Israel Adalah Sebuah Negara Apartehid (Tidak Perlu Bukti Survey)

Survey tentang Israel yang dipublikasikan minggu lalu di koran Ha’aretz menjadi berita utama di seluruh dunia tentang penemuan ini dimana terdapat dukungan publik bagi kebijakan rasis. Sebagian orang merespon hasil survei itu sebagai pembenaran klaim yang dibuat oleh kritikus Yahudi; sebagian lain menganggap bahwa survei itu cacat dalam hal metedologinya dan bagaimana data statistik disajikan.

Bagaimanapun juga, tidak diperlukan survei semacam itu untuk sampai pada kesimpulan apakah Israel bersalah dalam kebijakan politik rasisnya: Fakta-fakta dapat menunjukkan hal itu.

Pertama, klarifikasi tentang terminologi. Ketika berbicara mengenai rasisme Israel, tidak disarankan untuk secara persis membedakannya dengan rasisme yang terjadi di Afrika Selatan. Sebaliknya, apartheid adalah kejahatan menurut hukum internasional yang bebas dari setiap perbandingan. Sebagai mantan pelapor di PBB, John Dugard menyebutnya dalam kata pengantar buku pertama saya dengan kalimat: “Kebijakan rasis ini adalah kebijakan versi Israel sendiri yang telah dikecam secara universal.”

Tidak mungkin memahami “sistem” ini tanpa mengingat kembali bahwa negara itu didirikan melalui pembersihan etnis yang terjadi di Nakba. Dengan berdirinya Israel di tahun 1948, sebanyak 90 persen warga Palestina yang sudah menetap di dalam negara baru itu, diusir, harta kekayaan mereka dijarah, dan tidak punya hak untuk kembali ke kampung halamannya. Setelah para pengungsi Palestina ini ditolak kewarganegaraannya dan hak untuk kembali mereka diabaikan, Israel membuat undang – undang yang membuka perbatasannya  bagi Yahudi pendatang.

Dengan demikian, satu – satunya alasan mengapa Israel dikatakan sebagai negara Demokrasi Liberal adalah karena negara itu mempunyai penduduk mayoritas Yahudi yang dipaksa datang – dan juga pengusiran secara paksa terhadap warga Palestina dari rumahnya. Dari tahun 1948 hingga tahun 1953, 95 % komunitas Yahudi didirikan di atas rumah warga Palestina yang diusir. Jumlah lahan milik warga Palestina diambil alih oleh undang – undang Israel yang disebut sebagai “Absentee Property Law” yang berjumlah sekitar 20 % dari luas wilayah sebelum tahun 1967.

Mengatur Ulang Demografi

Hari ini, sekitar satu dari empat warga Palestina dengan kewarganegaraan Israel dianggap sebagai “absen hadir” dari rumah-rumah mereka dan kemudian tanah mereka pun disita. Pada pertengahan tahun 1970an, rata – rata warga Arab telah kehilangan sekitar 65 – 70 % tanahnya. Sejak tahun 1948, lebih dari 700 komunitas Yahudi telah didirikan di dalam wilayah Israel sebelum perjanjian perbatasan tahun 1967 – tetapi hanya tujuh yang diperuntukkan bagi warga Palestina.

Selama beberapa dekade, pemerintah Israel telah berusaha untuk melakukan proses “Yahudisasi” wilayah-wilayah yang dianggap memiliki jumlah warga Palestina yang cukup tinggi dibandingkan dengan jumlah orang Yahudi, khususnya di daerah Negev dan Galillee. Salah satu strategi yang dilakukan di daerah Galilei adalah dengan mendirikan komunitas-komunitas “mitzpim” (bahasa Ibrani artinya : melihat keluar) yang bertujuan, menurut Badan Perencana Yahudi, adalah untuk “menjaga wilayah pedesaan Arab untuk mempengaruhi wilayah teritorial dan menarik banyak penduduk ke Galilei”.

Sementara itu, puluhan ribu suku Arab Badui tinggal di daerah yang “tidak dikenal”, terutama di Negev. Mereka mengalami penghancuran rumah dan juga menderita kekurangan kebutuhan dasar. Ancaman serius yang baru adalah Rencana Prawer (Prawer Plan), yakni penggusuran massal yang akan mengancam hingga 70.000 orang dengan relokasi paksa dan penghancuran desa-desa mereka.

Rencana pembersihan etnis itu didorong karena kecemasan Shimon Peres yang diungkapkannya kepada para pejabat Amerika tahun 2005, ketika dia mengatakan bahwa Israel khawatir telah “kehilangan  wilayahnya di Negev “kepada para suku Badui” dan akan diperlukan langkah – langkah untuk “melepaskan” dari “ancaman Demografis”. Seorang pejabat senior di Negara Yahudi itu pada tahun 2003 menjelaskan sebuah rencana Yahudisasi baru di tanah itu bahwa “pertumbuhan penduduk suku Badui dan Arab di wilayah Galilei sangat cepat dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk Yahudi” dan oleh karena itu “ kami dengan cepat kehilangan penduduk di sana.”

Unsur lain dalam hak ekslusif rezim ini adalah komite-komite pengakuan, yang beropasi di sekitar 70 % kota – kota di Israel untuk mengizinkan atau menolak penerimaan penduduk berdasarkan “kesesuaian” sosial. Dengan menolak permohonan warga Palestina,  komite-komite itu “telah digunakan untuk mengecualikan orang-orang Arab untuk hidup di wilayah komunitas Yahudi pedesaan.

Peran mereka saat ini dilegislasi oleh sekitar 42 % komunitas, dan mereka yang mendukung undang-undang itu tidak malu – malu untuk mengungkapkan motivasi mereka. Anggota Parlemen Israel Knesset (MK), Israel Hasson (dari partai Kadima yang “moderat) mengatakan bahwa tujuan undang-undang itu untuk “ mewujuskan mimpi kaum Zionis menjadi kenyataan”, sementara MK David Rotem (dari partai Yisrael Beiteinu, partain mantan PM Liebermen), mengatakan bahwa Yahudi dan Palestina seharusnya “terpisah namun sejajar”, sambil menegaskan kembali bahwa “Israel adalah negara Yahudi yang Demokratis, bukan merupakan negara bagi semua warganya.

Terpisah namun terpisah

Rasisme di Israel yang telah melembaga telah melakukan perlakuan yang serius bahkan atas pilihan warga Palestina dengan siapa mereka akan menikah. Di bulan Januari, Pengadilan Tinggi – sebuah forum yang dipuji oleh para pembela politik Aparthedi Israel  yang “liberal” –  ditegakkan undang-undang untuk membatasi warga Israel yang akan mempunyai pasangan dari warga Tepi Barat dan Gaza. Dalam pendapat mayoritas, Hakim Asher Grunis menulis bahwa “Hak Asasi Manusia bukanlah resep untuk melakukan bunuh diri secara nasional” – mengacu kepada “demografi” yang menghantui rezim apartheid.

Anggota Kadima, Otniel Schneller, memuji keputusan untuk “mengatur alasan pemisahan antara masyarakat dan kebutuhan untuk mempertahankan sebuah mayoritas Yahudi, dan juga karakter Yahudi di dalam negara”, yang menghubungkan ini ke formula “dua negara bagi dua bangsa”. Ironisnya, slogan sang Yahudi moderat ini (ya, semuanya relatif) menggemakan kembali retorika Apartheid Afrika Selatan, yang memperingatkan bahwa “ Kita harus mengikuti langkah persamaan, yang akhirnya berarti bunuh diri nasional bagi warga kulit putih atau kita harus mengambil langkah pemisahan”.

Ruang untuk perbedaan pendapat dibatasi. Pada tahun 2007, Badan Keamanan Internal Israel, Shin Bet, menyatakan bahwa hal ini akan “menggagalkan aktivitas kelompok manapun atau individu manapun yang menyakiti warga Yahudi dan karekter Demokratis yang berasal dari negara Israel, bahkan walaupun jika aktivitas itu disetujui undang-undang”. Pada tahun 2008, pemimpin badan ini mengatakan kepada para pejabat AS bahwa banyak warga Arab Israel “terlalu jauh” mengambil hak mereka. Undang-undang Israel melarang calon anggota parlemen yang menyangkal “keberadaan negara Israel sebagai negara Yahudi bagi masyarakat”, dan usulan terhadap calon itu bisa dibatalkan karena mereka dapat merusak “Eksistensi negara Israel sebagai negara Yahudi.”

Sementara survei surat kabar Ha’aretz mengejutkan banyak orang, hal ini seharusnya tidak mengejutkan: pandangan seperti itu sering muncul dalam jejak pendapat yang serupa. Contohnya, dalam beberapa tahun terakhir dimana lebih dari setengah orang Yahudi (lebih dari 50 %) mengatakan bahwa menikah dengan orang Arab adalah “sama dengan pengkhianatan nasional”, 78 % Yahudi Israel menolak keberadaan orang Arab di pemerintahan, 62 % Yahudi Israel mendorong emigrasi warga Palestina, dan 36 % Yahudi Israel mendukung pencabutan suara bagi non – Yahudi.

Hasil seperti itu ternyata diharapkan ketika Anda melihat diskusi yang diadakan oleh para pemimpin Israel. PM Netahanyu, yang juga seorang menteri keuangan pada thaun 2003, menggambarkan warga Palestina sebagai “masalah Demografi”, sementara pada tahun 2009, menteri perumahan saat itu menyatakan bahwa ini adalah “tugas nasional” untuk “mencegah penyebaran” warga Palestina. Pada tahun 2010, ketua Badan Solusi  Perumahan untuk lobby Knesset  bagai Pasangan Muda menyatakan bahwa “adalah demi kepentingan nasional untuk mendorong orang Yahudi pindah ke tempat di mana penduduk Arab terus meningkat”. Ketika Ehud Olmert menjadi walikota Yerussalem, ia mengganggap hal itu “menjadi keprihatinan ketika warga non Yahudi meningkat  jauh lebih cepat dibandingkan dengan warga Yahudi”.

Logika rasisme yang sama juga berada di belakang peringatan yang disampaikan oleh PM Nethanyu bahwa para pengungsi yang merupakan “penyusup illegal” – non Yahudi dan imigran dari Afrika – bisa mengancam keberadaan negara “sebagai negara yahudi yang Demokrasi”. Pada negara – negara lain, ini sayap kanan; di Israel, mendiskusikan kata “ancaman” yang dilakukan oleh warga Palestina dan warga non Yahudi lainnya adalah suatu hal yang rutin.

Kebijakan berbasis Rasisme

Dan bagaimana kebijakan Israel di daerah kependudukan, di bawah kekuasaan militer selama 45 tahun? Di Jerussalem, warga Palestina yang berada pada wilayah yang dianeksasi secra illegal di wilayah Timur Jerussalem terus menerus digembar-gemborkan oleh para para pemimpin Israel sebagai ibu kota “abadi” Israel, dihancurkan rumahnya, di-diskriminasi dalam pelayanan kota, dan tinggal dalam tembok diskriminasi Apartheid. Berbicara pada program BBC Hardtalk pada Juli 2011, Mayor Barkat secara terbuka mengkonfirmasi bahwa ia mencari cara untuk mempertahankan mayoritas Yahudi di dalam kota. – bayangkan bila walikota London, New York atau Paris mengatakan bahwa jumlah warga Yahudi tidak boleh meningkat lebih dari proporsi tertentu.

Ada lebih dari 300.000 warga Israel tinggal di wilayah Tepi Barat (ditambah dengan 200.000 orang  yang ada di Timur Jerussalem), suatu jaringan koloni di antara penduduk Palestina tanpa kewarganegaraan. Kebebasan warga Palestina diatur oleh sistem birokrasi dengan “izin”, yang  dipaksakan oleh 500 pos pemeriksaan dan rintangannya. Sebagian besar tembok Apartheid, dengan panjang 700 km dan 70 % telah selesai atau masih dibangun, terletak dalam wilayah Tepi Barat yang diduduki. Aneksasi yang secara de facto adalah ilegal ini dibenarkan oleh Mahkahmah Internasional (ICJ) di dalam pendapat para nasihat mereka di tahun 2004.

Di sekitar 60 % wilayah Tepi Barat (“Area C”), warga Palestina harus mengajukan permohonan izin membangun dari tentara kependudukan Israel; namun menurut laporan PBB tahun 2008, 94 % dari permohonan izin itu ditolak. Membangun secara illegal sama saja dengan dihancurkan secara legal. Di tahun 2011, Israel telah menghancurkan 620 rumah warga milik Palestina di Tepi Barat, bagian dari apa yang telah disebut Uni Eropa sebagai “pemindahan paksa penduduk asli”. Sementara itu mesin-mesin pembangunan dan penggalian telah bekerja untuk membangun pemukiman illegal Israel.

Israel juga mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Tepi Barat, seperti pengendalian “diskriminatif” terhadap akses dan penggunaan terhadap air: warga Palestina, yang merupakan lebih dari 80 % populasi penduduk di West Bank, yang dibatasi aksesnya atas 20 % air yang terdapat dari akuifer bawah tanah. Badan Hak Asasi Manusia menyebut rezim Israel di Tepi Barat sebagai “sistem bermuka dua” di mana warga Palestina menghadapi “diskriminasi sistemik” (terminologi yang sama juga mereka gunakan untuk menggambarkan kebijakan perbatasan sebelum tahun 67).

Jalur Gaza, tempat bagi sekitar 1,7 juta orang Palestina dan mayoritas dari mereka adalah pengungsi, diblokade oleh militer Israel yang ada dibalik tembok pembatas dan “zona penyangga” (termasuk yang ada di laut). Pembatasan pergerakan warga Palestina terjadi sejak awal 1990, dengan pengepungan intensif yang dilaksanakan pada sekitar tahun 2006 – 2007. Hingga saat ini, Israel memblokir hampir semua ekspor dari wilayah itu, dan melakukan apa yang disebut sebagai kebijakan “pemisahan” untuk tujuan memotong wilayah Gaza dari West Bank.

Pada bulan Maret, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) menggambarkan kejahatan Israel terhadap hak persamaan sebagai hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mencatat adanya “pemisahan Yahudi dan komunitas non – Yahudi” dan kurangnya “ akses yang sama terhadap tanah dan properti” di dalam negeri Israel sebelum perjanjian perbatasan tahun 1967, CERD menemukan rezim itu melakukan “pemisahan  secara de facto” di wilayah Tepi Barat yang cukup parah dan mengingatkan kita atas “larangan” dalam politik “apartheid”.

Pada seluruh sejarah Palestina – Israel, di dalam wilayah Tepi Barat, dan Jalur Gaza- Negara Israel telah memerintah lebih dari 12 juta orang dimana hak-hak dan keistimewaannya ditentukan berdasarkan diskriminasi rasis. Jutaan orang dikeluarkan dari negara itu secara massal (dikarenakan mereka adalah orang Palestina). Ini adalah sebuah rezim yang dimaksudkan untuk mempertahankan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Ini adalah politik Apartehid.

Ben White adalah seorang jurnalis lepas, penulis dan juga aktivis yang fokus di dalam masalah Palestina/Israel. Ia adalah lulusan Universitas Cambridge. []TDA

Sumber:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*