Penolakan Pertamina untuk diserahi tanggung jawab pengelolaan industri hulu migas, menurut Arim Nasim merupakan bukti, bukan hanya Menteri ESDM dan BP Migas, tetapi Dirut Pertamina juga adalah orang yang pro liberalisasi. “Yang ada diotaknya hanya bisnis bukan untuk mengurus rakyat!” hardik pengamat ekonomi syariah tersebut kepada mediaumat.com, Kamis (22/11).
Pasca bubarnya BP Migas pada Selasa (13/11), banyak pihak yang mengusulkan kepada pemerintah agar fungsi pengendalian industri hulu migas diserahkan kepada Pertamina. Namun Dirut Pertamina Karen Agustiawan dengan tegas menolak.
“Kami tidak ingin terlibat dalam pembuatan regulasi. Kita sudah fokus ke bisnis. Saya keberatan kalau tatanan yang sudah rapi ini kembali lagi jadi regulator,” tegas Karen usai rapat di Kementerian ESDM kemarin di Jakarta.
Pantas saja, lanjut Arim, kalau selama ini banyak kontrak-kontrak migas diberikan ke asing tetapi publik jarang mendengar Dirut Pertamina protes. “Yang protes kebanyakan masyarakat yang peduli terhadap kedaulatan migas,” ujar Arim.
Ia pun mengingatkan, Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memang punya tugas bisnis tetapi juga punya kewajiban mengurus rakyat. “Bahkan justru kepentingan rakyat yang harus didahulukan daripada kepentingan bisnis,” ungkap dosen ekonomi syariah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu.
Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut menegaskan, derasnya arus liberalisasi bukan semata faktor individu yang pro liberalisme tetapi sistem yang diterapkan memang membuat para pejabat menjadi sangat liberal. Sehingga bila publik menginginkan migas dikelola sesuai syariah, yakni dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat, maka harus menegakkan sistem Islam yakni khilafah. “Saatnya migas dikelola sesuai dengan syariah dan itu hanya bisa terwujud ketika khilafah tegak,” pungkasnya. (mediaumat.com, 22/11/2012)