jika sumber energi PLN yang saat ini sebagian besar menggunakan BBM dikonversikan ke gas. Lebih dari itu, harga gas domestik baik untuk industri dan rumah tangga juga terus ditingkatkan hingga mencapai harga keekonomian alias setara dengan harga pasar internasional.
Alasan klasik : Pertamina tidak mampu ?
Salah satu alasan yang sering dikemukan oleh pemerintah maupun anggota dewan ketika menyerahan kontrak migas kepada perusahaan asing adalah ketidakmampuan Pertamina baik dari sisi modal maupun teknologi. Dari sisi teknologi Explorasi MIGAS itu ada 2 bentuk yaitu Eksplorasi di darat dan Explorasi MIGAS di lepas pantai, untuk explorasi di darat Pertamina dengan Tenaga-tenaga ahlinya dari dalam negeri sudah mampu mendeteksi dan mengekplorasinya tanpa hambatan. Penemuan cadangan minyak di Blok Cepu adalah tenaga ahli dari Pertamina dan Pertamina menyatakan mampu secara teknologi untuk mengekplorasinya tanpa bantuan asing tapi karena tekanan Amerika maka dengan begitu mudahnya Blok Cepu tersebut diserahkan kepada Exxon Mobile. Adapun Eksplorasi MIGAS di Lepas Pantai (laut) walupun mungkin memerlukan teknologi yang lebih maju sebenarnya Pertamina bisa melakukan kalau ada kebijakan politik yang jelas dari pemerintah.
Kalau saat ini PERTAMINA dianggap tidak mampu , adalah sebuah keanehan, kenapa setelah puluhan tahun kok Belum mampu ? Kalau pun tidak mampu Sebenarnya Ketidakmampuan Pertamina Explorasi di laut dalam bukan karena SDM Kita yang tidak mampu karena faktanya banyak SDM Indonesia yang bekerja di Perusahaan Asing baik di Indonesia maupun di Luar negeri karena Gajinya lebih besar , misalnya banyak Tenaga Kerja Indoneia yang bekerja di persuhaan marine hidrography untuk memasang oil-rig atau pipeline begitu juga banyak SDM Pertamina keluar dan pindah ke Perusahaan Asing seperti Arco yang banyak melakukan eksplorasi di Laut Jawa. Jadi Pernyataan Wamen ESDM bahwa Pertamina belum mampu sebenarnya bukan faktor Teknologi dan SDM kita yang tidak mampu tapi kebijakan Pertamina atau Pemerintah yang memang tidak pernah serius melakukan itu, sehingga tidak ada upaya transfer teknologi dari Perusahaan asing, padahal selama ini salah satu alasan kerjasama dengan perusahaan Asing adalah Alih Teknologi.
Sunguh Ironis ! PERTAMINA sebagai BUMN saat ini diminta oleh pemerintah untuk ekspansi ke luar negeri dalam rangka mencari sumber minyak dan gas. Sementara Minyak dan Gas yang melimpah dinegeri ini di serahkan kepada perusahaan asing !
Penutup
Kisruh pengelolaan blok Mahakam merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang prokapitalis dengan liberalisasi sumber daya alam yang dilegalkan oleh DPR yang khianat terhadap rakyat melalui UU MIGAS No. 22 tahun 2001. Rasanya sulit berharap ada kebijakan yang pro rakyat selama sistem yang digunakan adalah sistem kapitalis dan penguasanya adalah antek para kapitalis yang mengabdi bukan untuk kepentingan rakyat. Negara-negara kapitalis tidak akan melepaskan keuntungan yang selama ini mereka dapatkan baik melalui jalur bisnis maupun tekanan politik. Hal inilah yang dilakukan oleh PM Prancis Francois Fillon pun yang meminta perpanjangan kontrak Mahakam saat berkunjung ke Jakarta Juli 2011. Disamping itu Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat kunjungan Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012. Hal yang sama disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012.
Hanya dengan sistem islam dan pemimpin yang amanah kekayaan alam akan memberikan manfaat untuk rakyat. Dalam pandangan Islam, Gas sebagaimana halnya tambang yang melimpah lainnya dalam perspektif ekonomi Islam merupakan barang milik umum (al milkiyyah al-ammah). Dengan demikian pengelolaannya harus diserahkan kepada negara dalam hal ini Khilafah Islamiyyah. Seluruh hasilnya digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. Dari Abyadh bin Hammal: beliau menghadap kepada Nabi saw dan memohon diberikan bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata : “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah (seperti) air yang mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.” (HR. Baihaqy & Tirmidzy). Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menyerahkan penguasaan barang tambang yang melimpah kepada swasta namun tetap dikuasai oleh negara. Wallahu a’lam bishawab[]
Ibarat seorang Bapak yang menyuruh anaknya menimba air di sumur tetangga dengan alasan air sumur di rumah sudah mulai surut. Anehnya, tetangga yang lain boleh menimba air dirumah Bapak tersebut.
Saat dikomfirmasi oleh anaknya, Si Bapak berkata, “Nak, kamu masih belum kuat menimba air di sumur kita”.
=====
Logika yang aneh. Sudah meminta menimba iar di sumur tetangga, si anak diminta mengangkut airnya ke bak kamar mandi.
Cepek nimba bercampur letih ngangkut air.
Masihkah kaum muslimin mengharapkan sistem sekuler, yg tampak jelas akan membawa kesengsaraan di dunia dan akhirat, saatnya islam tampil kedepan untuk mensejahterakan
Jadi Pernyataan Wamen ESDM bahwa Pertamina belum mampu sebenarnya, menunjukkan dengan JELAS pemerintah berpihak kepada siapa. selama sistem nya kapitalisme kiblat keberpihakan rejim tak akan berubah. Memang sudah saatnya ganti rejim ganti sistem dgn Al Khilafah.