Setiap orang tentu rindu untuk menunaikan ibadah haji. Tidak mengherankan setiap tahun jamaah haji meningkat. Pada tahun 1429 H berjumlah 2,4 juta orang dan tahun 2012 meningkat menjadi 3,5 juta umat Islam menyambut panggilan Allah SWT tersebut. Dari Indonesia hampir setiap tahun sebanyak 200 ribu orang berangkat ke BaitulLâh. Semua rindu. Rela mengantri selama 4 tahun, bahkan di beberapa daerah harus menanti selama 10 tahun untuk mendapatkan giliran naik haji. Hingga saat ini tercatat ada 1,9 juta orang di Indonesia mengantri untuk dapat menunaikan haji.
Fenomena ini sangat membanggakan. Dalam rangka memenuhi kewajiban dari Allah SWT kaum Muslim saling berlomba. Semua ingin lebih dulu melaksanakan kewajiban tersebut. Mereka rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan jauh dari keluarga. Untuk apa? Demi menunaikan kewajiban dari Allah Rabbul ‘âlamîn.
Hanya saja muncul pertanyaan, mengapa sikap demikian hanya terjadi untuk menunaikan haji? Mengapa ketika Allah memerintahkan umat Islam agar menerapkan hukum Islam secara kâffah belum ada sambutan dari 200 ribu orang setiap tahun di Indonesia? Mengapa kewajiban dari Allah Rabb Baitullâh untuk menerapkan syariah Islam belum mendapat sambutan seperti layaknya sambutan terhadap kewajiban haji? Mengapa pengorbanan serupa belum diberikan bagi perjuangan tegaknya Khilâfah ‘alâ Minhâj an-Nubuwwah sebagaimana dititahkan Rasul? Padahal bukankah salah satu doa dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as. ketika membangun Ka’bah adalah agar kita mengikuti ajaran Rasul? Saat itu beliau berdua berdoa: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (TQS al-Baqarah [2]:129).
Haji adalah ibadah. Orang-orang yang menghayati setiap aktivitas di dalamnya akan mendapatkan banyak pelajaran. Misalnya, ketika pertama kali memasuki kota Makkah, siapa pun tak akan tahan menahan mata berkaca-kaca. Terbayang di benaknya, inilah kota yang di dalam al-Quran disebut al-balad al-amîn (negeri yang aman). Pikiran pun melayang. Di sinilah dulu Rasulullah saw. memulai dakwah dan membina para Sahabat. Di kota inilah beliau dilempari kotoran unta, diembargo selama dua tahun, para Sahabatnya diintimidasi, dsb. Masih ada dalam ingatan, di kota ini pula Rasulullah saw. diancam dengan pembunuhan oleh kaum kafir Quraisy. Mereka berunding di pusat kajian strategis mereka, Dâr an-Nadwah, untuk melancarkan rencananya itu. Inilah kota perjuangan awal Nabi saw. mendakwahkan Islam. Pada saat menginjakkan kaki di kota Makkah, kecintaan kepada Allah dan Rasulullah pun membuncah. Semangat perjuangan pun terkobarkan. Haji menjadikannya sebagai pecinta Islam.
Pada saat menyaksikan Ka’bah, segera teringat pada al-Quran surat Quraisy: Hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (TQS Quraisy [106]: 2-3).
Di tempat inilah Nabi Muhammad saw. pernah dilarang shalat oleh Abu Jahal. Namun, beliau tetap diperintahkan untuk sujud kepada Allah. Beliau diperintah oleh Allah SWT: Sekali-kali jangan. Janganlah kamu patuh kepada dia. Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah) (TQS al-‘Alaq [96]: 19).
Hati pun segera tertambat kepada Allah SWT. Tekad pun membaja; tekad untuk sungguh-sungguh hanya menyembah Allah, Zat Yang Mahagagah. Selama tawaf berkeliling Ka’bah pun teringat bahwa di Ka’bah inilah dulu para sahabat bersama Rasulullah saw. berkumpul menyambut kemenangan futuh Makkah. Rindu, haru dan harapan berpadu menjadi satu. Terasa seakan-akan Bilal bin Rabbah ra. masih berdiri tegak di atas Ka’bah mengumandangkan azan kemenangan saat futuh Makkah itu. Ketika itu pula, muncullah harapan akan datangnya pertolongan dari Allah SWT. Kalau dulu Rasulullah saw. diberi kemenangan dan rasa takut berubah menjadi aman, maka kemenangan dan rasa aman itu pulalah yang akan didapatkan oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia. Tawaf di Ka’bah pun membangkitkan harapan akan datangnya kemenangan.
Wukuf di Arafah. Kata Nabi, “Al-Hajju ‘arafah (Haji itu wukuf di Arafah.” (HR Ibnu Majah). Wukuf di Arafah merupakan puncak haji. Apa yang dilakukan di sana? Tafakur, zikir, bertobat dan berdoa mulai zuhur hingga maghrib pada tanggal 9 Dzulhijjah. Ternyata, puncak dari pengorbanan selama ini dalam haji adalah mengingat Allah dan kepatuhan kepada-Nya. Saat wukuf di Arafah, umat Islam sudah seharusnya ingat bahwa di tempat mulia itu diturunkan ayat yang menurut sebagian ulama sebagai ayat al-Quran terakhir yang turun kepada Rasulullah Muhammad saw. Ayat tersebut maknanya, “…Hari ini, Aku telah menyempurnakan bagi kalian agama kalian, menyempurnakan bagi kalian nikmat-Ku dan meridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (TQS al-Maidah [5]:3).
Di tengah hamparan padang pasir dan naungan langit, dipanasi teriknya sinar matahari di tengah hari bolong, kita bersimpuh di Arafah untuk memproklamirkan diri sebagai hamba-Nya yang terbaik. Kala itu juga, kita bertekad untuk menjalankan Islam dengan sepenuhnya, menjadi pembela Islam dengan penuh amanah. Di tempat Allah SWT menurunkan ayat tadi, di situlah kita menyambut seruan-Nya. Hati pun menjerit menembus langit dan berkata, “Ya, Allah, di tempat ini, engkau telah menetapkan Islam sebagai aturan hidupku. Karena itu, saksikanlah ya Allah, di tempat ini pula aku bertekad akan menjadikan Islam sebagai jalan hidupku dan aku akan menggapai keridhaan-Mu dengan mewakafkan hidupku ini untuk Islam. Saksikanlah, ya Rabb…”
Begitu juga, ketika melempar jamarat. Bukan sekadar melempar kerikil. Di sana ada tempat yang namanya ‘Aqabah, sehingga dikenal dengan istilah Jumratul ‘Aqabah. Tidak jarang, orang lupa bahwa di sana pernah terjadi peristiwa penting. Rasulullah saw. kedatangan 12 utusan dari Madinah pada tahun 11 kenabian. Lalu, tahun depannya datang 75 orang para penghulu Madinah untuk menyerahkan kekuasaan mereka kepada Nabi saw. Di situlah tonggak penegakkan pemerintahan Islam pertama di Madinah terjadi. Tidak mengherankan, setiap datang untuk melempar jamarat, peristiwa itu terngiang-ngiang terus. Terbayang, bagaimana para pemimpin Madinah berkomitmen untuk membela dakwah Rasul saw. melebihi pembelaannya kepada anak, istri dan harta kekayaannya. Di tempat mulia itulah terjadi titik pemisah antara Rasulullah yang tidak memiliki kekuasaan dengan Rasulullah yang memiliki kekuasaan. Di ‘Aqabah itulah titik awal tegaknya pemerintahan Islam mulai bersinar. Muncullah tekad untuk terus berjuang demi tegaknya syariah dan Khilafah, pemerintahan Islam sepeninggal Rasulullah saw. Tidak terasa, mulut pun bergumam, “Ya Allah, pemilik ‘Aqabah. Berikanlah kesempatan kepadaku untuk dapat menyaksikan sinar fajar Khilafah, kekuasaan Islam yang telah Engkau janjikan.” Jadi, ada hal lain dalam ibadah haji: napak tilas perjuangan Rasul saw. Wallâhu a’lam. []
Dengan menjadi pengemban dakwah pejuang tegaknya khilafah, makna ibadah haji lebih kuat terasa.