Tari Telanjang Salihara, Kemesuman Berkedok Seni

Jakarta. Mediaumat.com. Iwan Januar mengecam pementasan tari telanjang di Teater Komunitas Salihara beberapa waktu lalu sebagai kemesuman berkedok seni. “Kalau yang ditunjukkan adalah ketelanjangan dimana seninya?” tulis anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut kepada mediaumat.com, Selasa (13/11) melalui surat elektronik.

Pada Selasa (9/10) Teater Salihara menggelar tari telanjang Amour, acide, et noix karya Daniel Léveillé Danse (Kanada), yang berdurasi 60 menit dengan membandrol tiket masuk Rp 100.000 dan Rp 50.000 untuk pelajar dan mahasiswa. Sebelumnya, komunitas liberal yang berpusat di Jl Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan tersebut mengundang pentolan kelompok seks menyimpang dari Kanada Irshad Manji untuk mempromosikan lesbianisme dan homoseks.

Meskipun pementasan ini dilangsungkan satu bulan yang lalu, namun Iwan Januar menilai hal ini perlu diberitahu kepada umat. Karena pementasan ini merupakan bagian dari proyek liberalisasi umat Islam Indonesia terutama para pemuda yang dilakukan kelompok liberal Salihara. “ Targetnya adalah merusak akhlaq para pemuda,” tegasnya.

Menurut penulis buku-buku pergaulan remaja tersebut yang disebut seni itu seharusnya menunjukkan keluhuran budaya suatu bangsa. “Pementasan di Salihari justru merendahkan derajat manusia menjadi seperti hewan.”

Dalih bahwa tari telanjang yang dipentaskan tersebut tidak mengumbar syahwat juga dinilai absurd.  “Masak iya lelaki perempuan telanjang tidak mengumbar syahwat? Kalau ada yang tidak muncul syahwatnya justru abnormal.”

Lagipula duduk perkaranya bukan ‘syahwat’ atau ‘tidak syahwat’, tapi batasan jelas soal pornografi. Bila diukur menurut ‘syahwat’ yang ada malah absurd. Mereka yang biasa berzina menganggap hal semacam itu sudah tidak menimbulkan syahwat lagi. Atau menurut kaum gay pemandangan wanita telanjang ya tidak menimbulkan birahi lagi. “Inilah kacaunya tolak ukur pornografi sekarang,” simpulnya.

Dibiarkannya pentas kemesuman ini dengan dalih bahwa maksiat tersebut digelar di kalangan terbatas pun tidak bisa diterima. “Tiketnya dijual kok untuk umum Rp 100.000, untuk pelajar dan mahasiswa malah Rp 50.000,” bebernya.

Namun, menurut Iwan, yang namanya pornografi tidak ada klasifikasi ‘kalangan terbatas’ atau ‘umum’. Tentu beda bila konteksnya adalah hubungan suami-istri. Itu sudah privasi. Kalau ini kan disaksikan oleh penonton. “Itulah keinginan kaum liberal, menghilangkan norma-norma moral dan menjadikannya sebagai urusan pribadi, sedangkan orang lain dan negara dilarang ikut campur.”

Iwan pun mengingatkan, umat Islam harus sadar bahwa sedang terjadi perang budaya. Salah satu sasarannya adalah menggerus akhlak umat agar hancur seperti yang sudah dialami masyarakat Barat. Maka tidak ada yang bisa melindungi akhlak umat melainkan hanya khilafah yang menjalankan syariah Islam. “Tanpa khilafah dan syariah terbukti akhlak umat terus dihancurkan,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

3 comments

  1. terbukti bahwa orang-orang JIL memang tidak beradab dan munafik. lebih-lebih lagi, ternyata otak mereka letaknya ada diantara 2 paha.

  2. muka-muka cabul memang seperti itu. begitulah standar kebenaran melalui akal (nafsu)..kacau.

  3. Merusak kebudayaan indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*