Bahaya Budaya Natal

Sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan Tahun Baru, termasuk mengucapkan selamat Natal.

Kalau orang-orang Kristen merayakan Natal, itu suatu yang wajar. Tapi ketika mereka mengajak kaum Muslimin untuk ikut serta merayakan hari raya mereka, ini hal yang harus diwaspadai. Kenapa? Pasti ada udang di balik batu.

Ketua Perayaan Natal Nasional Nafsiyah Mboy menyatakan, “Presiden mengharapkan penyelenggaraan puncak perayaan Natal 2012 bersifat inklusif, dan dapat dirasakan semua pihak, tidak hanya oleh umat Kristiani.” Entah SBY mengatakan seperti itu atau tidak, sepintas pernyataan itu biasa, tapi jika ditelaah lebih dalam, ada bahaya di dalamnya.

Ketua Lajnah Siyasiyah HTI Yahya Abdurrahman mengatakan, di balik seruan itu ada bahaya besar yang bisa mengancam akidah umat Islam. Seruan berpartisipasi dalam perayaan Natal, tidak lain adalah kampanye ide pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Menurut paham pluralisme, tidak ada kebenaran mutlak. Semua agama dianggap benar. “Itu berarti, umat muslim harus menerima kebenaran ajaran umat lain, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus,” jelasnya.

Seruan itu, lanjutnya, juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru, sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan Tahun Baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. “Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan!” paparnya seraya mengingatkan, paham pluralisme dan ajaran sinkretisme adalah paham yang sesat.

Motif Ekonomi

Di balik perayaan Natal yang begitu wah, ada tujuan-tujuan ekonomi. Mereka ingin menggiring kaum Muslimin untuk ikut serta membeli produk-produk mereka. Di negara-negara Barat, penjualan ritel meningkat tajam di akhir tahun. Data dari US Census Bureau menunjukkan rata-rata kenaikan penjualan ritel di bulan Desember  paling tinggi mencapai 16 persen dengan pangsa pasar 10 persen dari total penjualan dalam setahun. Masa panen industri ritel tersebut, menurut anggota Lajnah Maslahiyah Muhammad Ishak, dikenal dengan christhmas season. Hal ini karena belanja masyarakat untuk merayakan momentum  keagamaan tersebut mengalami peningkatan.

Menurutnya, mereka pun ingin mendulang uang di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini pada momentum Natal. Caranya dengan memberi potongan harga dan membuat tempat belanja sangat meriah seperti halnya di Eropa dan Amerika.

Para pebisnis, lanjutnya, menginginkan momentum Natal bisa menguntungkan seperti halnya momentum Idul Fitri di mana penjualan bahkan dapat mencapai 20-30 persen dari total penjualan dalam setahun.

Motif Politik

Perayaan Natal yang sedemikian semarak bisa jadi juga mengandung motif politik. Kaum Nasrani ingin menunjukkan kepada kaum Muslimin di negeri ini tentang eksistensi mereka. Dengan memperlemah akidah umat Islam dengan sinkritisme dan pluralisme, mereka berharap kaum Muslimin kian lemah.

Bagaimana pun orang-orang Kristen di Indonesia telah menduduki posisi penting di pemerintahan. Rasionya jauh lebih besar dibandingkan dengan rasio pejabat Muslim yang duduk di pemerintahan. Dan ini telah terjadi sejak zaman Orde Baru berkuasa. Kaum Kristen menguasai sektor-sektor penting.

Selain itu, dengan momentum perayaan Natal yang besar dan semarak, mereka berusaha menanamkan budaya Barat secara dekat kepada kaum Muslim. Itulah budaya yang ditampakkan dalam momentum Natal dan Tahun Baru yakni hura-hura, pergaulan bebas, dan menghambur-hamburkan harta.  Kaum Muslim didorong sedemikian rupa agar mengambil budaya Barat dan meninggalkan budaya Islam.

Patut diingat, misi Kristen tidak lepas dari misi penjajahan. Itu adalah bagian dari trilogi penjajahan yakni gold, glory, dan gospel (kekayaan alam, kejayaan, dan kristenisasi). Maka pembaratan tidak bisa dipisahkan dari upaya misionaris menggiring umat Islam keluar dari agamanya.

Humas HTI Jawa Timur Utsman mengatakan, orang-orang Nasrani ingin menggalang kekuatan politik dengan menjadikan mitos Natal ini sebagai kekuatan kebersamaan dalam persoalan mendukung sebuah pemikiran yang sangat salah. “Dan itu dijadikan senjata politik oleh orang-orang Kristen untuk mendangkalkan akidah umat Islam,” paparnya.

Jika kaum Muslim sepakat dengan budaya Barat, orang Kristen berharap kaum Muslim pun bisa menerima apa yang dilakukan oleh Barat dengan ideologi kapitalismenya. Ini menjadi jalan bagi Barat untuk terus menjajah kaum Muslim dan menjarah kekayaan alamnya. [] emje

Merayakan Natal, HARAM!

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1 Jumadil Awal 1401 H/7 Maret 1981 mengeluarkan fatwa keharaman kaum Muslim mengikuti kegiatan terkait Natal. Isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri perayaan Natal bersama adalah Haram. Muhammadiyah dalam hal ini juga mengacu kepada fatwa MUI itu.

 

Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (TQS al-Furqan [25]: 72).

 

Makna ayat ini bahwa mereka tidak menghadiri az-zûr. Jika mereka melewatinya, mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh az-zûr itu (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).

 

Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad berkata: “Kaum Muslimin telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.“ Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslimin diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. 

 

Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslimin dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).

 

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslimin menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, i/235).[] (mediaumat.com, 25/12)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*