Analisis Dua Tahun Revolusi Arab

Oleh  Adnan Khan (Aktifis HT Inggris)

Revolusi Arab yang dimulai pada Januari 2011 yang menyebabkan beberapa pemberontakan dan mengakhiri pemerintahan kejam Hosni Mubarak dari Mesir, Ben Ali dari Tunisia dan Kolonel Gaddafi dari Libya. Hingga sekarang, Bashar al-Assad masih berkuasa. Pemilu telah dilakukan di sejumlah negara dan di semua negara itu partai-partai Islam memperoleh suara secara signifikan, sedangkan perolehan suara kaum sekularis buruk. Dua tahun sejak Revolusi Arab dimulai, partai-partai Islam masih menghadapi rintangan yang signifikan dalam mengembangkan konstitusi baru. Di Mesir dan Tunisia kelompok Islam yang menang kini telah berkuasa cukup lama untuk bisa dianalisis. Debat dan diskusi mengenai konstitusi baru dan peran Islam terus mendominasi Revolusi Arab.

Tunisia

Revolusi Arab mulai terjadi di Tunisia pada akhir tahun 2010. Sebuah pemerintahan sementara menggantikan Ben Ali, dan pemilu berlangsung pada bulan Oktober 2011. Partai Islam di negara itu, Ennahda, memenangkan pemilu legislatif, dengan memperoleh 90 dari 217 kursi, dan kemudian membentuk pemerintah koalisi dengan partai-partai sekuler yang memenangkan posisi kedua dan ketiga untuk kursi parlemen.

Tahun 2012 Tunisia telah didominasi oleh penulisan konstitusi baru bagi negara. Majelis konstituante yang didominasi oleh Ennahda diberikan wewenang bagi pemerintahan transisi untuk menyusun satu konstitusi baru. Majelis Konstituante belum mengeluarkan laporan dari setiap pertemuan baik laporan komite maupun laporan sesi pleno. Selain itu, laporan hasil voting dan kehadiran belum diungkap, meskipun para pengamat mencatat bahwa hanya lima atau sepuluh dari 20 anggota komisi penyusunan konstitusi yang hadir secara teratur. Ketidakhadiran telah menjadi sangat menonjol di antara partai-partai oposisi, sebagian karena mereka tidak melakukan pekerjaannya secara serius dan sebagian lagi karena beberapa ingin melihat Ennahdha gagal.

Konstitusi, yang disusun oleh enam komite penyusunan diumumkan ke publik pada bulan Agustus 2012, sebelum diserahkan kepada komite koordinasi lain dari majelis yang mempersiapkannya untuk dipresentasikan kepada sidang majelis paripurna untuk diperdebatkan dan dilakukan pemungutan suara. Setelah menjalankan pemerintahan, Ennahda menegaskan tidak akan menjadikan syariat sebagai sumber hukum dalam konstitusi baru dan akan mempertahankan sifat Negara sekuler. Ennahda bersikeras bahwa mereka akan terus mempertahankan artikel pertama Konstitusi 1956 pada UUD baru. Artikel ini mengabadikan adanya pemisahan antara agama dan negara, yang menyatakan bahwa: “Tunisia adalah sebuah Negara yang bebas, merdeka dan berdaulat, beragama Islam, berbahasa Arab dan Tunisia adalah sebuah negara republik” “Kami tidak akan menggunakan hukum untuk memaksakan agama, “[1] kata pemimpin Ennahda Rachid Ghannouchi kepada para wartawan di depan konstituen komite partai Islam yang melakukan voting untuk mempertahankan artikel konstitusional dengan 52 suara melawan 12.  Artikel itu, tambahnya, “merupakan obyek dari konsensus di antara semua sektor masyarakat; yang melestarikan identitas Tunisia sebagai negara Arab-Muslim sementara menjamin prinsip-prinsip negara yang demokratis dan sekuler “[2]. Islam adalah agama resmi Tunisia sementara konstitusi menetapkan presiden harus seorang Muslim, negara adalah sekuler. Sebagian menyuarakan keprihatinan bahwa Ennahda akan berusaha mengekang hak-hak perempuan dan kebebasan yang di negara Arab dikenal dengan hukum progresif. Namun, Ghannouchi mengatakan partai Islamnya tidak akan “memperkenalkan definisi yang ambigu dalam konstitusi dengan risiko yang memecah belah rakyat”, sambil menambahkan bahwa “banyak rakyat Tunisia yang tidak memiliki pandangan yang jelas tentang syariah dan praktek-praktek syariah yang salah di beberapa tertentu telah menimbulkan ketakutan”. Draft akhir konstitusi masih akan diterbitkan.

Ennahda didirikan pada tahun 1980 dengan model partai Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang selama dua dekade terakhir telah menjadi lebih nyaman dengan ide-ide sekularismenya, hingga ke titik yang sekarang yang memiliki lebih banyak kesamaannya dengan partai-partai sekuler dibandingkan terlihat sebagai sebuah partai Islam. Partai ini telah menjadi mirip dengan Partai AKP di Turki dimana Islam hanya sebagai nama saja.

Ummat Islam Tunisia memilih partai Islam karena sentimen keIslaman mereka. Posisi Ennahda telah menjadi semakin jelas sekarang pada saat mereka berkuasa, bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk menerapkan Islam. Tunisia telah menjadi satu-satunya negara yang mengusir pemimpinnya namun secara terbuka menyatakan akan mempertahankan sistem yang ada, meskipun dengan beberapa perubahan palsu, namun Islam hampir tidak memiliki peran. Pemimpin Ennahda, Rachid Ghannouchi, menjelaskan berkaitan berkaitan dengan pendirian Khilafah setelah memenangkan pemilu: “Jelas, kami adalah sebuah negara bangsa. Kami menginginkan pemerintah untuk reformasi Tunisia, untuk negara Tunisia. Adapun isu Khilafah merupakan sebuah masalah yang tidak ada realitasnya. Persoalan realitas saat ini adalah bahwa kami adalah sebuah Negara Tunisia yang menginginkan reformasi, sehingga menjadi sebuah  negara untuk Rakyat Tunisia, tidak untuk melawan mereka “[3].
Mesir

Mohamed Mursi dilantik sebagai presiden Mesir pada hari Sabtu 30 Juni 2012. Ini adalah momen yang unik dalam sejarah Mesir karena sejumlah alasan. Pertama Mursi terpilih oleh rakyat, sesuatu yang tidak bisa diklaim oleh para pendahulunya. Dia juga merupakan pemimpin sipil pertama dalam sejarah negara itu. Partainya, Ikhwanul Muslimin (IM) telah bekerja bagi perubahan selama lebih dari delapan dekade, Mohamed Mursi mengambil kursi kepresidenan dalam sebuah negara yang paling berpengaruh dan berkuasa di wilayah itu jika bukan paling berpengaruh di dunia Muslim.

IM mengambil kendali kekuasaan di sebuah lingkungan, di mana kekuasaan presiden tidak didefinisikan dan konstitusi negara juga belum ditulis. Kedua, Mohamed Mursi dan IM telah berhadapan muka dengan tantangan dunia yang nyata sebagaimana yang dihadapi oleh kepala Negara manapun.

IM dan Mursi belum menyajikan visi besar bagi negara. Mereka telah menggunakan slogan-slogan seperti “Islam adalah solusi,” yang kini telah mereka campakkan. Apa yang tidak ada adalah kemana mereka berencana membawa rakyat dan bagaimana mereka berencana untuk memperkaya negara. Tanpa visi besar, Mesir akan tetap menjadi negara yang rapuh dan tidak akan mampu bergerak ke satu arah.

Sementara Panglima Tertinggi Tantawi dan Letnan Jenderal Sami Annan digantikan oleh para perwira termuda di SCAF di bawah kepemimpinan Jenderal Sisi, yang pada dasarnya adalah sebuah kudeta internal, Partai Mursi, Ikhwanul Muslimin, telah mengambil banyak langkah moderasi kepada Barat. IM telah menerima mandat besar untuk Islam, umat memberikan mereka mandat untuk memerintah dengan apa yang mereka kampanyekan tidak hanya untuk pemilu ini, namun untuk masa selama hampir satu abad yakni Islam.

Sejak kemenangan pemilu, IM telah berusaha keras untuk menunjukkan sikap moderasi terhadap Barat. Dalam usaha untuk menenangkan opini internasional, mereka meninggalkan semua kepura-puraan politik Islam. Dalam melakukannya, mereka menganggap bahwa mereka bersikap pragmatis, pintar dan cerdas secara politik. Ketika berkaitan dengan penerapan politik Islam mereka mengutip adanya hambatan konstitusional dan perlunya menjaga dukungan kaum minoritas. Ketika berkaitan dengan penerapan ekonomi Islam, mereka mengutip perlunya menghindari ketakutan para investor internasional dan wisatawan. Ketika berkaitan dengan kebijakan luar negeri Islam, mereka mengutip perlunya kebutuhan untuk memberikan gambaran yang moderat untuk menenangkan Barat. Realitas saat ini adalah bahwa kelompok-kelompok Islam yang dulunya mendekam di sel-sel penyiksaan dari orang-orang seperti Mubarak yang menggembar-gemborkan ‘Islam adalah solusi’, sekarang benar-benar mencegah Ummat dari pemerintahan Islam di Mesir.

Tentara dan partai sipil yang berkuasa berselisih untuk memberi jalan kepada Mursi untuk bertanggung jawab kepada bangsa. Mursi dan IM tidak lagi berbicara tentang ‘Islam adalah solusi’. Saad al-Husseini, anggota biro eksekutif Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa pariwisata adalah sangat penting bagi Mesir dan menekankan bahwa minum dan menjual alkohol adalah dilarang dalam Islam. Namun, dia menambahkan, “Namun, hukum Islam juga melarang memata-matai tempat-tempat pribadi dan ini juga berlaku bagi pantai-pantai… Saya berharap ada 50 juta wisatawan yang akan melakukan perjalanan ke Mesir walaupun mereka datang dengan bertelanjang.” [4]

Krisis konstitusi tahun 2012-an adalah karena perbedaan pusat-pusat kekuatan yang ada di negara itu. Mursi berusaha mengubah status quo, namun menyebabkan reaksi penolakan yang besar dari partai-partai sekuler yang keras kepala dan yudikatif, sementara tentara membiarkan Mursi untuk menjadi lemah.

Sistem yang dibangun oleh militer yang mengabadikan kepentingan AS dan melindungi negara Israel memiliki seorang manajer baru. Sementara banyak orang yang turun ke jalan-jalan untuk menuntut perubahan, wajah-wajah telah berubah, namun sistem yang mendasari negara tetap bercokol di tempatnya.
Libya

Pada bulan November 2011, Dewan Transisi Nasional (NTC) dibentuk pemerintah untuk menjadi otoritas politik setelah jatuhnya Gaddafi. Pemerintah Libya telah menghabiskan seluruh masa transisi, yang berakhir pada bulan Juli 2012, dengan pemilu yang berfokus untuk memperoleh legitimasi politik nasional, suatu prasyarat untuk membangun aparat keamanan yang kompeten yang mampu menangani ancaman-ancaman yang berasal dari Benghazi maupun tempat-tempat lain.

Mustafa Abushagur yang terpilih sebagai perdana menteri Libya pada bulan September 2012 adalah seorang mantan warga negara Amerika Serikat dan mantan karyawan NASA. Abushagur menjadi perdana menteri hanya selama beberapa minggu, setelah terpilih pada tanggal 12 September, dan diberi waktu 72 jam untuk membentuk sebuah kabinet baru, dan ketika dia gagal dia dipecat dalam sebuah mosi tidak percaya. Kabinet-kabinet harus disetujui oleh Majelis Umum Nasional (GNC), yang terpilih pada bulan Juli 2012. Kejatuhannya membawa Ali Zidan ke tampuk kekuasaan.

Pada akhir tahun 2012, rezim Libya masih menghitung tantangan-tantangan di antara tugas-tugas yang paling dasar dari pembentukan negara: membangun keamanan internal. Pembentukan Tentara Nasional Libya yang masih berlangsung- telah menjadi pusat pemerintah untuk menyelesaikan tugas ini, tapi sejauh ini, semua upaya yang mengancam milisi-milisi untuk tunduk tidak menghasilkan apapun. Ketidakmampuan otoritas pusat yang sah untuk memaksakan perintahnya kepada negara telah mengabadikan  penyebaran kekuasaan kepada pemerintah-pemerintah kota yang dipilih secara lokal dan meningkatkan pengaruh milisi-milisi lokal.

Milisi regional terbesar Libya ada di Zentan, Misurata dan Benghazi. Milisi-milisi itu, selain berkaitan dengan dewan-dewan kota, tetap menjadi kendala terbesar bagi pemerintah pusat untuk mencapai kontrol atas negara Libya bersatu. Pasukan keamanan negara telah mampu mencegah serangan-serangan para pemberontak milisi atau mampu meyakinkan para pemimpin milisi regional untuk meletakkan senjata mereka atau bergabung dengan pasukan keamanan. Misalnya, Brigade al-Awfea mengambil alih bandara Tripoli pada bulan Juni 2012 dan menahannya hingga keesokan harinya, ketika Dewan Transisi Nasional menegosiasikan sebuah resolusi. Pada bulan April 2012, dewan harus mengamankan bandara internasional, yang telah diambil alih oleh Milisi Zentan, dan kota bandara di dalamnya, Benita, yang telah jatuh di bawah kendali Souq al-Jomaa, sebuah milisi yang berasal dari pinggiran Tripoli dengan nama yang sama.

Bekas kubu pemberontak seperti Benghazi dan Misurata, terus bekerja dari kampung halaman mereka. Perwakilan regional ini terus mempertahankan ikatan yang kuat baik kepada komunitas mereka maupun kepada milisi-milisi lokal, dengan membangun jaringan patronase mereka sendiri. Hal ini juga yang menyebabkan peningkatan dukungan bagi dewan kota lokal yang terpilih dalam bekas-bekas benteng pemberontak, di mana pengaruh Tripoli dan lembaga-lembaga birokrasi terus diguncang. Dewan Kota Benghazi mengumumkan pada bulan Maret 2012 untuk mengambil alih kontrol masalah administrasi harian kota itu, Para anggota dewan kota Benghazi mengelola proyek-proyek infrastruktur lokal dan isu-isu keamanan dan menyelesaikan perselisihan dengan para pesain regional – yang bebas dari pemerintah pusat dan mendapat dukungan milisi-milisi lokal.

Libya kini dikendalikan oleh jaringan milisi bersenjata, dimana banyak yang mewakili suku-suku kuat. Kelemahan pemerintah pusat berarti mereka dapat melakukan operasinya dengan tidak mendapat hukuman. Beberapa kota telah mengalami eksperimen-eksperimen politik mereka sendiri.

Milisi-milisi lokal juga mengontrol infrastruktur ekspor minyak yang penting dan telah mampu membuktikan diri untuk mengambil alih infrastruktur vital seperti bandara untuk menuntut sesuatu dari Dewan Transisi Nasional. Saat pemerintah pusat gagal menjamin keamanan dan tidak dapat memenuhi janji untuk membayar gaji para milisi, perusahaan-perusahaan minyak Barat mulai berhubungan langsung dengan para milisi, dengan perusahaan-perusahaan minyak lokal dan para pemimpin sipil daerah agar bisa bekerja hari demi hari. Sejumlah sumber telah mengkonfirmasi bahwa perusahaan-perusahaan minyak Barat telah menyewa para milisi lokal, khususnya milisi Zentan, untuk melindungi lading-ladang minyak di barat daya Tuareg. [5]

Setelah penggulingan Gaddafi, Libya  tetap dalam keadaan fluktuasi, dimana NTC dan pemerintahan penggantinya GNC hanya memiliki otoritas pusat yang sedikit.
Suriah

Revolusi di Suriah kini telah berkecamuk selama hampir dua tahun. Pembantaian yang dilakukan oleh rezim Al – Assad telah hampir menjadi sesuatu yang normal. Umat Islam bangkit melawan pemerintahan Bashar al-Assad yang bengis walaupun dilakukan taktik kejam dengan penindasan yang digunakan untuk memadamkan pemberontakan. Dengan memiliki sedikit persenjataan dan dengan pembantaian yang dilakukan di seluruh negeri terhadap rakyat Suriah menyebabkan kebuntuan rezim Suriah. Umat terus menunjukkan perlawanan yang luar biasa dalam menghadapi tank-tank baja, jet-jet tempur dan artileri.

Pemberontakan di Suriah dimulai pada bulan Maret 2011, ini adalah saat demonstrasi skala besar dimulai dan juga awal penumpasan yang bengis oleh rezim. Saat pembunuhan meningkat, sebagian rakyat Suriah meminta bantuan internasional untuk melawan terhadap rezim dan hal ini membuka jalan campur tangan internasional. Masyarakat internasional sampai saat ini mengajukan sejumlah solusi terhadap krisis. AS menggeser sikapnya dari yang awalnya mendukung Assad sebagai seorang ‘reformis yang potensial’ menjadi sikap yang mencela rezim – tetapi sepanjang waktu tidak melakukan apapun selain mengeluarkan pernyataan-pernyataan.

Saat gambar-gambar mengenai berlangsungnya pembantaian ke seluruh dunia, seorang misi pengamat Liga Arab dikirim untuk bernegosiasi dengan semua pihak untuk mengakhiri konflik. Misi ini selalu ditakdirkan untuk gagal dan menjadi pertanyaan seberapa seriuskah masyarakat internasional tentang misi seperti itu. Umat berjuang melawan teror Al-Assad, sementara perlawanan ini menjadikan internasional untuk mulai membangun pemerintahan pasca-Al-Assad di Suriah. Masyarakat internasional berpaling pada Dewan Nasional Suriah (SNC) dan Komite Koordinasi Lokal (LCC) dengan harapan bisa ambil bagian setelah jatuhnya kekuasaan Al – Assad.
Digunakannya Rusia oleh AS dan dukungan nyata China atas rezim Suriah adalah salah satu alasan kenapa konflik Suriah meluas di luar kendali. AS menunjukkan negara-negara Eropa dan dirinya sendiri berada di satu sisi dengan menyerukan al-Assad untuk mundur sementara Rusia dan China di sisi lain berusaha mempertahankan Al-Assad.

Kemudian Kofi Annan memimpin gencatan senjata yang diumumkan, yang merupakan upaya lain untuk mengatasi pemberontakan. Rencana ini tidak berguna sebagai misi pengamat Liga Arab. Ketika strategi ini mengungkap bahwa AS mulai menyerukan penyelesaian model Yaman untuk bisa diterapkan atas Suriah, dimana para pemberontak dibawa ke meja perundingan. Masyarakat internasional mulai mempromosikan sebuah “transisi politik” yang sama seperti langkah-langkah yang diambil oleh Ali Abdallah Saleh di Yaman. Strategi ini gagal ketika pada tanggal 18 Juli sebuah bom menghancurkan Markas Keamanan Nasional di Damaskus sehingga menewaskan beberapa petinggi rezim keamanan dan para kandidat yang berencana mengambil alih kekuasaan. Menteri Pertahanan Suriah Dawoud Rajha, mantan Menteri Pertahanan Hassan Turkmani, Menteri Dalam Negeri Mohammad al-Shaar, Kepala Dewan Keamanan Nasional Hisham Biktyar dan Deputi Menteri Pertahanan Assef Shawkat (kakak ipar Al-Assad) semuanya dilaporkan telah tewas, sementara Saudara Al-Assad Maher al Assad – Pengawal Republik dan Panglima Divisi Keempat dilaporkan telah kehilangan kedua kakinya.
Rezim Assad gagal memadamkan pemberontakan di Homs, Hama, Idlib dan perlawanan yang mencapai Damaskus – yang merupakan markas rezim. Hal ini mengkhawatirkan n AS dan menjadikannya terus menyoroti prospek terjadinya perang saudara dan jatuhnya senjata kimia ke tangan yang salah. Hal ini menyebabkan kebingungan pernyataan yang dikeluarkan pada bulan Juni oleh para pejabat AS seperti Ketua Gabungan Kepala Staf AS, Menteri Pertahanan AS, Sekretaris Negara dan Presiden sendiri untuk meningkatkan seruan intervensi militer.
Situasi saat ini di negara itu adalah bahwa rezim al-Assad yang mengendalikan setiap lapisan masyarakat telah gagal untuk mengakhiri pemberontakan, dengan menggunakan segala macam taktik bengis untuk memadamkan permintaan perubahan dari massa. Situasi ini dipersulit oleh kekuatan-kekuatan internasional yang semuanya punya andil dan yang telah melakukan manuver untuk mempengaruhi hasil-hasil yang didapatkan. Strategi yang dilakukan oleh Barat secara berturut-turut telah gagal membendung seruan bagi perubahan oleh rakyat Suriah. Apa yang saat ini sedang berlangsung adalah pertempuran untuk pasca Al-Assad antara kaum Muslim Sunni dan Amerika Serikat.

Pada tahun 2012 peristiwa yang mirip dengan pemberontakan yang terjadi di seluruh wilayah, umat di Suriah telah menghilangkan ketakutan mereka terhadap rezim dan semua peralatannya yang terkenal buruk dan memutuskan untuk melawan rezim. Umat di Suriah telah berperang selama lebih dari satu tahun, dengan pengalaman dan bantuan yang diperolah dari tentara Suriah yang membelot telah menjadikan ketajaman pertempuran mereka menjadi lebih baik. Ketajam peningkatan pertempuran dalam menghancurkan sejumlah tank tentara Suriah dan kendaraan tempur lapis baja telah membuktikan kemampuan umat. Masuknya para pejuang dari negara lain seperti yang telah dilaporkan juga telah mendukung umat. Termasuk juga bergabungnya para pejuang Suriah dan Irak yang berpengalaman dalam melawan pasukan AS. Pengalaman mereka dalam membuat alat peledak rakitan (IED) akan memiliki efek yang sangat besar pada kemampuan umat untuk menimbulkan korban dan kerusakan pada militer Suriah.
Inilah alasannya mengapa militer Suriah menghindari serangan lapis baja yang mahal pada wilayah-wilayah perkotaan yang dikuasai pemberontak di mana kendaraan lapis baja lebih rentan. Rezim hanya mengandalkan serangan udara dan penembakan jarak jauh dengan menggunakan tank, artileri dan dukungan serangan helikopter. Tentara Pembebasan Suriah (FSA) tidak perlu lagi mencocokkan nomor pasukan keamanan atau senjata karena para pemberontak dapat memaksa rezim untuk berperang dimana saja dengan sekaligus, dengan mengambil keuntungan mobilitas dan fleksibilitas untuk melakukan serangan yang efektif dan penyergapan di manapun dan kapanpun.
Setelah puluhan tahun dalam penindasan, umat di Suriah berdiri menantang penumpasan bengis oleh rezim Al – Assad. Untuk saat ini, perjuangan di Suriah ada dalam berbagai kekuatan untuk mendapatkan pengaruh di negara yang strategis ini. Situasi di negara ini masih berubah dan berpotensi berubah ke segala arah. Tantangan Umat di Suriah adalah untuk tidak tergoda dengan janji-janji senjata oleh kekuatan-kekuatan asing dan berkompromi dengan pemberontakan mereka.

Ringkasnya, pengamatan-pengamatan berikut dapat dilakukan pada ulang tahun kedua Revolusi Arab:

– Di Tunisia, Maroko dan Mesir, para pemilih yang berjumlah jutaan telah secara jelas menyatakan penentangan mereka terhadap nilai-nilai liberal sekuler dan berkeinginan kuat bagi pemerintahan Islam. Namun, pihak yang sama berusaha keras untuk menunjukkan loyalitas Islam mereka kepada massa dalam kampanye pemilu, namun sekarang berusaha lebih keras untuk menunjukkan sikap lunak mereka kepada Barat. Kelompok-kelompok Islam, apakah itu Ennahda di Tunisia atau Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) Ikhwanul Muslimin di Mesir telah membuat satu kesalahan strategis. Partai-partai Islam telah memenangkan pemilu yang cacat sejak awal. Pemilu itu adalah untuk memilih parlemen yang merupakan peninggalan dari segala sesuatu yang salah di dunia Muslim. Alih-alih membuat perubahan dan mengganti sistim, partai-partai Islam itu telah memasuki sistem yang korup dan menggantikan Ben Ali dan Hosni Mubarak dengan diri mereka sendiri dalam menjaga sistem yang korup dan sekuler.

– Sementara banyak dari kelompok-kelompok Islam yang sekarang berkuasa, yang telah berkorban banyak di masa lalu dan menerima tindakan kebrutalan para penguasa diktator, perhitungan politik mereka banyak yang berakar pada mitos. Mereka percaya bahwa sistem Islam hanya dapat dilaksanakan secara bertahap. Sementara kelompok-kelompok yang telah mencapai kekuasaan memiliki banyak kekurangan dalam pengembangan kebijakan dan berpendapat bahwa solusi Islam tidak siap untuk berurusan dengan masalah-masalah seperti kemiskinan, pengangguran dan pembangunan. Mereka juga percaya bahwa penerapan Islam akan menakut-nakuti kaum minoritas, menakut-nakuti para investor dan menakut-nakuti masyarakat internasional.

– Ada sejumlah negara yang belum terlihat pemberontakan seperti Arab Saudi, Yordania, dan sebagian besar negara-negara Teluk. Namun ada alasan khusus untuk hal ini. Hubungan antara para penguasa dan orang-orang di negara-negara berbeda itu jika dibandingkan dengan hubungan antara para penguasa dan rakyat di Libya, Suriah dan Mesir. Di Libya, Suriah dan Mesir para penguasa memerintah dengan tangan besi, dengan mendirikan negara-negara polisi dan kohesi sosial dipertahankan oleh dinas rahasia. Faktor-faktor itu tidak ada di negara-negara Teluk, Saudi dan Yordania.
– Protes-protes di Yordania hanya terbatas pada seruan untuk menjatuhkan Perdana Menteri. Raja Abdullah telah menolak berbagai pemerintah dikarenakan protes-protes jalanan. Sejak kemerdekaan Yordania pada tahun 1946, istana telah menunjuk lebih dari 60 perdana menteri, termasuk tiga diantaranya sejak kerusuhan Arab pecah pada tahun 2011. Raja Abdullah membubarkan pemerintahan Perdana Menteri Samir Rifai dan kemudian memasukkan Marouf al-Bakhit, seorang mantan jenderal, yang bertanggung jawab untuk membentuk kabinet baru dan melembagakan reformasi. Protes-protes masih terus berlangsung, hingga menyebabkan Raja Abdullah memecat Bakhit dan kabinetnya, yang menyebutkan Awn Shawkat Al-Khasawneh untuk memimpin pemerintah baru dan melakukan reformasi baru. Raja Abdullah telah berhasil hingga saat ini untuk membendung protes yang terus-menerus menggoyang pemerintah dan hal ini telah menenangkan rakyat.
– Arab Saudi telah mampu menyajikan protes-protes yang terjadi di wilayahnya sebagai pemberontakan kaum Syiah dan hal ini telah menyebabkan sebagian besar penduduk mengawasi dengan ketat kota-kota seperti Qatif, al-Awamiyah, dan Hofuf. Dalam rangka membendung pemberontakan, monarki mengumumkan serangkaian manfaat bagi warganya sebesar $ 10,7 miliar. Hal ini termasuk pendanaan untuk mengimbangi inflasi yang tinggi dan untuk membantu orang-orang muda pengangguran dan warga Saudi yang belajar di luar negeri, serta menghapus sebagian pinjaman. Sebagai bagian skema Saudi, para pegawai negeri melihat kenaikan gaji 15%, dan uang tunai tersedia bagi kredit perumahan. Tidak ada reformasi politik yang diumumkan sebagai bagian dari paket. Grand Mufti Arab Saudi juga mengeluarkan fatwa yang menentang petisi dan demonstrasi, fatwa itu termasuk “ancaman yang besar terhadap perbedaan pendapat internal.” [6] – Negara-negara Teluk tidak melihat banyak protes selain Bahrain dan Oman. Negara-negara kota tersebut menenangkan pemberontakan dengan membuat beberapa reformasi, dengan merubah kabinet-kabinet dan melalui ekonomi. Meskipun banyak dari negara itu adalah monarki mereka tidak memerintah dengan tangan besi. Sementara Bahrain terus menekan mayoritas penduduk Syiah, Oman adalah satu-satunya negara Teluk lainnya yang melihat terjadinya protes yang signifikan. Sultan melanjutkan kampanye reformasinya dengan membubarkan beberapa kementerian, mendirikan beberapa kementrian baru, pemberian manfaat kepada mahasiswa dan pengangguran, menolak sejumlah menteri, dan me-reshuffle kabinetnya tiga kali. Selain itu, hampir 50.000 pekerjaan diciptakan di sektor publik, termasuk 10.000 pekerjaan baru di Kepolisian Royal Oman. Upaya pemerintah sebagian besar telah menenangkan para demonstran, dan Oman belum melihat demonstrasi yang signifikan sejak Mei 2011, ketika protes yang semakin keras di Salalah mereda.

– Pemberontakan lama tidak terjadi di Pakistan. Pakistan belum menjadi sebuah kediktatoran bengis seperti yang telah terjadi di Libya, Suriah dan Mesir. Sejak era Musharraf, Pakistan telah bergerak sedemikian rupa, seperti yang dapat dilihat dengan hilangnya banyak orang yang dikaitkan dengan terorisme, namun fenomena ini adalah relatif baru. UU di Libya, Mesir dan Suriah berada di tangan para diktator bengis dan satu-satunya cara untuk mengubahnya adalah melalui pemberontakan.

Berbeda dengan Libya, Mesir dan Suriah,  sistem politik Pakistan tidak dikendalikan oleh klan tunggal, namun terdapat pusat-pusat kekuasaan yang berbeda, dimana dua keluarga secara historis mendominasi sistem politik. Para pemilik tanah feodal, industrialis, keluarga-keluarga kaya dan tentara semuanya adalah pusat-pusat kekuasaan yang menjaga arsitektur politik Pakistan. Sementara itu kaum oportunis dan berbagai fraksi telah memasuki proses politik untuk kepentingan pribadi mereka. Proses politik di Pakistan memiliki keterlibatan segmen yang jauh lebih luas dari penduduk dibandingkan dengan yang ada di Libya, Mesir dan Suriah dan hal ini merupakan garis hidupnya.

Untuk saat ini, sedruan perubahan di Pakistan adalah untuk membuat sistem politik yang lebih demokratis atau mensahkan sebagian hukum Islam. Inilah alasannya mengapa belum terjadi pemberontakan di negara itu meskipun perekonomian terus bergoyang dan pemadaman listrik telah menjadi norma.
– Dalam penilaian kami dari Revolusi Arab yang terjadi pada akhir 2011 kami menyimpulkan:

“Islam telah memainkan peran sentral dalam pemberontakan. Kelompok-kelompok seperti Ennahdah di Tunisia dan Ikhwanul Muslimin di Mesir telah mendapatkan keuntungan signifikan dalam pemilu karena mandat Islam mereka beresonansi dengan rakyat. ”
Namun, disamping pemberontakan Suriah pemberintakan lain yang menjadi mandeg adalah karena orang-orang yang mendukung Islam dalam realitasnya adalah orang-orang yang menjaga sistim pra-revolusi. Mereka berusaha untuk menjaga Barat agar tetap senang dengan sikap moderasi mereka dan orang-orang yang memberikan suara kepada mereka merasa bahagia dengan dibuat perubahan yang pura-pura, sementara semua mereka tetap dalam sistem sekuler dan melindungi kepentingan-kepentingan Barat.

Pada tahun 2013 tantangan-tanrangan berikut adalah yang paling mungkin perlu ditangani:

– Seharusnya sekarang menjadi jelas bahwa intervensi Barat belum memperhitungkan tuntutan-tuntutan di wilayah itu. Inilah alasannya mengapa Barat melakukan kontak dengan individu-individu yang sangat spesifik dan kelompok-kelompok yang mendukung cita-cita Barat atau dapat dirubah untuk mendukung cita-cita tersebut. Tantangan bagi umat Islam di wilayah itu adalah untuk memastikan revolusi mereka tidak dibajak oleh agenda asing. Intervensi Barat di Mesir dan Libya adalah kunci terhadap infiltrasi revolusi Barat. Melalui hal ini, diharapkan mereka memiliki suara di wilayah tersebut.

– Perdebatan terbesar adalah sistem pemerintahan di wilayah tersebut. Semua seruan bagi Islam sedang dikucilkan oleh media global yang ingin melihat nilai-nilai Barat menguasau wilayah tersebut. Tekanan ini telah menyebabkan kelompok-kelompok Islam banyak yang menderita oleh para diktator di wilayah itu untuk mengkompromikan kebijakan Islam mereka dalam rangka menenangkan Barat. Membangun Islam politik merupakan tantangan kawasan tersebut yang perlu untuk diambil.
– Kelompok yang berbeda yang cenderung berbeda datang untuk bersama-sama menggulingkan para penguasa wilayah itu. Kesatuan ini kemudian berakhir ketika para penguasa itu digulingkan. Sekarang perbedaan telah muncul pasca-rezim dan hal ini telah digunakan oleh Barat untuk memecah belah rakyat dan memungkinkan Barat menumbuhkan pengganti mereka yang akan mendapatkan mereka dukung. Tantangan bagi masyarakat di wilayah itu adalah untuk mengembangkan sebuah sistem baru bagi wilayah itu yang mampu menyatukan rakyat dan mengenyahkan campur tangan Barat.
– Upaya-upaya AS untuk melakukan campur tangan dalam pemberontakan di Suriah terus berlanjut. AS sedang mencoba memancing  aktivis-kativis yang “terpancing”  melalui penawaran pelatihan dan dukungan sehingga mereka dapat memperoleh pengaruh yang lebih besar dalam pemberontak di wilayah Suriah dan mengambil peran kepemimpinan. Dilaporkan bahwa pada minggu terakhir bulan Agustus 2012 AS dan Inggris mendirikan sebuah kamp pelatihan di perbatasan Turki untuk melatih para aktivis Suriah dari dalam Suriah. Telegraf melaporkan bahwa: “Sebuah jaringan bawah tanah bagi para aktivis oposisi Suriah dibuat untuk menerima pelatihan dan persediaan peralatan penting sebagai upaya gabungan Amerika dan Inggris untuk membentuk suatu alternatif yang efektif kepada rezim Damaskus. Puluhan pembangkang telah dibawa keluar Suriah untuk diperiksa dan mendapat dukungan asing. “Orang-orang yang direkrut melakukan “dua hari pemeriksaan yang dirancang untuk memastikan bahwa program tersebut tidak jatuh ke dalam perangkap yang mempromosikan agenda sektarian atau memmunculkan gerakan fundamentalis gaya al-Qaeda.” Opsi terakhir yang tersisa bagi AS untuk menyusup dan mempengaruhi FSA untuk mematuhi rantai komando yang setia dan dikontrol oleh AS. Ini akan mengarahkan para pemberontak dari tujuan mereka untuk menjatuhkan rezim dan untuk duduk di meja perundingan. Tantangan umat adalah untuk menjaga pemberontakan yang murni, yang bebas dari kontrol Barat. Hasil-hasil yang terjadi di Suriah akan berdampak ke seluruh wilayah. (RZ)

Artikel ini adalah versi singkat dari ekstrak dari publikasi tahunan yang diterbitkan oleh Khilafah.com – Strategic Estimate 2013.

 

[1] Tunisia’s Islamists rule out sharia in constitution, France 24, March 2012, retrieved 23 September 2012, http://www.france24.com/en/20120328-tunisia-islamists-rule-out-sharia-constitution-ennahda

[2] Ibid

[3] Interview with Rachid Ghannouchi, France 24, 13 November 2011, retrieved 11 November 2012, http://alhittin.com/2011/11/13/rashid-al-ghannushi-rejects-the-idea-of-khilafah-wants-reforms/

[4] Egypt’s Islamist parties allay public fears but say no presidency for Copts, Al Arabiya, January 2012, retrieved 23 September 2012, http://english.alarabiya.net/articles/2012/01/03/186120.html

[5] Libyan violence threatens oil recovery, UPI.com, 26 September 2012, retrieved 11 November 2012, http://www.upi.com/Business_News/Energy-Resources/2012/09/26/Libyan-violence-threatens-oil-recovery/UPI-73801348692042/

[6] A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia warning against mass demonstrations, Asharq al awsat News, October 2011, retrieved 1 October 2012, http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwa-council-senior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*