Bagaimana Islam Mengatasi Persoalan Buruh ?

Oleh: Abdullah Fanani al Banjary

Pendahuluan

Aksi buruh besar-besaran di 35 kabupaten/kota, di 12 provinsi baru-baru ini membuahkan banyak ekses dan pengaruh negatif. Kerugian materiil berupa kerusakan berbagai fasilitas, gedung dan tidak beroperasinya mesin-mesin serta tidak berjalannya produksi tentu bukan nilai nominal yang sedikit. Belum lagi dampak berupa kelesuan produksi dan iklim investasi. 10 perusahan, diantaranya PT Sepatu Bata Tbk (pabrik sepatu asal Chekoslovakia), PT S (pabrik kabel asal Indonesia), PT BHI (pabrik injeksi plastic asal Korea), PT DGW (pabrik agro chemical asal China), dan PT P (pabrik alat berat untuk pertambangan asal Jepang), telah memutuskan akan menutup pabriknya. APINDO memperkirakan adanya kerugian 900 miliar akibat penutupan tersebut (Kompas.com, 9/11).

Aksi besar-besaran itu merupakan realisasi dari rencana mogok nasional untuk menyuarakan dan memperjuangkan tiga tuntutan atas penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan mulai 2014. Aksi ini juga merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja terhadap pemerintah yang dianggap tidak peka merespons aspirasi mereka. Trilogi tuntutan itu bukanlah isu yang baru muncul kemarin, melainkan telah disuarakan bertahun-tahun oleh pekerja melalui berbagai cara elegan dan demokratis agar diperoleh penyelesaian bijak dari pemerintah.

Ironis, fenomena gejolak aksi-aksi buruh ini terjadi di tengah puja-puji dunia terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan sekitar 6,5 persen di tengah situasi krisis ekonomi global ini disebut-sebut paling pesat di dunia setelah China. Di AS, presiden SBY disebut membawa Indonesia menuju kekuatan ekonomi baru Asia (New Emerging Economic in Asia). Bahkan Ratu Inggris pun menganugerahinya gelar Ksatria Salib Yang Dibaptis (Grand Cross Knight in Bath) dengan kedok pertumbuhan ekonomi yang fantastis ini. Ini menujukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut tak disertai pemerataan kesejahteraan.

Komentar kritis Eric Stark Maskin, Born, AS –peraih Nobel Ekonomi 2007– patut kita perhatikan. Ada banyak ekonom dunia yang percaya bahwa kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara di era globalisasi. Padahal, hasil observasi Maskin –juga oleh Kaushik Basu, guru besar ekonomi asal Cornell University, New York, AS– justru menegaskan, globalisasi adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan. (Kompas, 15 September 2012).

Namun demikian, memang tak mudah untuk memenuhi 3 tuntutan buruh di atas, bila pemenuhannya ditanggungkan pada pengusaha semata. Akan ada problem baru. Pengusaha akan memasukkan komponen kenaikan upah ke dalam kenaikan biaya produksi, akan diikuti dengan keputusan menaikkan harga jual barang, terjadi inflasi, daya beli masyarakat semakin rendah dan pada gilirannya buruh tetap kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Belum lagi posisi tawar pengusaha masih cukup tinggi karena ada jutaan orang yang membutuhkan pekerjaan. Pengangguran terbuka masih menunjuk ke angka 7,24 juta orang, sementara orang yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu jumlahnya mencapai 6,6 juta. Saat ini saja sudah ada ‘ancaman’ aksi balasan dari pengusaha. Pengusaha yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Nasional sepakat melakukan mogok produksi. Asosiasi Pertekstilan Indonesia misalnya, Senin, (5/11) mendesak bertemu pimpinan Polri untuk membahas keamanan di pabrik. “Jika Polri tidak bisa memberikan keamanan (di pabrik), pengusaha akan mogok produksi.” Mogok ini dilakukan oleh para pengusaha, sebagai balasan mereka terhadap aksi demontrasi buruh yang menurut para pengusaha sudah mengarah ke tindakan kriminal. (Republika, 6 Nov. 2012).

Lalu bagaimana menyelesaikan problem-problem perburuhan? Bagaimana mewujudkan sistem yang membuat Buruh Sejahtera dan Pengusaha tetap Untung?

Gagasan Kapitalisme – Sosialisme

Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.

Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Kaum Kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jamin berobat, dan sebagainya.

Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama relasi antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong dan kosong.

Pandangan Islam terhadap Masalah Perburuhan

Problematika perburuhan yang saat ini menjadi pemandangan sehari-hari kita, tidak pernah ada dalam penataan sistem Islam. Dalam Daulah Khilafah Islamiyah semua bibit sengketa buruh dan pengusaha ditiadakan. Karenanya bisa dikatakan dengan menerapkan sistem Islam, problem perburuhan sudah diaborsi sejak jauh hari sebelum lahir dan berkembang!

Terkait ini, Islam menata dua aspek dengan tatanan regulasi sedemikian sehingga tidak muncul problem perburuhan. Pertama, aspek mikro terkait kontrak kerja antara buruh dan pengusaha. Dengannya akan terjawab bukan hanya besaran upah, namun juga masalah kepastian kerja (PHK) dan besarnya pesangon. Kedua, aspek makro menyangkut hak setiap orang, termasuk buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Penyelesaian aspek ini, akan menempatkan buruh dan pengusaha pada posisi tawar yang semestinya. Keterbatasan lapangan kerja, rendahnya SDM dan rendahnya kesejahteraan hidup pekerja, serta tidak terpenuhi jaminan hidup dan tunjangan sosial akan mendapatkan solusinya sendiri tanpa merugikan salah satu pihak, buruh maupun pengusaha.

Tatanan Islam untuk Persoalan Mikro Perburuhan

Solusi Persoalan Mikro Perburuhan, bisa diatasi dengan memperbaiki hubungan kontrak kerja antara pekerja dan pengusaha. Dalam syariat Islam hubungan antara pekerja dan pengusaha termasuk dalam transaski ijaarah. Ijaarah didefinisikan sebagai aqdu ‘ala al manfaah bi iwadin, aqad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajir/pekerja) dengan memperoleh imbalan (berupa upah/ujrah dari musta’jir/pengusaha).

Transaksi (akad) ijaarah tersebut sah menururt syara’ jika memenuhi persyaratan dan ketentuan yang jelas mengenai : (a) Bentuk dan jenis pekerjaan, (b) Masa Kerja, (c) Upah Kerja dan (d) Tenaga yang dicurahkan saat bekerja.

Jika keempat masalah tersebut jelas dan disepakati maka kedua belah pihak terikat dan harus memenuhi apa yang tercantum dalam kesepakatan tersebut. Hadits Rasulullah saw;

اذا استأجر احدكم اجيرا فليعلمه أجره

“Apabila salah seorang diantara kalian mengontrak tenaga seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR. Ad Daruquthni)

Sedangkan upah sebenarnya merupakan nilai jasa (manfaat) yang diberikan oleh buruh (ajir) kepada majikan (pengusaha, musta’jir). Upah dalam pandangan Islam merupakan kesepakatan antara ajir (pekerja) dan mustajir (pengusaha). Standar yang digunakan untuk menetapkannya adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para pengusaha. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

قال الله ثلاثة انا خصمهم يوم القيامة ….ورجل إستأجر عجيرا فاستوفى منه ولم يعط اجره

“Allah swt berfirman ada tiga golongan yang aku musuhi pada hari kiamat…. seseorang yang mengontrak pekerja, lalu pekerja tersebut menunaikan transaksinya, namun dia tidak memberikan upahnya.” (Hadits Qudsi riwayat Imam Al-Bukhari)

Intinya penentuan upah buruh adalah kesepakatan antara buruh dengan pengusaha dengan menjadikan manfaat tenaga sebagai patokan penentuannya. Beban kebutuhan hidup, biaya kesehatan dan tanggungan lain buruh tidak menjadi faktor penentu upah. Tidak ada unsur eksploitasi terhadap buruh karena semua hal sudah saling diketahui. Juga tidak akan membebani penguasa karena menanggung beban biaya yang tidak memberikan pengaruh ke produksi semisal asuransi kesehatan, tunjangan pendidikan dan dana pensiun. Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Mengenai mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.

Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.

Solusi Islam untuk Persoalan Makro Perburuhan

Setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Islam menetapkan dua jalan untuk memenuhi semua kebutuhan. Yakni pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, ditanggungkan kepada setiap individu masyarakat. Baik dipenuhi langsung atau melalui ayah, wali dan ahli waris. Sedangkan kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya bagi setiap warga negara. Negara tidak membebani rakyat untuk menanggung sendiri biaya pendidikan, kesehatan dan kemanannya, apalagi dengan biaya yang melambung tinggi.

Selain itu negara juga memiliki tanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan setiap orang untuk berusaha (bekerja). Mulai dari kemudahan permodalan, keahlian dan regulasi yang mendukung. Pemberian negara (i’tha ad dawlah) dari harta Baitul Mal adalah hak rakyat. Sebagaimana Umar RA mengambil harta Baitul Mal untuk menyediakan benih dan pupuk bagi para petani di Irak. Demikian pula Rasul SAW membayar hutang-hutang seorang warga yang tidak mampu. Abu Bakar dan Umar RA juga memberikan lahan siap tanam kepada warga untuk menjadi modal usahanya.

Dengan diberlakukan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu memerankan dirinya sebagai penanggung jawab terpenuhinya kesejahteraan rakyat. Lapangan kerja tersedia memadai, kualitas SDM unggul disiapkan dengan tanggungan biaya negara, kebutuhan energi (listrik, BBM, transportasi) bisa dijangkau karena harga yang sangat murah atau bahkan gratis. Ditambah biaya pendidikan dan kesehatan yang diperoleh rakyat secara gratis.

Dengan semua mekanisme itu, kebutuhan hidup masing-masing warga negara begitu mudah didapat. Maka bekerja akan menjadi salah satu cara seorang muslim menaikkan derajatnya di mata Allah SWT., karena mencurahkan tenaga dan keringatnya untuk beribadah memenuhi kewajibannya dan tidak saja untuk mendapat manfaat lebih besar, tetapi juga untuk memberi manfaat lebih besar. Bekerja bukan menjadi satu-satunya cara memperoleh kesejahteraan. Apalagi menjadi buruh (ajir) juga hanya salah satu diantara pilihan pekerjaan, karena lapangan kerja tersedia memadai. Posisi tawar buruh dengan pengusaha adalah setara. Bagi mereka yang memilih membuka usahanya sendiri maka ada banyak kemudahan disediakan oleh negara.

Hak Berserikat dan Serikat Pekerja

Tinggal satu masalah. Apakah dalam Islam mengenal Hak Berserikat dan Serikat Pekerja? Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Buruh boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti perlu membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.

Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun membentuk serikat pekerja yang dimaksudkan untuk mengurusi kesejahteraan buruh. Maka ini merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Karena negaralah yang bertanggung-jawab terhadap kewajiban ri’ayatu as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.

Penutup

Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan saat ini, jika tetap menggunakan model solusi ala sistem Kapitalis, pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekedar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu muncul dan muncul, seperti lingkaran “setan”, karena tidak pernah diselesaikan.

Jika memang benar-benar problem perburuan ini ingin selesai dan kesejahteraan buruh secara khusus, serta kesejahteraan setiap warga negara secara umum ingin diwujutkan, maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada penyelesaian mulia, yakni, penyelesaian dengan syariat Islam yang diterapkan oleh Daulah Khilafah ala Minhaji an-Nubuwwah. Karena, konsep dan solusi Islam sebagaimana di atas benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama pasti akan terulang kembali, jika dalam waktu dekat Khilafah berdiri, dan Islam diterapkan. Karena itu, bisa dikatakan, bahwa Islam tidak mengenal problem perburuhan. Wallahu a’lam

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*