Mengubur Politik Pencitraan

Oleh : Abdullah Zaid, Pegiat Kajian Sosial, Tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng
Era demokratisasi yang ditandai pemilukada langsung gubernur, bupati dan walikota dalam 10 tahun terakhir telah menjadikan politik pencitraan (image politics) sebagai arus utama peta politik di tanah air. Filosofi mendasar di balik dominasi politik citra ini adalah ide atau gagasan menentukan realitas. Kenyataan adalah hasil dari persepsi yang diproduksi oleh otak, dan karenanya persepsi itulah yang mesti dibentuk pertama kalinya.  Dengan dukungan media massa (televisi, koran, radio), iklan, dan kini sosial media, politik pencitraan ini menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh setiap partisipan politik. (Coen Husain Pontoh, Mari Kita Kubur Politik Citra)
Bagaimanapun juga, mekanisme demokrasi dalam bentuk pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD secara langsung setiap lima tahun sekali menjadikan politik citra semakin penting guna menjaga keberlangsungan kekuasaan kepala daerah beserta partai politik. Tapi, apa mau di kata. Bukannya semakin membaik, kehadiran politik citra justru menambah semrawut roda pemerintahan daerah di era otonomi saat ini. Pertama, praktik politik citra menjadikan politik pelayanan yang berbasis pada pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh kepala daerah menjadi terabaikan. Sebaliknya, politik citra menjadikan orientasi meraih dan mempertahankan kekuasaan sebagai fokus utama yang dikemas melalui program program pembangunan. Meski diklaim sebagai program pembangunan, sejatinya tidak 100% untuk kesejahteraan rakyat karena ujung ujungnya sekedar untuk meraih simpati (persepsi positif). Sejauh mana dampak positif dari program pembangunan tersebut bagi perbaikan hidup masyarakat tidak terlalu diperhitungkan. Fenomena ini terjadi dimana mana termasuk juga di Kabupaten Kobar. Sebagai contoh, dalam pandangan penulis kebijakan pemasangan simbol simbol agama pada sejumlah fasilitas publik dan penghargaan Adipura bisa dikategorikan sebagai politik citra. Pak bupati sepertinya tidak sungguh sungguh ingin menjadikan Pangkalan Bun sebagai kota religius dalam konteks menjadikan Islam sebagai aturan hidup dalam seluruh aspek kehidupan. Kalaupun ada, hanya sebatas ritual dan sosial dalam skala terbatas. Dapat dikatakan, pemasangan simbol simbol agama ini hanya sekedar untuk meraih simpati masyarakat agar dianggap sebagai pemimpin yang religius. Meskipun dalam realitasnya, tidak ada yang berubah. Tidak ada  perda atau pun hukum Islam yang diterapkan karena semuanya tetap berpedoman kepada hukum positif. Begitu juga praktik prostitusi, pornografi dan pornoaksi yang hingga kini tetap hidup dan terus menjamur.  Bahkan sudah mengancam generasi muda dengan mencuatnya sejumlah kasus seks bebas dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelajar. Termasuk  lokalisasi di kalimati baru yang hingga kini tetap aman beroperasi meski keberadaannya dianggap ilegal. Menyangkut predikat adipura, kita percaya tidak ada rekayasa dari sisi penilaian. Namun, yang patut dipertanyakan adalah dengan perolehan adipura sebanyak (kalau tidak salah) lima kali dalam lima tahun berturut turut, sejauh mana kesadaran terhadap masyarakat untuk semakin peduli terhadap kelestarian lingkungan. Dalam kehidupan sehari hari, sudahkah masyarakat Pangkalan Bun terbiasa membuang sampah pada tempatnya ? Sudahkan masyarakat rajin menanam dan memelihara tanaman ? Kalau mau jujur, siapapun pasti akan mengatakan tidak. Di jalan jalan, selokan, perumahan, pasar dan fasilitas publik lainnya masih banyak berseliweran sampah. Pemandangan tak sedap juga tampak pada sejumlah TPS TPS yang kotor oleh sampah yang berserakan. Kalau kemudian pada area-area publik tersebut terlihat bersih kita juga patut bertanya, siapa yang membersihkan setiap hari, masyarakat ataukah pasukan kuning ?
Kedua, politik citra menjadikan tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat menjadi terabaikan. Yang berlaku saat ini bukanlah bekerja dengan mengacu pada prioritas pembangunan namun tergantung prioritas pimpinan (kepala daerah) dan anggota dewan. Alhasil, program pembangunan yang vital bagi hajat hidup masyarakat seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan komunikasi bisa menjadi tidak penting jika dibandingkan dengan kegiatan seremonial atau mercusuar karena tergantung selera pimpinan.
Penulis tidak habis pikir, bagaimana mungkin pemerintah rela menghabiskan miliaran rupiah untuk program program mercu suar dan seremonial seperti proyek Pangkalan Bun Park, Pabrik Jagung dan Rakerda MUI se Kalimantan  ketimbang mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan desa desa terpencil seperti yang menimpa desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai. Kalau di pikir pikir, Lebih penting mana, memenuhi kebutuhan ribuan masyarakat yang tersebar pada desa desa terpencil daripada mencari popularitas lewat program program populis. Kalau untuk mensukseskan acara Rakerda MUI se Kalimantan Bupati selaku ketua panitia begitu serius dan sungguh sungguh menggerakan seluruh elemen pemerintah, ormas dan masyarakat plus gelontoran ratusan juga rupiah untuk membiayai kegiatan, mengapa sikap yang sama tidak ditunjukkan dalam upaya  mengentaskan kemiskinan masyarakat Kobar, membangun infrastuktur di pedalaman dan membuka keterisolasian di desa desa terpencil.
Sudah begitu, suara kritis dari anggota dewan hanya terdengar sayup sayup. Ketika menyangkut kepentingan partai atau konstituen, maka tampil ke depan bersuara lantang bak seorang pahlawan. Namun, ketika tidak berhubungan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan partai, lebih memilih diam tanpa perlu merasa bersalah.  Bahkan tak sedikit yang cuma mampu berwacana, namun tak pernah terwujud dalam kebijakan nyata. Sekali lagi, yang penting reputasi dimata publik tetap terjaga.
Di sadari atau tidak, politik citra telah menjadikan kepala daerah dan anggota dewan bak artis yang harus senantiasa tampil sempurna agar mampu menarik perhatian dan simpati  publik. Tak peduli meski disertai kepura-puraan, menabrak aturan atau kalau perlu menindas bawahan. Yang penting, popularitas di mata masyarakat semakin terdongkrak meski pada saat yang bersamaan merampas hak hak masyarakat miskin dan desa terpencil. Sebab, hanya popularitas yang mampu menjamin kepala daerah tetap laku di mata partai dan masyarakat. Dan popularitas pula yang dapat menjamin anggota dewan tetap nyaman duduk dikursi parlemen karena kesetiaan dari konstituen.

Alhamdulillah, masyarakat sudah semakin sadar terhadap permainan politik yang terjadi. Kekecewaan terhadap kinerja kepala daerah dan anggota dewan menjadikan masyarakat semakin cerdas untuk memilih dan memilah mana pemimpin pro rakyat dan mana yang cuma pura pura pro rakyat. Sudah saatnya, masyarakat menutup hati bagi para elit politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan namun abai terhadap pelayanan. Ya, sudah saatnya kita mengubur politik citra dari jagad raya ini. Sudah saatnya kita berpihak kepada pemimpin yang bebas dari kemunafikan, adil dan ikhlas mengabdi demi kesejahteraan rakyat. Dan pemimpin itu hanya ada dalam sistem Islam, bukan industri demokrasi yang hanya menghasilkan para pemimpin haus kekuasaan dan popularitas di atas penderitaan rakyat. Wallahualam biasshowab.[]

Dimuat di kolom mimbar harian Borneonews Senin, 12/11/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*