Sifat-sifat ‘Ibâd al-Rahmân (1)

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (TQS al-Furqan [25: 63).

            Sebagai makhluk, manusia wajib menyadari posisi dirinya. Dia harus menghamba dan mengabdikan dirinya kepada penciptanya, Allah SWT. Dia juga harus memiliki sifat dan karakter sebagai layaknya hamba-Nya. Dengan begitu, dia akan diberikan tambahan kemuliaan dan keutamaan.

Agar itu bisa terjadi, maka manusia harus mengetahui sifat-sifat yang harus melekat pada dirinya. Ayat-ayat ini adalah di antara yang memberikan penjelasan tentang beberapa sifat yang harus dimiliki sebagai orang yang menjadi hamba-Nya.

 

Rendah Hati

Allah SWT berfirman: Wa ‘ibâd al-Rahmân al-ladzîna yamsyûna ‘alâ al-ardh hawn[an] (dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu [ialah] orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati). Ayat ini memberitakan tentang ‘ibâd al-Rahmân  dam menjelaskan sejumlah sifat dimiliki.

Kata ‘ibâd merupakan bentuk jamak dari kata ‘abd (hamba, budak). Sedangkan al-Rahmân merupakan salah satu dari asma’ Allah SWT. Di-idhâfah-kan kata ‘abd dengan al-Rahmân, menurut al-Alusi, untuk mengkhususkan mereka dengan rahmat-Nya dan melebihkan mereka dari yang lain disebabkan karena keberadaan mereka yang dirahmati oleh Pemberi nikmat, Allah SWT.

Mahmud al-Hijazi dalam Tafsîr al-Wâdhih menyatakan bahwa penyebutan al-‘ubûdiyyah (penghambaan) untuk al-Rahmân merupakan sifat yang paling tinggi bagi manusia. Bahkan sebutan itu –yakni ‘abd, hambajuga digunakan untuk menyebut Rasul paling mulia dan penutup para nabi. Perhatikan firman Allah SWT: Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (TQS al-Isra’ [17]: 1). Juga firman-Nya: Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya (TQS al-Furqan [25]: 1). Semua itu menunjukkan bahwa sifat-sifat yang dilekatkan kepada hamba Dzat Yang Maha Penyayang tersebut merupakan sifat yang mulia pada makhluk. Sebutan itu tidak diberikan kecuali kepada orang yang sibuk melakukan penghambaan dengan benar. Jika tidak demikian, tentulah semua orang disebut sebagai hamba Allah.

Dipaparkan juga oleh al-Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân., barangsiapa yang menaati dan menyembah kepada Allah, menggunakan pendengaran, penglihatan, lisan, dan hatinya dengan apa yang diperintahkan Allah, maka dia berhak mendapatkan penyebutan al-‘ubûdiyyah (penghambaan). Sedangkan yang bertindak sebaliknya, tercakup dalam firman-Nya: Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (TQS al-A’raf [7]: 179).

Dalam ayat ini digambarkan bahwa sifat ibâd al-Rahmân, hamba Yang Maha Penyayang itu adalah: al-ladzîna yamsyûna ‘alâ al-ardh hawn[an], orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan hawn[an]. Kata yamsyawna berasal dari kata al-masy-yu (berjalan). Secara bahasa, kata tersebut berarti al-intiqâl min makân ilâ makan bi irâdah (berpindah dari satu tempat ke tampat lain dengan kehendak). Demikian al-Asfahani dalam al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân.

            Meski demikian, menurut al-Qurthubi frasa yamsyawna (mereka berjalan) dalam ayat ini merupakan ungkapan yang menunjuk kepada kehidupan mereka, selama hidup mereka, dan tingkah laku mereka. Tercakup pula di dalamnya pergaulan mereka dengan manusia. Mereka melakukan semua itu dengan hawn[an].

Secara bahasa, kata al-hawn adalah al-layn wa al-rifq (halus, lembut, ramah). Demikian penjelasan para mufassir seperti al-Baghawi, al-Alusi, dan lain-lain. Sehingga maksud ayat ini, sebagaimana diterangkan al-Zuhaili, mereka berjalan dengan tenang dan tawadhu’, tidak takabbur dan sombong. Penjelasan senada juga dikemukakan Ibnu Jarir al-Thabari yang mengatakan bahwa mereka berjalan di muka bumi dengan sabar dan tenang, tanpa disertai kesombongan dan keangkuhan. Juga tidak melakukan kerusakan dan maksiat kepada Allah SWT.

Perintah ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong (TQS al-Isra’ [17]: 37). Juga firman-Nya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (TQS Luqman [31]: 18).

Selain itu, amat banyak nash yang memerintahkan manusia bersikap tawadhu dan melarang manusia bersikap sombong. Rasulullah SAW bersabda: Dan tidaklah seseorang itu bersikap tawadhu karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajat orang itu (HR Muslim). Sebaliknya melarang keras bersikap sombong dan angkuh serta memberikan celaan kepada pelakunya.

Khusus berkait dengan pengertian berjalan yang dimaksudkan ayat ini, ditegaskan Ibnu Katsir bahwa berjalannya itu bukan berarti seperti orang sakit yang dibuat-buat dan riya’. Sungguh Rasulullah SAW apabila berjalan seolah-olah berjalan menurun. Sebagian ulama salaf juga tidak menyukai orang berjalan yang lemah dan dibuat-buat. Diriwayatkan dari Umar ra, ketika beliau melihat seorang pemuda berjalan perlahan-lahan, maka beliau bertanya: “Apa yang menimpa kamu? Apakah kamu sakit? Pemuda itu menjawab: “Tidak, wahai Amirul Mukminin?” Lalu beliau memerintahkan kepadanya agar berjalan cepat dan kuat.  

 

Mengucapkan Perkataan yang Baik

Kemudian diterangkan sifat lainnya dari hamba Dzat Maha Penyayang itu dengan firman-Nya: Wa idzâ khâthabahum al-jâhilûna qâlû salâm[an] (dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik). Ini merupakan penjelasan tentang sifat dan keadaan mereka tatkala berinteraksi dengan sesama manusia; setelah sebelumnya dijelaskan tentang sifat mereka terhadap diri mereka sendiri.

Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, hamba Allah SWT ini juga menunjukkan pekerti yang terpuji. Ini tampak jelas pada sikap mereka tatkala menghadapi al-jâhilûn (orang-orang bodoh) yang bersikap buruk terhadap mereka.

Dijelaskan al-Zamakhsyari, pengertian al-jahl adalah al-safah (kebodohan), qillah al-adab (sedikit adabnya), dan sû` al-ri’ah (buruk keadaannya). Sedangkan ungkapan khâthabahum di sini, menurut al-Alusi,  menunjuk kepada perkataan yang buruk. Al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr menafsirkannya sebagai perkataan yang tidak mereka sukai. Ketika perkataan itu disampaikan kepada hamba al-Rahman, mereka tidak membalasnya dengan ungkapan yang sama. Sebaliknya, mereka justru mengatakan: salâm[an].

Ada beberapa penjelasan dari para ulama mengenai maksud dari kata salâm[an] dalam ayat ini. Al-Nuhas, sebagaimana dikutip al-Syaukani dalam Fat-h al-Qadîr, mengatakan bahwa al-salâm di sini bukan berasal dari al-taslîm, namun dari kata al-tasallum. Masih menurutnya, orang-orang Arab mengatakan: salâm[an], artinya tasallum minka, yakni berlepas diri dari mereka. Sedangkan menurut al-Jazairi, kata salâm[an] di sini berarti perkataan yang mereka selamat dari dosa. Mereka tidak membalas keburukan dengan keburukan, namun dengan kebaikan. Al-Samarqandi dalam Bahr al-‘ulûm memaknainya sebagai sadâd min al-qawl (perkataan yang tepat).

Dijelaskan juga oleh Ibnu Katsir, apabila ada orang yang bodoh menyampaikan perkataan yang buruk, maka tidak dibalas dengan perkataan yang sama. Akan tetapi, dimaafkan dan berpaling darinya serta tidak dikatakan kecuali kebaikan, sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW bahwa kamu tidak menambah parah orarang bodoh kecuali hilm (kesabaran dan kemurahan). Allah SWT berfirman: Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya (TQS al-Qashash [28]: 55).

Semua penafsiran yang diberikan para mufassir itu saling berdekatan. Bahwa ketika para hamba al-Rahman disampaikan kepadanya perkataan yang buruk dan menyakitkan, mereka tidak membalas dengan ucapan yang sama. Mereka justru menyampaikan perktaan yang baik, tepat, dan selamat dari dosa.

Demikianlah beberapa sifat yang disebut Allah sebagai ‘ibâd al-Rahmân, hamba-hamba Yang Maha Penyayang. Dua sifat yang digambarkan dalam ayat ini jelas menunjukkan keutamaan mereka. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

 

Ikhtisar:

  1. Penyebutan sebagai ‘ibâd al-Rahmân yang memiliki sifat khusus menunjukkan keutamaan dan pujian terhadap sifat itu dan pelakunya
  2. Di antara sifat khusus ‘ibâd al-Rahmân adalah bersikap rendah hati dan menjaga ucapannya, sekalipun terhadap perkataan buruk yang disampaikan orang-orang bodoh.

Sumber mediaumat.com(6/1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*