Wawancara Time Dengan Jabhah al-Nusra:Washington Tidak Serius Mencopot Assad

“Kami melihatnya seolah-olah Amerika ingin memberikan rezim waktu untuk beristirahat, untuk memberikan kesempatan agar tetap berkuasa selama masih bisa”

Majalah Time (28/12) melansir sebuah wawancara dengan salah seorang petinggi kelompok Jabhah Nusrah, sebuah kelompok jihad di Aleppo, Suriah bernama Abu Adnan, 35 tahun.

Berikut beberapa kutipan wawancaranya.

Ketika dikatakan bahwa Amerika telah menjadikan kelompoknya, Jabhah Nusrah, sebagai kelompok teroris, dia menjawab bahwa hal itu bukan masalah baginya. “Kami sudah tahu cara-cara Barat dan penindasan yang mereka lakukan. Kami tahu penindasan oleh Dewan Keamanan PBB, kebohongan masyarakat internasional. Itu bukan berita baru. Itu semua tidak berarti apa-apa bagi kami. ”

Amerika secara resmi melabeli Jabhah al-Nusra sebagai sebuah kelompok teroris yang merupakan nama lain dari al-Qaeda di Irak sejak tanggal 11 Desember 2012 dan mengatakan bahwa sejak November 2011 kelompok ini mengaku bertanggungjawab atas “hampir 600 serangan teroris, membunuh dan melukai ratusan orang Suriah.” Kelompok ini tidak dikenal hingga akhir Januari 2012, ketika diumumkan pembentukannya, meskipun Abu Adnan mengakui bahwa kelompoknya telah aktif berbulan-bulan sebelumnya. Sejak saat itu, kelompok itu telah menjadi salah satu kekuatan pertempuran paling efektif melawan Presiden Bashar Assad, dengan melakukan beberapa serangan paling berani melawan rezim.

Sedikit yang diketahui tentang kelompok ini kecuali fakta bahwa sekarang mereka ingin mendirikan sebuah negara Islam. Tapi kedisiplinan Jabhah al-Nusra dan reputasinya di medan perang dikenal diantara kelompok pejuang lainnya (bahkan diantara kelompok pejuang yang sekuler sekalipun) yang tumbuh sejalan dengan keberanian serangannya, sehingga banyak anak muda yang ingin bergabung. Jabhah al-Nusra tidak berbeda ideologi dengan kelompok-kelompok Islam lain seperti Ahrar al-Sham dan Liwa al-Tauhid. “Kami semua adalah Muslim Sunni,” kata Abu Adnan, “sehingga tidak ada perbedaan.” Menurutnya, perbedaanya adalah pada tipe para pejuang yang diterima Jabhah al-Nusra untuk masuk ke dalam barisannya: “Kami sangat memperhatikan individu para pejuang, kita memperhatikan kualitas, bukan kuantitas”, katanya. “Para perokok. tidak bisa mendaftar. Para calon pejuang potensial harus mengikuti pembekalan agama selama 10 hari, “untuk memastikan pemahamannya tentang agama, moral, dan reputasinya.” Kemudian diikuti dengan 15 hingga 20 hari pelatihan militer.

Ketika Amerika secara terang-terangan menjadikan kelompok ini sebagai musuhnya, tampaknya hal ini malah lebih menarik bagi banyak orang yang telah lama melihat AS di kawasan itu dengan curiga. Washington telah mengkalkulasi bahwa kelompok ini terlalu berbahaya. Masalahnya adalah, banyak kelompok oposisi di Suriah yang berpikir sebaliknya.

Serangan udara nyaris menghancurkan mobil yang dikendarai oleh Abu Adnan. Dia dan rekan-rekannya menganggap hal ini sebagai upaya pembunuhan.

Wawancara berlangsung di sebuah kota di utara Suriah, di pedesaan di luar Aleppo.  Di sebuah ruangan kecil dengan jendela kecil yang hampir tidak ada cahaya masuk, sementara sedang mendung di luar.
Kami duduk di antara kotak-kotak berisi susu dan kantung-kantung selimut dan pakaian musim dingin untuk didistribusikan.

“Amerika telah menganggap kami teroris karena ada beberapa taktik kami yang meniru cara al-Qaeda di Irak, seperti penggunaan bahan peledak dan bom mobil,” kata Abu Adnan.”Kami tidak seperti al-Qaeda di Irak, kami bukan dari mereka.”

Jabhah al-Nusra tidak menghitung jumlah veteran perang Irak dalam perang di Suriah, yang membawa keahlian – terutama pembuatan bahan peledak buatan (IED). Namun, Jabhah al-Nusra bukanlah satu-satunya kelompok yang menggunakan IED karena kelompok-kelompok lainnya – yang disebut moderat di bawah payung Tentara Pembebasan Suriah (FSA) juga diduga menggunakan pelaku bom bunuh diri.

Sebagaimana Jabhah al-Nusra, sejumlah kelompok Islam lainnya juga ingin mendirikan sebuah negara Islam di Suriah, sementara unit-unit pemberontak sekuler semakin berbicara  mengutuk kelompok minoritas, khususnya para anggota sekte Alawi. Namun,  hanya Jabhah al-Nusra yang telah ditetapkan sebagai “teroris” oleh AS yang mengakui masih berusaha untuk memahami unsur-unsur bersenjata pada berbagai konflik di Suriah.

Jika pemberian label teroris itu dimaksudkan untuk mengisolasi Jabhah al-Nusra, tampaknya AS malah telah melakukan hal yang sebaliknya karena telah benar-benar meningkatkan reputasinya di antara beberapa kelompok pejuang Suriah. Protes nasional di Suriah pada tanggal 14 Desember, misalnya, menggunakan slogan “Terorisme di Suriah hanya yang dilakukan Assad”. Puluhan kelompok pejuang telah secara terbuka menyatakan, “Kami semua adalah Jabhah al-Nusra,” sementara pimpinan kelompok oposisi politik di pengasingan telah mengutuk label teroris itu.

Abu Adnan  percaya bahwa Washington tidak serius untuk mencopot Assad. “Kami melihatnya seolah Amerika ingin memberikan rezim waktu untuk beristirahat, untuk memberikan kesempatan kepadanya untuk tetap berkuasa selama masih bisa,” katanya. “Rezim telah melakukan tindakan terorisme selama dua tahun dan Amerika tidak melakukan apa pun, jadi mengapa mereka cepat tanggap untuk melawan kekuatan tempur di Suriah, memberinya label organisasi teroris? Apakah mereka lupa rezim Assad? ”

Inti pemikirannya adalah gagasan bahwa Barat ingin mempertahankan status quo Israel, termasuk menjaga para pemimpin seperti Assad  ketimbang mengambil resiko berkuasanya kelompok Islam di Damaskus. Presiden Assad dan mendiang ayahnya dan pendahulunya Hafez Assad memastikan bahwa Dataran Tinggi Golan, yang diduduki negara Yahudi, adalah garis depan Arab-Israel yang paling tenang selama puluhan tahun meskipun ada retorika menakutkan dari rezim Assad.

Sebagian kelompok pejuang menganggap pelabelan ini sebagai fitnah, atau perpecahan internal, dalam jajaran kelompok pejuang, atau digunakan sebagai alasan untuk sama sekali menghindari mempersenjatai para pejuang Suriah, mengingat operasi yang banyak terjadi adalah serangan bersama antara kelompok-kelompok Islam seperti al-Jabhah Nusra dan unit sekuler FSA. Jadi akan sangat sulit bagi Barat untuk menyediakan senjata dan memilih kelompok yang diinginkan untuk bekerja sama dan pada saat yang sama memastikan bahwa senjata tidak akan juga jatuh ke tangan Jabhah al-Nusra, kecuali secara jelas ingin bahwa kelompok-kelompok yang disukai itu akan melawan kelompok-kelompok milisi Islam.

Menurut Abu Adnan Jabhah al-Nusra tidak menunggu senjata dari masyarakat internasional. Sebuah serangan baru pada sebuah pos rezim di Daarat Izze di pedesaan Aleppo memberikan lebih banyak senjata “dari apa yang sebuah negara dapat berikan kepada kita,” katanya. Para pejuang asing juga merupakan sumber dukungan, baik secara fisik (dalam hal kehadiran mereka) maupun materi (dana).

Sementara itu, organisasi ini mempertahankan informasi tentang dirinya sendiri dengan menyebarkan pernyataan-pernyataan dan video melalui media sayapnya yakni  al-Manarah al-Bayda. Menurutnya  kelompoknya tidak peduli tentang pers karena hal itu bukan prioritas. “Prioritas kami adalah melawan rezim.”

Jabhah al-Nusra dipimpin oleh seorang pria dengan nama samaran Abu Mohammad al-Golani (Golani merujuk pada Dataran Tinggii Golan milik Suriah yang diduduki Israel).

Abu Adnan tidak akan mengungkapkan informasi apapun tentang orang-orang yang ditunjuk oleh Departemen Keuangan AS dan mengatakan al-Golani tetap sebagai pemimpin Jabhah. Identitas asli Al-Golani ini tetap menjadi rahasia, bahkan diantara para pemimpin kelompok yang sama-sama militan Islam di Suriah. Pada pertemuan baru-baru ini para pemimpin kelompok Ahrar al-Sham, Suqoor al-Sham, Liwa al-Islam, al-Jabhah Nusra dan beberapa unit lain membahas pembentukan koalisi pan-Islam Suriah,

Mengenakan celana jeans dan sweater warna abu-abu terang, jaket kulit hitam dan sepatu hitam, Abu Adnan terlihat tenang dan sopan namun ia merasa tidak nyaman dengan beberapa pertanyaan seperti rincian struktur, yang menurutnya pertanyaan ini memiliki semangat pertanyaan dari lembaga intelijen.

Menurut Abu Adnan, Jabhah al-Nusra telah memperluas kehadirannya di seluruh Suriah. Setiap daerah memiliki pemimpin, seorang komandan militer dan pemimpin syariat, katanya. Di masa lalu, sebagian besar anggota Jabhah menutup diri, walaupun berbaur dengan para pejuang lainnya namun tidak berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Namun dalam sebulan terakhir atau lebih, mereka perlahan-lahan berubah. Jabhah al-Nusra adalah salah satu dari beberapa kelompok yang pada akhir November menolak kelompok dukungan Barat yakni sekelompok orang buangan politik Suriah yang diangkat sebagai Koalisi Nasional. Sebaliknya, kelompok milisi menyatakan niatnya untuk membentuk sebuah negara Islam di Aleppo. “Mereka yang tinggal di pengasingan berpikir bahwa kami akan membuat takut Barat dan Eropa jika kami adalah negara Islam. Kami belum sebuah negara Islam sekarang, dan apa yang telah negara-negara itu tawarkan selama setahun dan sembilan bulan lalu? Mengapa Barat selama setahun dan sembilan bulan tidak memberi apa-apa bagi revolusi? ”

Kelompok minoritas, menurutnya, tidak perlu takut. “Nabi SAWpunya tetangga Yahudi,” katanya. “Siapapun yang tidak menindas, atau berpartisipasi dalam memerangi rakyat, akan mendapatkan hak-haknya dan kewajiban-kewajibannya.” Namun, mereka yang tangannya bergelimangan darah, apakah itu kelompok minoritas atau bukan, akan diberikan ganjaran. Abu Adnan membela video yang diposting baru-baru ini dimana digambarkan salah seorang anggota al-Nusra Jabhah menembak mati loyalis rezim bersenjata.

Menurutnya, sebenarnya mereka bisa menjangkau dengan mudah orang-orang yang menyebut mereka teroris yang tinggal dekat perbatasan Turki. “Kami berjuang di Suriah, dan siapa yang kita perangi? Pasukan keamanan, shabiha  [yang juga dinggap teroris oleh AS] dan mereka yang membantu rezim. ”
Pada saat mereka mengumumkan rencana untuk mendirikan sebuah negara Islam, Jabhah al-Nusra juga telah mulai melakukan upaya bantuan di lingkungan kota untuk mencari pijakan kuat di masyarakat setempat. Mereka telah mendistribusikan pasokan yang sangat dibutuhkan mulai dari bensin, solar, hingga tepung untuk membuat roti. “Kami menjaga harga roti pada kisaran 15 lira [sekitar 21 sen dollar AS], yang merupakan harga yang benar,” kata Abu Adnan, sambil menambahkan bahwa pelanggaran atas hal itu akan dihukum sesuai dengan syariat Islam. (RZ)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*