LEMBAGA-LEMBAGA internasional memprediksi ekonomi Indonesia bakal mentereng di tahun-tahun mendatang. World Bank, International Monetary Fund, dan majalah The Economist, misalnya, memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6%. McKinsey Global Institute bahkan meramal Indonesia menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia.
Selain lembaga-lembaga itu, tentu pemerintah Indonesia juga optimistis, bahkan terlalu optimistis dengan masa depan ekonomi kita. Pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8% per tahun.
Di tengah krisis ekonomi Eropa dan Amerika, ketika lembaga-lembaga lain merevisi dan menurunkan prediksi angka pertumbuhan ekonomi, pemerintah tetap mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%.
Di balik optimisme itu, banyak kalangan di dalam negeri mewanti-wanti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berdiri di atas fondasi yang keropos dan karena itu, rapuh menghadapi badai krisis ekonomi.
Lembaga kajian ekonomi Indef mencatat sejumlah indikator rapuhnya bangunan ekonomi Indonesia. Pertama, sektor nontradable mengalami laju pertumbuhan tertinggi hingga kuartal III 2012. Sektor nontradable itu ialah pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh 10,29%, disusul sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,04%.
Sebaliknya, di sektor tradable, pertambangan dan penggalian hanya tumbuh 1,94%, pertanian 4,27%, dan industri pengolahan 5,81%. Padahal, sektor tradable merupakan sektor padat karya yang menyerap lebih dari separuh angkatan kerja yang berjumlah 110,8 juta orang.
Kedua, tingginya jumlah pekerja di sektor informal. Meski pemerintah mengklaim tingkat pengangguran terbuka turun hingga 6,14%, dalam komposisi angkatan kerja, pekerja informal masih mendominasi dengan jumlah hingga 62,7%.
Ketiga, jurang kesenjangan ekonomi kian menganga. Itu ditunjukkan meningkatnya koefisien rasio Gini. Koefisien Gini 2012 mencapai 0,41, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang berada di bawah 0,4.
Ketimpangan ekonomi bisa dilihat dari jomplangnya jumlah orang kaya dan miskin. Majalah Forbes mencatat 40 orang terkaya di Indonesia pada 2012 yang bergelimang harta hingga US$88,6 miliar. Bandingkan dengan jumlah orang miskin yang menurut data Badan Pusat Statistik per Maret 2012 mencapai lebih dari 30 juta orang dengan pengeluaran cuma sekitar Rp240 ribu per orang per bulan.
Indikator-indikator kerapuhan fondasi bangunan ekonomi itu sejatinya menunjukkan tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kita cenderung mengejar pertumbuhan, tetapi mengabaikan pemerataan.
Berbagai indikator kerapuhan ekonomi itu semestinya tidak lantas membuat pemerintah panas telinga. Justru dengan indikator itu, pemerintah bisa segera mengambil langkah-langkah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan mengutamakan pengembangan sektor padat karya.
Dengan perkataan singkat, pemerintah harus menjadikan kritik tentang rapuhnya fondasi ekonomi sebagai penyeimbang agar tidak overconfident, tidak terlena dengan indahnya prediksi angka pertumbuhan ekonomi.
Optimistis sah-sah saja, tetapi kelewat optimistis bisa berbahaya. (mediaindonesia.com, 15/12)
ekonomi kita rentan karena jumlah utang yang meningkat, baik utang, pemerintah, swasta korporasi bahkan masyarakat luas. hal ini terlihat dari junmlah konsumsi yang meningkat karena dipermudah oleh utang. suatu ketika pendapatan orang indonesia akan digunakan untuk melunasi utangnya dan tidak bisa membelanjakan pendapatnnya. bersamaan itu pemerintah akan meningkatkan pajak dari rakyat hanya untuk membayar utang. ketergantungan ekonomi indonesia dari sektor APBN dan pajak masih tinggi. banyak rakyat hidupnya tergantung APBN . PDB indonesia sebenarnya rendah karena utang pemerintah , korporasi dan masyarakat cukup tinggi. bayangan keadaan di Yunani sangat menghantui kita. tidak negara yang memberikan utang, sementara cicilan utang yang tinggi harus tetap di bayar. pemerintah menaikan pajak dan melakukan penghematan dan pengetatan anggaran . kekayaan rakyat di sedot dalam bentuk kenaikan pajak yang tidak memberikan manfaat bagi mereka. Indonesia menggadaikan apalagi setelah SDA di gadaikan?