Partai politik tidak lagi menjadi pilar demokrasi, tetapi berubah menjadi pilar korupsi. Mendekati Pemilihan Umum 2014, skala korupsi diperkirakan semakin meningkat karena parpol membutuhkan biaya kampanye.
”Parpol bukan lagi sebagai pilar demokrasi, tetapi pilar korupsi,” kata Syamsuddin Haris, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di sela-sela diskusi ”Budaya Politik dan Kelas Menengah” di Cikini, Jakarta, Sabtu (29/12/2012).
Parpol disebut pilar korupsi karena banyak penyelenggara negara yang berasal dari parpol terjerat kasus korupsi. Bukan hanya anggota DPR, melainkan juga para menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan anggota DPRD menyelewengkan kewenangan untuk merampok uang negara.
Syamsuddin menilai, keterlibatan parpol dalam korupsi akan sulit dicegah. Sebab, umumnya parpol tidak memiliki sumber pendanaan yang jelas. Para kader parpol yang menjabat sebagai penyelenggara negara dipaksa mencari sumber dana, yang umumnya dari anggaran negara.
Ia memprediksi, skala korupsi parpol akan meningkat menjelang Pemilu 2014. Pasalnya, parpol membutuhkan dana besar untuk kampanye. Penggalangan dana dari anggaran negara juga diyakini terjadi karena aturan mengenai pendanaan parpol terlalu longgar. Tidak ada tuntutan bagi parpol agar lebih transparan dalam pengelolaan dana.
Burhanuddin Muhtadi, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, mengusulkan perlunya undang-undang sistem keuangan parpol. ”Tidak ada reformasi parpol tanpa ada transparansi pengelolaan dana,” katanya.
UU itu diusulkan memuat aturan main yang jelas dan tegas mengenai pengelolaan dana parpol. Tidak hanya sumbangan atau bantuan pemerintah untuk parpol, tetapi juga kejelasan sumber dana lainnya. Biaya atau pengeluaran kampanye juga diatur jelas dalam UU tersebut. Burhanuddin meyakini UU sistem pendanaan parpol dapat menekan korupsi parpol. ”Selama ini aturannya remang-remang sehingga parpol rakus sekali menggarong APBN,” ujarnya.
Selain UU sistem pendanaan parpol, solusi lain yang ditawarkan Syamsuddin adalah memperkuat masyarakat sipil. Seluruh kelompok masyarakat sipil perlu bekerja sama dan berkonsolidasi untuk terus mengingatkan parpol agar tak melakukan korupsi.
Namun, praktik korupsi politik setahun menjelang Pemilu 2014 ditengarai bakal berbeda dengan modus korupsi pada masa-masa sebelumnya. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, politisi pasti akan ekstra hati-hati jika hendak melakukan korupsi mengingat langkah Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun kontrol yang makin kuat dari publik. Oleh karena itu, bisa jadi praktik korupsi dilakukan dengan modus yang berbeda melalui kebijakan anggaran yang diarahkan untuk wilayah atau daerah pemilihan tertentu, terutama untuk APBN 2013.
Menurut Arif, mahalnya biaya politik menjelang pemilu memang menjadikan terbukanya kemungkinan kompromi pembahasan anggaran. Misalnya saja, dana bantuan sosial atau hibah yang ada di kementerian diarahkan ke basis konstituen parpol atau calon anggota legislatif tertentu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Apung Widadi, menuturkan, gejala political budget cycle di beberapa negara Eropa dan juga Asia, menjelang pemilu, pemerintah akan mengalokasikan anggaran-anggaran yang populis. Untuk politisi, kecenderungannya agak kasar karena mereka butuh freshmoney untuk kampanye. (kompas.com, 30/12/2012)