Lajnah Siyasah DPP HTI
RUU Kamnas versi 2011 yang sebelumnya diajukan oleh pemerintah kepada DPR ternyata dikembaikan oleh DPR karena banyak mengandung masalah dan banyak sekali mendapat protes dan penolakan dari elemen masyarakat secara luas.
Setelah tidak jelas nasibnya, bahkan sempat tersiar kabar bahwa pemerintah menyerahkan lagi draf RUU Kamnas kepada DPR tetapi tanpa perubahan. Meski pada 16 Oktober akhirnya menjadi jelas, pemerintah akhirnya menyerahkan draft baru RUU Kamnas. Dalam draft terbaru tertangga 16 Oktober, terjadi perubahan dari draft lama dari yang semula 60 menjadi 55 pasal, dengan menghilangkan sejumlah hal termasuk masalah penyadapan, bantuan militer asing, dsb.
Meski demikian, draft yang baru juga masih mengandung masalah. Kritik terhadap RUU Kamnas 16 Oktober itu bisa dikategorikan menjadi dua kelompok: dari sisi filosofis dan kritik pasal per pasal berikut implikasi dari pasal tersebut.
Secara filosofis pertanyaan mendasar terkait dengan RUU ini adalah apakah RUU Kamnas ini perlu dibahas? Seberapa penting keberadaan UU Kamnas? Mengingat negara-negara yang tidak memiliki UU Kamnas tetep berjalan baik dan tidak ada masalah. Sebaliknya beberapa UU tentang Kamnas yang dibuat terutama pasca 9/11 justru menimbulkan masalah terutama terhadap demokratisasi, kebebasan dan hak-hak warga serta supremasi sipil, seperti yang terjadi pada kasus Patriot Act di Amerika.
Jika RUU ini dirasa penting dan perlu dibahas saat ini, siapa yang paling pantas membahasnya dari pihak eksekutif? Ini penting sebab di negeri ini ego sektoral masih sedemikian kental sehingga penyusan dan pembahasan RUU bisa “dikungkung” oleh ego sektoral itu. Dan inilah yang terlihat. Pihak eksekutif yang ditunjuk dalam pembahasan RUU Kamnas adalah Kemenhan. Akibatnya RUU Kamnas ini oleh banyak pihak dirasakan lebih bersifat “militerisik” dari aspek cara pandang hingga pendekatan. Dan ini membawa banyak implikasi.
Sementara itu jika dilihat pasal per pasal, maka RUU Kamnas yang baru ini tetap saja tidak bisa menghilangkan sebagian catatan kritis yang disampaikan oleh masyarakat selama ini. RUU Kamnas versi 16 Oktober 12 masih sangat berpotensi untuk dijadikan alat pembenar demi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Hal itu dikarenakan adanya ketentuan yang multitafsir dan subyektifitas penyelenggara (pemerintah) akan sangat menentukan dalam tataran implementasi. Disamping itu, RUU Kamnas versi baru ini belum bisa menghilangkan kesan kepentingan kekuasaan dan kesan ambisi TNI yang ingin kembali ikut campur dalam politik dan pengaturan masyarakat.
Catatan Kritis Pasal Per Pasal
Dalam Pasal 1 tentang ketentuan umum ayat 1 dinyatakan: Keamanan Nasional merupakan kondisi dinamis bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjamin keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan warga negara, masyarakat, dan bangsa, terlindunginya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional dari segala Ancaman.
Pertanyaannya adalah tolok ukurnya apa? Misalnya, kedamaian dan kesejahteraan warga negara. Jika ada warga negara yang merasa tidak bisa merasa damai karena sesuatu –bisa keberadaan, sikap dan perilaku seseorang, tetangga, adanya ide, dan apa saja- apakah lantas sesuatu itu akan bisa dianggap sebagai masalah Keamanan Nasional? Begitu pula ketika warga negara belum sejahtera, lalu apakah sesuatu yang dianggap sebagai sebab yang membuat warga negara belum sejahtera lantas bisa dianggap sebagai masalah keamanan nasional? Dan lalu pihak yang dinlai sebagai sumber dari sesuatu yang menyebabkan warga negara belum sejahtera itu apakah bisa di anggap sebagai masalah keamanan nasional? Sekarang masih sekitar 29 juta warga negara yang belum sejahtera. Keadaan itu sudah berangsung lama bahkan turun temurun. Itu artinya belum sejahteranya jutaan warga negara itu bisa dikatakan adalah akibat dari kebijakan pembangunan dan sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah. Dengan sudut pandang definisi Keamanan Nasional ini, artinya kebijakan pemerintah yang dinilai menyebabkan jutaan warga belum sejahtera itu mestinya bisa dianggap sebagai masalah Keamanan Nasional.
Yang berikutnya ungkapan “menjamin … keberlangsungan pembangunan nasional dari segala Ancaman”, frase ini akan bisa dijadikan alat represif. Dengan alasan bisa mengganggu keberlangsungan pembangunan nasional, sikap kritis masyarakat, penolakan terhadap suatu proyek pembangunan, keengganan sesorang atau masyarakat melepaskan tanah dan property lain untuk pembangunan nasional, bisa dimasukkan sebagai masalah keamanan nasional. Lalu dengan stigma menjadi masalah keamanan nasional, lantas bisa dijadikan alat menekan, memaksa bahkan membungkam masyarakat. Dalam sistem politik yang sarat dengan persekongkolan dan kolusi penguasa atau politisi dengan pengusaha, ketentuan ini bisa dijadikan alat demi kepentingan bisnis swasta, bahkan asing. Sikap mempermasalahkan pengerukan SDA atau mempermasalahkan operasi suatu pertambangan misalnya, nantinya bisa dibungkam dengan alasan mengganggu keberlangsungan pembangunan nasional. Sebab keberlangsungan pembangunan nasional itu harus bebas dari segala Ancaman.
Masalahnya bisa makin pelik ketika definisi, tolok ukur dan parameter Ancaman itu tidak jelas, seperti yang dinyatakan di Pasal 1 ayat 2: Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
Definisi ancaman dalam pasal ini lebih terlihat didominasi oleh sudut pandang pertahanan, batasannya masih kabur dan multi tafsir. Hal itu terlihat jelas dalam kata-kata yang digarisbawahi. Ungkapan “setiap upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan” cakupannya sangat luas dan fleksibel, sebab semua hal bisa dimasukkan dalam pengertian ini. Ungkapan “yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan …”, kata “dinilai dapat” –terutama kata dapat- ini tolok ukur dan parameternya tidak jelas. Kapan, seperti apa, sejauh mana tingkatnya, dan parameternya apa, tidak jelas. Kata “dinilai dapat” akan bisa sangat bergantung kepada pihak yang diberi kewenangan untuk menilai. Disitulah tidak mengherankan jika ada tuduhan RUU Kamnas ini tidak bebas dari kepentingan kekuasaan terutama terkait suksesi politik 2014.
Dalam Pasal 3 dinyatakan: “Penyelenggaraan Keamanan Nasional bertujuan untuk mewujudkan kondisi aman bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara fisik dan psikis setiap individu warga negara, masyarakat, pemerintah dan negara, dalam rangka melindungi kepentingan nasional”. Lalu dalam penjelasannya dinyatakan “Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” yaitu tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta terjaminnya kelancaran dan keamanan pembangunan nasional yang berkelanjutan guna mewujudkan tujuan pembangunan dan tujuan nasional”.
Lagi-lagi pasal ini tidak jelas tolok ukur dan parameternya. “Aman secara fisik” mungkin mudah untuk dipahami dan took ukurnya juga mudah dipahami. Aman secara fisik itu artinya tidak terancam dipukuli atau diserang secara fisik. Tetapi “aman secara psikis” tolok ukurnya seperti apa dan parameternya apa? Apalagi jika itu dikaitkan dengan individu warga negara, masyarakat, pemerintah dan negara. Nah aman secara psikis bagi masyarakat, pemerintah dan negara itu seperti apa? Sejak kapan negara dan pemerintah itu punya aspek psikis? Siapa yang merepresentasikan psikis pemerintah dan negara itu?
Sementara kepentingan nasional yang mencakup “terjaminnya keancaran dan keamanan pembangunan nasional yang berkelanjutan …” ini justru berpotensi menjadikan negara ini kembali atau mendekati karakteristik negara pada zaman orde baru. Saat itu dengan alasan “mengganggu atau menghambat pembangunan nasional” suara kritis dibungkam, orang yang mempertahankan tanahnya dan tidak mau melepaskannya untuk “pembangunan nasional” kecuali dengan harga yang pantas di nilai menghambat bahkan menghalangi pembangunan. Bukan tidak mungkin kejadian-kejadian serupa itu akan kembali lagi. Begitu juga dengan dengan dalih kelancaran pembangunan nasional, itu artinya investasi tidak boleh terganggu sama sekali. Jika ada yang mempersoalkan atau bahkan mengkritik atau lebih dari itu terhadap investasi bisa saja dianggap ancaman terhadap kelancaran pembangunan nasiona. Orang yang mempersoalkan penyerahan kekayaan alam kepada swasta bahkan asing juga bisa dituduh mengganggu pembangunan nasional dan karenanya harus dicegah dini, di tindak dini bahkan ditanggulangi. Lebih celaka lagi, seringkali proyek-proyek investasi swasta dianggap sebagai bagian dari pembangunan nasional dan karenanya harus dijamin kelancaran dan keamanannya. Jika begitu maka siapa saja yang dianggap “mengganggu” akan bisa dicap sebagai ancaman bagi pembangunan nasional. Jika sudah begitu maka jadilah RUU Kamnas ini justru berpihak kepada kepentingan kapitalis pemilik modal bahkan kapitalis asing. Sebaliknya rakyat, aktivis, lembaga dan siapa saja yang kritis justru dianggap sebagai musuh. Jika ini terjadi nanti hanya karena RUU Kamnas ini disahkan, maka itu akan menjadi malapetaka bagi negeri ini yang sudah dengan susah payah bahwa harus disertai korban jiwa, dikurangi dan ingin dihilangkan melalui reformasi dan tindak lanjut reformasi.
Pernyataan tentang fungsi penyelenggaraan Keamanan Nasional seperti di Pasal 4 ayat c diantaranya adalah : “c. memelihara dan meningkatkan stabilitas Keamanan Nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan; dan”. Kemudian di Penjelasan dinyatakan: “ Huruf c. Yang dimaksud dengan “Pencegahan dini” merupakan langkah dan tindakan untuk mencegah terjadinya potensi ancaman oleh instansi pemerintah terkait agar tidak berkembang menjadi ancaman nyata atau memperkecil dampak akibat dari ancaman apabila tetap terjadi”;
“Pencegahan dini” yang dijelaskan dalam Pasal 4 ini bisa mencakup tindakan dan langkah yang sangat luas. Bisa-bisa interogasi dan kegiatan intelijen yang menyasar orang-orang yang dinilai berpotensi menjadi “Ancaman” akan terjadi secara luas. Apalagi “Pencegahan dini” ini tidak dijelaskan parameter dan siapa yang melakukan, siapa yang mengawasi, dengan keputusan pengadilan atau tidak, atau semata berdasar keputusan dan rencana dari unsur-unsur penyelenggara Keamanan Nasional yang sangat banyak hampir-hampir mencakup semua unsur dan instansi pemerintahan, TNI dan Polri. Jika seperti ini nanti penafsiran pasal dan ayat ini, maka itu akan bisa menjadi malapetaka bagi kehidupan masyarakat.
“Yang dimaksud dengan “Peringatan dini” merupakan tindakan peringatan tentang adanya potensi ancaman terhadap Keamanan Nasional berdasarkan informasi yang akurat, komprehensif, dan tepat waktu kepada instansi pemerintah terkait agar dapat diantisipasi/ditindaklanjuti seawal mungkin”.
“Peringatan dini” disampaikan dalam bentuk apa dan kepada instansi sampai tingkat apa? Ini penting, sebab peringatan dini itu akan dijadikan dasar untuk bertindak, “diantisipasi/ditindaklanjuti seawal mungkin”. Jika tidak dikelola dengan benar, bisa-bisa justru akan muncul kecurigaan yang berlebihan terutama dari administrasi pemerintahan sampai tingkat paling bawah. Dan jika itu terjadi maka akan berpeluang terjadi tindakan-tindakan berlebihan dari struktur sampai tingkat bawah.
Yang dimaksud dengan “Penindakan dini” merupakan langkah dan tindakan agar potensi ancaman yang timbul dapat ditangani sejak awal dengan upaya yang tepat, cepat dan terukur sesuai akar dan karakteristik ancaman oleh instansi pemerintah terkait beserta instansi pendukung untuk memperkecil dampak akibat ancaman yang terjadi”.
Apa bentuk langkah dan tindakan sebagai bentuk “Penindakan dini”ini? Apakah ini sebenarnya hanya memberi payung hukum terhadap misalnya apa yang dilakukan oleh BNPT dengan menangkap orang yang baru diduga (terduga) teroris bahkan sampai membunuhnya? Atau “Penindakan dini” ini nantinya bisa dilakukan secara lebih luas oleh instansi terkait terutama adalah Polri, BNPT dan TNI? Dan tidak menutup kemungkinan juga bisa oleh administrasi pemerintahan misal di tingkat desa/kelurahan bahkan RT/RW meski bentuknya adalah tindakan administratif?. Jika seperti itu maka yang muncul justru era yang lebih buruk dari masa kopkamtib dahulu. Jika itu terjadi maka sungguh merupakan malapetaka bagi negeri ini dan warganya.
“Yang dimaksud dengan “Penanggulangan” merupakan langkah dan tindakan penanganan yang tepat, cepat, dan terukur oleh instansi pemerintah terkait beserta instansi pendukung dan berbagai elemen masyarakat apabila penindakan dini belum berhasil dan spektrum ancaman semakin meluas.”
Langkah dan tindakan penanganan yang tepat, cepat dan terukur itu apa saja bentuknya? Dan siapa yang melakukannya? Penanggulangan adalah tindakan lebih tinggi dari penindakan, sementara aktivitas penindakan itu konotasinya lebih kepada tindakan hukum. Sementara RUU ini tidak menjelaskan apa saja bentuknya, seperti apa, dan batasan semua itu.
Pada BAB IV ANCAMAN KEAMANAN NASIONAL Bagian Kesatu, Spektrum dan Sasaran Ancaman dinyatakan “Pasal 16 : (1) Spektrum Ancaman dimulai dari Ancaman paling lunak sampai dengan Ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional, dan internasional dengan berbagai jenis dan bentuknya. (2) Sasaran Ancaman terdiri atas: a. bangsa dan negara; b. keberlangsungan pembangunan nasional; c. masyarakat; dan d. insani”.
Lalu pada penjelasan dinyatakan, ” Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ancaman paling lunak sampai dengan ancaman paling keras bersifat lokal sampai dengan nasional” dalam ayat ini adalah dampak dari bentuk dan jenis ancaman sesuai dengan eskalasi mulai dari keadaan aman dan tertib meningkat menjadi keresahan sosial, kerusuhan sosial, gawat sampai dengan keadaan darurat yang meluas dan berkembang mulai dari lokal (daerah) sampai dengan kondisi keadaan secara nasional. Ayat (2) Huruf a. Yang dimaksud dengan “sasaran ancaman terhadap bangsa dan negara” yaitu ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Huruf b: Cukup jelas. Huruf :. Cukup jelas. Huruf d: Yang dimaksud dengan “sasaran ancaman insani” yaitu ancaman baik terhadap warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di wilayah Indonesia.
Pasal ini makin mempertegas bahwa RUU ini menganggap semua masalah keamanan dari yang paling kecil dan lunak dari tingkat lokal sampai tingkat nasional dan dari yang individu menjadi sasaran sampai negara yang jadi sasaran, adalah masalah keamanan nasional. Masalah keamanan nasional itu menjadi tugas dan garapan Dewan Keamanan Nasional (DKN).
Pasal ini juga menegaskan kembali bahwa semua bentuk ancaman dengan semua tingkatan ancamannya yang menyasar individu warga negara dan warga asing diaggap sebagai ancaman nasional dan akan diperlakukan sebagai ancaman nasional. Begitu juga segala bentuk ancaman yang bisa mengganggu kelancaran pembangunan nasional juga dianggap sebagai ancaman nasional dan akan diperlakukan sebagai ancaman nasional. Sikap kritis terhadap jalannya pembangunan akan bisa dianggap sebagai ancaman nasional. Dengan pasal ini, rakyat tidak akan memiliki ruang untuk bersikap kritis terhadap pemerintah dan pembangunan. Begitu pula sikap oposisi apapun terhadap kebijakan pemerintah bisa dicap sebagai ancaman nasional. Pasal ini bisa dijadikan alat represif dan alat untuk mengontrol oposisi dan membungkam sikap kritis masyarakat. Jika ini benar terjadi sungguh akan menjad bencana bagi negeri ini.
Pada BAB IV ANCAMAN KEAMANAN NASIONAL Bagian Kedua tentang “Jenis dan Bentuk Ancaman. Pasal 17 : (1) Ancaman Keamanan Nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis Ancaman yang terdiri atas: a. Ancaman Militer; b. Ancaman bersenjata; dan c. Ancaman Tidak Bersenjata. (2) Masing-masing jenis Ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berkembang ke dalam berbagai bentuk Ancaman. (3) Bentuk Ancaman sebagaimana dimkasud pada ayat (2) dapat bersifat potensial atau aktual. (4) Ketentuan mengenai bentuk Ancaman bersifat potensial atau bersifat aktual sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Penjelasan: Ayat (2) …”Bentuk ancaman tidak bersenjata merupakan ancaman terhadap keamanan publik dan keamanan insani, antara lain pelanggaran wilayah perbatasan, konflik horisontal dan komunal, anarkisme, persaingan perdagangan yang tidak sehat (dumping, pemalsu, pembajakan produk), krisis moneter, bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial, kejahatan transnasional (cyber netic, narkoba, ekonomi dan pasar gelap), ideologi radikalisme, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, kelangkaan pangan dan air, penyalahgunaan kimia, biologi, radioaktif, nuklir (pertanian, peternakan, perikanan), pengrusakan lingkungan (hutan, air, degradasi fungsi lahan), kelangkaan energi, pandemik (HIV, Flu Burung, Flu Babi), sosial (kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi, dan lain-lain)”.
Penjelasan Bentuk ancaman tidak bersenjata ini cakupannya terlalu luas. Hampir semua masalah yang ada di masyarakat bisa dimasukkan ke dalam “Bentuk ancaman tidak bersenjata”. Itu artinya untuk merealisasi keamanan nasional maka semua itu harus dicegah, ditindak, dan ditanggulangi. Lalu apakah pelaku semua itu atau siapa saja yang bisa dinilai menyebabkan terjadinya semua itu, lantas bisa dinilai sebagai ancaman sehingga harus dicegah dini, jika tidak cukup harus ditindak dini dan jika tidak cukup harus ditanggulangi dini dan selanjutnya terhadap eksesnya dilakukan pemulihan? Jika seperti itu, maka hampir sebagian besar komponen masyarakat termasuk di dalamnya, termasuk pemerintah sendiri harus ditindak. Sebab misalnya masalah kemiskinan, harus diakui bahwa kemiskinan tidak jarang adalah akibat dari kebijakan pemerintah. Begitu juga ancaman moral, HIV dsb, ancaman itu terus ada karena dilestarikan melalui misalnya kampanye tentang kesehatan seks remaja dan program kondomisasi.
Berikutnya, pasal ini terutama penjelasannya terlihat menyasar para aktivis Islam. Penjelasan bahwa Bentuk ancaman tidak bersenjata itu diantaranya adalah ideologi radikalisme bisa dipahami menyasar ideologi Islam. Sebab selama ini istilah radikalisme selalu bahkan hanya dikontasikan kepada Islam. Tidak pernah dipakai sebutan radikalisme kapitalis, radikalisme sosialis, radikalisme liberal, dsb. Itu artinya penjelasan pasal ini memberi payung hukum dan legalitas untuk menindak pemikiran/ideologi Islam. Hal itulah yang sering sekali disuarakan oleh BNPT agar bisa menindak siapa saja yang dianggap mempromosikan radikalisme atau siapa saja yang dicap radikal. Siapa saja yang menyuarakan penerapan syariah Islam pun meski tidak menggunakan kekerasan bisa dianggap sebagai ancaman. Dan itu akan menjadi malapetaka baru bagi negeri ini.
Dalam penjelasan Pasal 17 Ayat (3) dikatakan “Yang dimaksud dengan “bentuk ancaman yang bersifat potensial” adalah ancaman yang mungkin terjadi namun belum pernah terjadi atau sangat jarang terjadi dan diperkirakan dari tingkat signifikansi dampak yang ditimbulkan apabila benar-benar terjadi akan berakibat sangat fatal dan luas terhadap eksistensi dan keselamatan bangsa dan negara.” Pada ayat 4 dinyatakan “Ketentuan mengenai bentuk Ancaman bersifat potensial atau bersifat aktual sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden”.
Pasal ini memposisikan presiden sebagai pihak yang sangat berkuasa. Sekaligus pasal ini memberi presiden dan pemerintah alat untuk menekan siapapun yang berseberangan dengan mencapnya sebagai ancaman potensial. Sebab tolok ukur ancaman potensial jelas sangat kabur dan subyektif “ancaman yang mungkin terjadi namu belum pernah terjadi”.
BAB V PENYELENGGARAAN KEAMANAN NASIONAL. Bagian kesatu, asas dan prinsip.
Pasal 18 : Penyelenggaraan Keamanan Nasional berdasarkan pada asas: a. tujuan b. manfaat; dan c. terpadu dan sinergis. Dalam penjelasannya disebutkan: Pasal 18. Huruf a. Asas tujuan, bahwa penyelenggaraan Keamanan Nasional mempunyai tujuan untuk memelihara, meningkatkan stabilitas Keamanan Nasional. Huruf b. Asas manfaat, bahwa penyelenggaraan Keamanan Nasional memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga negara, peningkatan kesejahteraan warga negara dan peningkatan peri kehidupan yang berkeseimbangan, serta menjaga dan mewujudkan kepentingan nasional. Huruf c. Asas terpadu dan sinergis, bahwa penyelengaraan Keamanan Nasional dilaksanakan secara terpadu antar unsur penyelenggara Keamanan Nasional atas dasar nilai-nilai kebersamaan dalam mencapai suatu tujuan.
Asas penyelenggaraan kamnas itu menunjukkan bahwa penyelenggaraan Kamnas sepenuhnya berada di tangan pemerintah atau bahkan di tangan unsur-unsur penyelenggara Kamnas. Sebab penyelenggaraannya didasarkan pada asas yang fleksibel, bias dan subyektif. Ini bisa sangat berbahaya dalam implementasinya.
Bagian kedua, Unsur dan Peran, dalam pasal 20 terlihat unsur penyelenggara Kamnas sedemikian luas dan melibatkan sangat banyak unsur, meski dalam pasal 21 peran masing-masing dibatasi sesuai UU yang ada. Ini tentu menyulitkan dalam hal koordinasi, terbuka peluang tumpang tindih padahal ini yang ingin dihilangkan dengan RUU Kamnas ini. Pelibatan unsur masyarakat sesuai kompetensinya, jelas belum ada UU yang mengaturnya. Jadi ini adalah pasal yang diharapkan bisa memberi mandat penyusunan UU baru seperti UU Komponen Cadangan, dan lainnya.
Bagian ketiga pengelolaan Kamnas dari pasal 23 sampai pasal 29. Pasal 23 – pasal 25 mengamanatkan pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) ketua hariannya setingkat menteri. Ini hanya menambah struktur baru yang justru menambah rumit dan makin banyak jabatan setingkat menteri. Disinilah akhirnya pasal ini terkesan hanya bagi-bagi kekuasaan.
Pasal 24 memungkinkan DKN sebagai penjelmaan kembali Komkamtib era orde baru. Pasal 26 memberi kewenangan terlalu besar kepada menteri/pimpipinan lembaga setingkat kementerian untuk menetapkan kebijakan dan strategi untuk fungsi masing-masing. Begitu juga kepala daerah baik gubernur, walikota/bupati. Ini akan membuka peluang terjadinya kerawanan penyalahgunaan wewenang demi kepentingan kekuasaan dan lainnya. Pasa 27, dengan alasan fungsi pertahanan yang mendukung Kamnas, pasal ini memberi peluang kepada TNI untuk mempertahankan koter bahkan bsia diperluas struktur Babinsa hingga ke desa dengan alasan deteksi dini. Jika ini terjadi maka itu menyalahi amanat reformasi agar TNI menjadi tentara profesional dan mengamanatkan penghapusan Koter secara bertahap. Pasal ini hanya menunjukkan keengganan TNI untuk menjadi tentara profesional dan tidak terlibat dalam pengeolaan keamanan di masayrakat yang sesungguhnay menjadi domain Polri dan ketertiban yang menjadi domain kemendagri.
Pasal 30-38 tentang pelaksanaan memberi kewenangan sangat besar kepada presiden dan jajaran pemerintah. Presiden bisa menetapkan pelibatan TNI dalam keadaan tertib sipil atas dasar keputusan presiden sendiri tanpa harus dengan persetujun DPR. Dengan batasan ancaman Kamnas yang sedemikian bisa, fleksibel dan subyektif maka TNI berpeluang dijadikan alat kekuasaan presiden dan pemerintah. Begitu pula presiden berwenang menetapkan pelibatan unsur utama dan unsur pendukung dari unsur-unsur Kamnas. Pasal 32 yang menyatakan pelibatan masyarakat seolah memberi peran serta masyarakat, tapi sekaligus membuka peluang masyarakat diperalat demi kepentingan kekuasaan. Disamping itu pasal ini mengharuskan pengesahan UU Komponen Cadangan. Pencegahan dini (pasal 33) dan penindakan dini (pasal 35) perumusan dan pelaksanaannya dilakukukan oleh setiap unsur Kamnas sesuai fungsi masing-masing. Otoritas ini pada implementasinya berpotensi disalahgunakan dan dilakukan secara berlebihan sehingga yang terjadi adalah negara dan struktur dan administrasinya berubah menjadi represif dan bertindak berlebihan terhadap warga. Kopkamtib era orde baru atau bahkan lebih bisa saja terjadi.
Dimadinah : Rasulullah membangun pemerintahan ,
Mesjid, tentara, pasar.