Mencari Toleransi Yang Hilang


Oleh : Andri Saputra, Humas Hizbut Tahrir Indonesia Kotawaringin Barat, Kalteng

Menutup tahun 2012, umat Islam  dinegeri ini kembali menjadi pesakitan.  Seperti yang dilansir oleh sejumlah lembaga survei dan LSM HAM, umat Islam sebagai kelompok mayoritas dituding tidak toleran terhadap hak hak beragama nonmuslim dan nilai nilai kebebasan.

Sejumlah indikator yang menunjukkan sikap intoleransi tersebut antara lain penolakan pendirian GKI Yasmin, kasus Ahmadiyah, tidak setuju nikah beda agama dan lain lain. Sikap intoleransi juga nampak dari penolakan terhadap penyimpangan orientasi seksual seperti homoseksualitas atau lesbianisme. Menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI),  jika intoleransi meningkat maka kekerasan juga akan meningkat. Kelaziman peningkatan intoleransi agama di Indonesia diperkirakan akan semakin memperbanyak Islam radikal (Alwaie 148).

Kalau kita bandingkan dengan realitas yang ada, tudingan ini jelas ngawur dan sengaja dipaksakan untuk menyudutkan umat Islam. Faktanya, Data Kementerian Agama tahun 2004 hingga 2007 menyebutkan pendirian gereja Katolik tumbuh 153 persen, gereja Protestan naik 131 persen, Vihara 368 persen dan pura Hindu bertambah 475,25 persen. Sementara masjid hanya meningkat 64 persen. Sehingga, sangat tidak masuk akal rumah ibadah nonmuslim bisa tumbuh sangat pesat bahkan melampaui pertumbuhan masjid jika umat Islam tidak toleran.

Adapun menyangkut GKI Yasmin, hal ini bukanlah persoalan toleran atau tidak. Bukan itu. Yang dipersoalkan warga adalah mekanisme pendirian rumah ibadah yang tidak mengikuti prosedur dan diwarnai dengan penipuan tanda tangan warga. Namun, karena blow up media yang tidak berimbang sehingga menimbulkan informasi publik yang keliru dan menuding umat Islam tidak toleran. Terbukti, gereja geraja yang dibangun sejak zaman penjajahan belanda yang tersebar di berbagai kota di Indonesia tetap aman dan berdiri kokoh termasuk juga di Kalteng.  Itu belum termasuk rumah ibadah yang dibangun belakangan dengan jumlah yang lebih banyak.

Sementara itu, kalau yang menjadi dalih adalah kasus Ahmadiyah, maka sesuatu yang wajar jika umat Islam menolak akidah dan syariah yang bertentangan dengan ajaran Islam namun menggunakan bungkus Islam seperti dalam ajaran Ahmadiyah. Sah sah pula ketika umat Islam menentang  muslimah yang murtad dan menikah dengan nonmuslim karena hal tersebut haram dalam pandangan Islam.

Begitu pun sikap umat Islam yang anti terhadap homoseksual dan lesbianisme karena bertentangan dengan kebenaran Islam.  Penulis percaya, pandangan yang sama juga berlaku bagi penganut nonmuslim yang tidak rela jika ada pihak pihak tertentu mengobok obok ajaran agamanya. Termasuk juga tidak setuju jika ada anggota keluarga yang pindah agama atau menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Dan secara nalar sehat, mana ada sih agama yang setuju perkawinan sejenis serta membolehkan lesbianisme/homoseksualitas.

Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap nonmuslim. Tidak sekedar klaim karena sudah terbukti sejak belasan abad hingga kini. Hal ini dapat berjalan dengan baik karena Islam sudah memberikan pedoman toleransi yang begitu luhur  dan terwujud dalam prinsip lakumdinikum waliyadin (untukmu agamamu, untukku agamaku). Islam mengajarkan umat nya untuk menghargai dan memberi kebebasan terhadap hak hak beragama nonmuslim. Tapi, bukan membenarkan ajaran agama diluar Islam. Dengan kata lain, Islam mengaku pluralitas yakni pembenaran bahwa di muka bumi ini hidup berbagai macam keyakinan. Namun, Islam secara tegas menolak ide pluralisme yakni sebuah paham yang menganggap semua agama sama. Hal ini bukanlah egoisme kelompok karena prinsip yang sama juga berlaku pada agama agama di luar Islam.

Untuk itu, Islam memberikan rambu rambu  toleransi dalam membangun hubungan yang harmonis dengan nonmuslim yakni tidak boleh sampai  melanggar atau menodai  ajaran Islam itu sendiri. Sehingga, tidak bisa misalnya karena dalih toleransi, umat Islam memaksakan diri  berpatisipasi dalam perayaan hari besar agama di luar Islam karena hal tersebut menodai dan merusak akidah. Inilah toleransi yang semestinya. Toleransi yang dibangun atas dasar kejujuran dan  keyakinan terhadap kebenaran agama Islam dengan tetap memberikan kebebasan beribadah kepada penganut agama yang berbeda.  Sehingga, bukanlah sikap intoleran ketika umat Islam tidak menghadiri perayaan hari besar agama lain dan sebaliknya.

Pada sisi lain, nonmuslim pun tidak perlu merasa tidak nyaman ketika ada tetangga atau rekan kerja yang tidak turut merayakan atau mengucapkan selamat ketika merayakan hari besar agamanya. Namun, toleransi yang luhur ini seolah hilang karena dituding radikal dan tidak sejalan dengan prinsip kerukunan beragama. Toleransi semacam ini dianggap sesuatu yang buruk dan memecah belah persatuan. Sebagai gantinya, pemerintah mempopulerkan toleransi simbolik formalistik yang penuh kepalsuan. Lihat saja, para pemimpin dan pejabat di negeri ini ramai ramai merayakan dan turut berpatisipasi dalam setiap perayaan hari besar agama.

Begitu juga, ucapan selamat baik langsung maupun tidak langsung menjadi tontonan rakyat dengan harapan menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat. Padahal, toleransi model begini tak lebih sekedar topeng dan seruan kosong tanpa makna.  Wajar kalau kemudian semangat toleransi yang kencang disuarakan tak mampu mencegah laju konflik antar sesama. Pemicunya beragam mulai dari isu SARA, ekonomi hingga problem sosial yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Lantas, sampai kapan kita terus hidup dalam kepalsuan ? Wallahualam Biasshowab.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*