Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahumma ajirnii fii mushibati wa akhliflii khairan minha.
Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’ madkhalahu waj’al jannah matswa lahu waj’al ahlahu min al-shabirin, birahmatika ya Arham al-Rahimin.
Telah berpulang ke Rahmatullah, tokoh pejuang Syariah dan Khilafah, KH Syamsuddin Latif, pada usia 74 tahun, Selasa (23/10/12). Almarhum yang akrab disapa Kyai Syam berpulang ke rahmatullah di rakaat pertama saat mengimami shalat shubuh berjamaah di Masjid Fastabiqul Khairat, Jalan Maccini Gusung No 62 Kelurahan Maccini Gusung Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Rencananya Almarhum akan disolatkan di Masjid Fastabiqul Khairat ba’da shalat Zhuhur kemudian disemayamkan di tempat kelahirannya, di Kecamatan Borong, Kabupaten Sinjai.
Semasa hidup, semangat dan komitmen dalam dakwah perjuangan menegakkan syariah dan khilafah tidak tidak diragukan lagi. Hal ini tampak dari semangatnya yang selalu menyempatkan diri hadir dalam berbagai kegiatan dakwah yang dilaksanakan Hizbut Tahrir Indonesia.
Tidak sekedar hadir namun almarhum juga selalu tampil memberikan komentar dan tanggapan terhadap berbagai isu yang diangkat dalam berbagai acara dakwah, termasuk bila diminta membawakan orasi.
Begitu juga ketika HTI Sulawesi Selatan menggelar aksi penolakan penaikan BBM, dengan lantang almarhum menganalogikan para elite penguasa dzalim di negeri ini dengan fir’aun. “Lihatlah di setiap pemilu. Mereka beretorika dengan baik. Tapi lihatlah pula apa yang telah terjadi sekarang. Inilah yang orang katakan, ucapannya santun… tapi tindakannya fir’aun!” pekiknya dihadapan massa penolak penaikan dan liberalisasi BBM, Jum’at (30/3) siang di Monumen Mandala, Makassar.
Riwayat Singkat
Almarhum merupakan tokoh Muhammadiyah yang pernah dimanahkan menjadi Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Kota Makassar dan terakhir sebagai Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Makassar dan sebagai Direktur Madrasah Muallimin Muhammadiyah Cabang Makassar.
Selain itu, semasa hidupnya almarhum aktif berceramah selaku muballigh Muhammadiyah Sulsel, sebagai imam masjid Fastabiqul Khaerat Muhammadiyah, membina majelis taklim ibu-ibu serta mengajar Bahasa Arab untuk remaja di lingkungannya.
Almarhum lahir di Sinjai, Borong pada 1936. Sedari kecil hingga lulus Sekolah Rakyat pada 1951, dirinya sudah biasa ikut sang ayah keluar masuk hutan dalam pergolakan yang dipimpin Kahar Muzakkar, pejuang Darul Islam di Sulsel. Setamat SR, ia merantau ke Tanete Kab. Bulukumba untuk menuntut ilmu di Sekolah Menengah Islam (SMI).
“Saya di SMI hanya 3 bulan karena waktu itu tidak ada guru dan akhirnya sekolah dibubarkan. Akhirnya, saya masuk ke sekolah Arab, semacam madrasah di Bulukumba selama 2 tahun dan kembali belajar di SMI setelah sekolahnya dibuka kembali,” urainya kepada Media Umat.
Namun sayang, selang beberapa bulan SMI kembali harus tutup dan akhirnya ia memutuskan untuk menuntut ilmu di Makassar, tepatnya di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Makassar pada tahun 1955. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Muallimin Wustha Muhammadiyah Makassar kemudian ke jenjang Muallimin Ulya Muhammadiyah Makassar sampai tahun 1960.
Kemudian, ia merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah Muallimin Yogyakarta dan menempuh pendidikan di Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, lalu beralih ke Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) di Solo lalu lanjut lagi di Fakultas Agama Islam (FAI) di Universitas Cokroaminoto Solo sampai meraih gelar sarjana muda.
Selama di Yogya dan Solo inilah, almarhum banyak melibatkan diri dalam perjuangan dakwah. Selain telah mejadi muballigh pada Majelis Tabligh Muhammadiyah sejak tahun 1958, ia pun aktif pula pada berbagai pergerakan pemuda dan mahasiswa antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).
Sekembali dari Solo, almarhum mendedikaskan waktunya untuk dakwah dan pendidikan. Ia menjadi asissten Dosen Agama pada UNHAS Makassar Tahun 1967-1975, lalu jadi guru pada Madrasah Muallimin Muhammadiyah Cabang Makassar sejak tahun 1968 sampai sekarang.
Pada 1965, ia ditugaskan sebagai Anggota Penumpasan G30S/PKI oleh Panglima KODAM XIV Hasanuddin, meliputi Kabupaten Bantaeng, Bulukumba dan Sinjai.
Sebagai muballigh, ia secara terus terang dan berani menyampaikan kewajiban untuk menegakkan syariah Islam. Akibat ceramah-ceramahnya yang dinilai keras, ia pernah dituduh menentang rezim Golkar dan dipanggil aparat Babinsa. Namun ia tidak pernah merasa takut, termasuk pada militer. Malah pada akhirnya ia diterima sebagai anggota ROHIS KODAM XIV Hasanuddin sejak tahun 1967 sampai tahun 1975. Sedangkan di era reformasi ini, ia aktif di majelis Syuro KPPSI, HTI dan Muhammadiyah Makassar.
Mengenal Hizbut Tahrir
Kepada Media Umat, almarhum becerita awal mulanya mengenal Hizbut Tahrir. Kakek 15 orang cucu ini mengatakan, waktu itu belum lama pasca tumbangnya rezim orde baru, ia diundang oleh Ustadz Zulfahmi (aktivis HTI Sulsel) dalam sebuah acara dialog di kampus Unhas.
“Sejak tahun 2000 saya sudah sudah akrab dengan ide-ide syariah dan khilafah karena selalu dibawakan majalah Al-Waie. Saya sangat tertarik dengan pemikiran Hizbut Tahrir dan perjuangan para syabab yang senantiasa komitmen untuk penegakan syariah dan khilafah,” ungkapnya.
“Selain itu, yang membuat saya juga tertarik dengan pemikiran HT karena dalil-dalil yang disampaikan HTI bersumber dari Alquran dan As-Sunnah yang shahih. Saya belum pernah mendapatkan di kitab-kitab atau media yang dikeluarkan HT terdapat hadist-hadist dhaif, hal ini sejalan dengan apa yang saya peroleh di Muhammadiyah yang senantiasa berlandaskan Alquran dan Hadits shahih,” imbuhnya.
Pengalaman paling berkesan baginya adalah ketika mengikuti Konferensi Khilafah Internasional (KKI) di Gelora Bung Karno pada tahun 2007. Pasca KKI, ia merasa makin bersemangat dan menyuarakan dengan lantang ide syariah dan khilafah pada berbagai kesempatan.
Pada 2009, Kyai Syamsuddin juga menghadiri Muktamar Ulama Nasional (MUN) di Istora Senayan Jakarta.
Pertemuannya dengan para aktifis pejuang syariah dan khilafah dari berbagai negara pada acara yang dihadiri sekitar 7000 ulama lokal maupun internasional itu membuatnya semakin yakin akan janji Allah untuk kemenangan Islam.
“Yang paling saya rasakan sejak berinteraksi dengan HT adalah wawasan saya tentang Islam bertambah luas, makin bertambah ilmu, apalagi sejak rutin membaca ide-ide HT dalam berbagai media seperti Media Umat dan Majalah Al-Waie,” ujarnya.
Lebih jauh, suami dari Hj. Fatimah ini mengatakan sangat senang dan bersemangat bisa berinteraksi dengan aktivis HT, terutama bisa bersilaturrahi dan bersama-sama umat memperjuangkan Islam.
Lebih dari itu, almarhum pun sampai pada kesimpulan wajibnya merubah sistem. “Selama sistem pemerintahan yang ditegakkan adalah selain Islam, baik itu sosialisme maupun kapitalisme, pasti akan gagal total dan hanya akan membawa kehancuran!” tegasnya.
Berdasarkan pengakuannya, sebelum mengenal HT, dakwah yang disampaikan masih seputar ibadah-ibadah mahdah, namun sejak mengenal Hizbut Tahrir, ia tanpa kenal lelah terus menyuarakan haram dan bahayanya ide-ide kufur seperti sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Ia pun gencar berdakwah di tengah-tengah umat tentang haramnya demokrasi dan hanya syraiah dan khilafah yang akan mensejahterakan dan menyelamatkan umat manusia.
Diakhir perbincangan dengan Media Umat beberapa bulan lalu, almarhum mengajak pada semua komponen umat untuk mendukung dan bersama-sama Hizbut Tahrir untuk berjuang menegakkan syariah dan khilafah.
Kepada para aktivis HTI, ia berpesan, jangan pernah kendor untuk terus menerus melakukan penyadaran kepada umat, menyampikan kepada mereka wajibnya dan indahnya hidup di bawah naungan syariah dan khilafah.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahumma ajirnii fii mushibati wa akhliflii khairan minha..
Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’ madkhalahu waj’al jannah matswa lahu waj’al ahlahu min al-shabirin, birahmatika ya Arham al-Rahimin. Aamiin.[]Bahrul Ulum/Joy
Selamat jalan wahai pejuang khilafah. Allohumaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fu’anhu.