HTI-Press. Saat ini, demokrasi dianggap sebagai sistem politik terbaik. Salah satu harapan masyarakat terhadap negara demokratis adalah mampu menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi semua orang, termasuk kaum perempuan, anak-anak dan kaum minoritas. Faktanya, sejak berdirinya negara ini hingga sekarang, demokrasi yang diterapkan dan diperjuangkan gagal membawa kesejahteraan dan keamanan bagi kaum perempuan dan kaum minoritas.
Bahkan dunia barat, Amerika dan negara-negara Eropa, yang merupakan pelopor demokrasi, kenyataannya tak pernah menepati apa yang selalu mereka propagandakan tentang demokrasi. Sekarang kita lihat fakta kejahatan demokrasi, yang tak bisa dipungkiri, terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan.
Catatan Buruk
A. Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas
Amerika, kampium demokrasi, masih mediskriminasikan korban badai Katrina 2005 lalu, yang notabene warga kulit hitam (Al-Wa’ie, Maret 2006). Sementara Prancis telah melarang minoritas muslimah untuk mengenakan hijab, yang merupakan identitas muslimah, masjid-masjid dimonitor, jaringan telepon disadap dan selebaran yang disebarkan umat muslim diawasi (K-Mag, No. 7, April 2006).
Di Thailand, para demonstran minoritas muslim yang memprotes penahanan enam warga yang dituduh menjual senjata kepada pejuang Muslim di Thailand Selatan, dibubarkan dengan cara ditembaki senjata api, gas air mata, dan meriam air. Para demonstran pun dimasukkan ke dalam enam buah truk dengan cara ditumpuk seperti menumpuk barang dagangan. Akibatnya 78 orang tewas sebelum mereka sampai di tempat tujuan. Mereka meninggal karena kesulitan bernapas atau tertindih sampai mati (Swaramuslim, 2004)
Perlakuan Australia terhadap minoritas muslim di negaranya pun setali tiga uang. Louise Pemble, wartawati The Sunday Times, menulis headline berjudul ”How it feels to be an Ooutsider”. Tulisan tersebut merupakan pengalamannya selama menyamar menjadi muslimah dengan mengenakan hijab dan cadar. Dalam headline tersebut ia menceritakan beberapa celetukan yang ia peroleh dari orang-orang tua (elderly people) antara lain ”stupid woman” dan puncaknya ketika dia mendapat cemohan ”move away from the bomber.” Saat mengunjungi tempat-tempat umum di Australia, Louise Pemble juga merasakan reaksi masyarakat terlihat berlebihan dalam melihatnya, memandangnya, dan mengamatinya. Seolah-olah, ketika wanita itu lewat, daerah tersebut menjadi ‘siaga I’ (Swaramuslim, 2005).
Kenyataan di atas sangat kontras dengan apa yang disebut sebagai instrumen internasional yang menjamin kaum minoritas. Salah satu instrumen itu adalah Deklarasi Hak Orang-Orang yang termasuk Bangsa atau Sukubangsa, Agama, dan Bahasa Minoritas yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 47/135 PBB tahun 1992. Misalnya pada pasal 2 butir 1 menyatakan, “Orang-orang yang termasuk bangsa atau sukubangsa, agama, dan bahasa minoritas (selanjutnya disebut sebagai orang-orang yang termasuk kaum minoritas) mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan mereka, untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri, dalam lingkungan sendiri dan umum dengan bebas dan tanpa gangguan atau tanpa segala bentuk diskriminasi”.
B. Nestapa Perempuan
Jika dikatakan demokrasi telah berhasil membawa sejumlah kemajuan bagi perempuan, itu adalah kemajuan semu. Semu, karena di satu sisi mengalami “kemajuan” sementara di sisi lain mengalami kemerosotan. Sebagai contoh Swedia memiliki tingkat keterwakilan politik perempuan paling tinggi, yakni mencapai 40 persen. Hal ini dianggap suatu kemajuan, padahal di sisi lain angka perceraian dan orang tua tunggal di negara tersebut mencapai lebih dari 50 % (Husain Matla, 2007).
Tahun ini, Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan, akibat naikknya harga BBM jumlah warga miskin Indonesia bertambah dari 37,2 juta menjadi 41,7 juta orang (21,92 persen). Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri.
Dalam laporan tahunan Unicef berjudul Laporan Situasi Anak Dunia 2007, tercatat kehidupan jutaan anak perempuan dan perempuan dewasa dibayangi oleh diskriminasi, ketidakberdayaan dan kemiskinan. Jutaan perempuan di seluruh dunia menjadi sasaran kekerasan fisik dan seksual, dan sedikit peluangnya untuk mendapatkan keadilan.
Sebagai akibat diskriminasi, anak perempuan berpeluang lebih kecil untuk bersekolah, bisa dikatakan satu dari lima anak perempuan yang bersekolah di sekolah dasar di negara berkembang tidak menyelesaikan pendidikannya. Tingkat pendidikan diantara kaum perempuan, menurut laporan ini, berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup dan perkembangan anak yang lebih baik.
Laporan Unicef tersebut mungkin hanya menggambarkan kondisi perempuan di negara berkembang, sekarang kita lihat nasib perempuan di dunia barat. Barat yang selalu menjadi acuan Indonesia berdemokrasi ternyata “mengoleksi” catatan buruk nasib perempuan dan anak-anak.
Sebuah survey yang dilakukan di sembilan negara bagian AS, yang dilakukan selama 5 tahun, menyatakan bahwa 60% pengacara perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Pelecehan tersebut dilakukan, sepertiganya oleh kolega, 40% oleh klien, dan 6% oleh hakim. Penelitian yang dilakukan University of Medical Researchers tahun 1998, diketahui bahwa diantara prajurit perempuan pasukan AS dalam perang Vietnam atau perang Teluk, 63% mengalami pelecehan fisik dan seksual selama menjalani tugas kemiliterannya, dan 43% dilaporkan mengalami pemerkosaan atau usaha pemerkosaan.
BBC melaporkan, hampir 25% perempuan di Inggris pernah mengalami kekerasan domestik dalam kehidupannya. Setiap 60 detik, kepolisisn Inggris mendapat panggilan menangani kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menerima 1300 telepon pengaduan masalah ini setiap harinya. KDRT di Inggris pun telah memakan 2 korban tewas setiap minggunya!
Pemerkosaan terjadi setiap menit di AS dan di Inggris sepertiga perempuan pernah menjadi korban pelecehan seksual pada usia 18 tahun. Jumlah pemerkosaan pun dilaporkan meningkat 500% antara 1996-1997 (Nawaz,2006)).
Fakta yang mengerikan! Apakah hal seperti ini yang ingin ditiru dan dicapai oleh kaum perempuan di Indonesia? Tampaknya berbagai permasalahan perempuan dan anak-anak semakin mengukuhkan kegagalan demokrasi dalam menjamin keadilan, keamanan dan kesejahteraan. Masihkan kita berharap terhadap demokrasi? Sistem yang telah berabad-abad didengungkan memberi sejuta harapan perbaikan, tapi sampai saat ini perbaikan yang diinginkan tak pernah tercapai!
Perempuan dan Minoritas dalam Islam
Bukti demokrasi gagal memelihara perempuan dan kaum minoritas adalah fakta tak terbantahkan. Tentu kondisi menyedihkan dan mengerikan ini harus diubah. Diubah dari sistem demokrasi yang gagal, ke sistem yang secara historis terbukti mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan, termasuk memelihara kaum perempuan dan minoritas. Sistem tersebut adalah sistem pemerintahan Islam.
Jaminan keamanan dan kesejahteraan yang diberikan negara Islam terhadap manusia termasuk kepada kaum minoritas-non muslim diakui oleh Will Durant. Dalam bukunya The Story of Civilization, dia menyatakan pujiannya tentang para pemimpin negara Islam (khalifah) “Para khalifah telah memberikan keamanan pada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannyadan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka”.
Meski demikian, upaya formalisasi syariat Islam selalu dibenturkan pada dua isu utama, perempuan dan kaum minoritas. Penerapan sistem Islam dalam negara dianggap sebagai ancaman bagi kaum perempuan dan kaum minoritas. Moeslim Abdurrahman, aktivis JIL, bahkan mengatakan bahwa korban pertama penerapan syariat Islam adalah kaum perempuan dan korban kedua adalah kaum minoritas.
Benarkah ketika syariat Islam diterapkan kaum perempuan akan “dibelenggu”? Benarkah formalisasi syariat Islam membuat kaum perempuan menjadi warga yang termarjinalkan dan diperlakukan tidak adil? Benarkah pula akan terjadi penindasan dan pemaksaaan pindah agama bagi kaum minoritas non muslim?
Terjaminnya Kaum Minoritas
A. Masa Nabi Muhammad SAW
Pada saat Rasulullah saw. membangun negara Islam (Daulah Islam) di Madinah, keadaan masyarakatnya tidaklah seragam. Madinah saat itu dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Meskipun struktur masyarakatanya beragam, namun semua masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum-hukum Islam.
Kelompok-kelompok selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam, atau diusir dari Madinah. Bahkan mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Hal ini sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Quran, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (TQS. Al Baqarah [2]:256).
Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi, diskriminasi dan gangguan. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Jaminan Negara Islam terhadap non muslim tersebut terlihat jelas dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah saw. Dalam bagian tengah Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut, “Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah, akan memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad), dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan.Tidak dibenar-benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali telah disepakati dan diterima bersama”.
Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak mu’amalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah saw (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya.
Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di jazirah Arab, Nabi saw memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Aylah, Azrah, Jarba’, dan Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Nabi saw. juga memberikan perlindungan , baik harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Beliau juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja’, Najran, Muzainah, Aslam, Juza’ah, Jidzaam, Qadla’ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri’asy, dan masih banyak lagi.
Begitulah, non muslim yang tinggal di dalam Daulah Islam atau disebut kafir dzimmiy tidak dipaksa meninggalkan agama mereka, akan tetapi mereka diwajibkan membayar jizyah saja. Mereka tidak dipungut biaya-biaya lain, kecuali jika hal itu merupakan syarat yang disebut dalam perjanjian. Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman,”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.”(HR. Ibnu ‘Ubaid)
Cuplikan fakta sejarah perlakuan Daulah Islamiyyah terhadap kaum minoritas (non muslim) tersebut cukup menjadi bukti bahwa penerapan Islam dalam negara bukanlah ancaman bagi kaum non muslim. Islam bahkan telah mengakui dan mengakomodasi pluralitas pada saat bangsa Romawi maupun Yunani tidak mengakuinya.
Pengakuan terhadap pluralitas inipun telah diterangkan oleh al-Quran di dalam ayat-ayatnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah.“[al-Hujurat:13].
Kemudian pada ayat, “Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar. Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan”. (al-Hajj:67-68)
B. Masa Kekhalifahan Islam
Jaminan keamanan, keselamatan dan “kebebasan” dalam beribadah sesuai keyakinan yang diberikan kapada kaum minoritas yang dilakukan semasa Rasulullah saw, tetap dilaksaanakan sepeninggal Beliau saw. Para khalifah sebagai penerus pemimpin Daulah Islamiyyah tidak pernah meninggalkan apa yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Dalam memperlakukan kaum non muslim. Bahkan hingga kekhalifahan terakhirpun, perlakuan tersebut tidak berubah. Padahal saat itu wilayah negara Islam telah mencapai 2/3 dunia, dimana perbedaan agama, keyakinan, ras, suku bangsa dan budaya adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.
Daulah Islam telah memberikan keamanan, keselamatan dan kesejateraan kepada penduduknya baik muslim maupun non muslim. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad saw melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berfikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.” Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Apa yang dilakukan Umar bin Khaththab jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin Khaththab hancur berkeping-keping.
Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini sebagai berikut ini, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194)”.
Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam. Sayangnya, peradaban yang inklusive dan agung ini berakhir di bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak mereka diusir dari Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi. Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia (Syamsudin Ramadhan, 2008).
Perlakuan kekhilafahan terakhir, kekhilafahan Utsmaniyah, terhadap kaum non muslim dilukiskan sejarahwan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam bukunya Preaching of Islam. Dia menyatakan ”Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang meareka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Arnold juga menjelaskan, “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta Negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua Negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintahan Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam Islam…kaum Cossak yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh gereja kuno dan gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Demikianlah sebagian catatan sejarah bagaimana Daulah Islamiyyah memperlakukan warganya yang non muslim. Tuduhan bahwa formalisasi Islam dalam negara akan menjadi “tungku peleburan” agama, sehingga semua orang dipaksa masuk Islam adalah sebuah asumsi tanpa dasar dan tidak sesuai fakta. Islam juga tidak akan melakukan diskriminasi, intimidasi dan pemaksaan kepada non muslim.
Sebagai warga negara, kaum minoritas mendapatkan jaminan keamanan, keadilan hukum dan kesejahteraan yang sama dengan warga yang muslim. Mereka dibiarkan memeluk agama dan keyakinannya masing-masing. Islam juga memberikan kebebasan dan perlindungan terhadap ritual-ritual kegamaan yang mereka lakukan.
Islam Memuliakan Perempuan
A. Kedudukan Perempuan dalam Islam
Sebelum Islam datang, bangsa Arab memperlakukan perempuan sebagai manusia yang bernilai rendah. Kaum perempuan saat itu dianggap sebagai harta benda yang bisa diwarisi. Jika seorang suami meninggal maka walinya berhak terhadap istrinya. Wali tersebut berhak menikahi si istri tanpa mahar, atau menikahkannya dengan lelaki lain dan maharnya diambil oleh si wali, atau bahkan menghalang-halanginya untuk menikah lagi.
Bayi perempuan dianggap sebagai aib, sehingga orang Arab Jahiliyyah mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir. Namun Rasulullah saw. datang membawa risalah Islam untuk melenyapkan semua bentuk kezaliman tersebut dan mengembalikan hak-hak kaum perempuan.
Tindakan yang memeras dan mengebiri hak-hak kaum perempuan, semua dihapus. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS. an-Nisa’ ayat 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Barangsiapa yang memiliki anak perempuan, dan ia tidak menguburnya hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak cenderung kepada nank laki-lakinya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”
Islam juga menetapkan bagaimana seorang suami harus memperlakukan istrinya, Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai manusia, memang benar kalian memiliki hak atas istri kalian, tapi mereka juga punya hak atas kalian. Ingatlah, bahwa kalian telah mengambil mereka sebagai istri atas kepercayaan dan izin Allah. Jika mereka taat, maka mereka berhak diberi nafkah dan pakaian serta kebaikan. Baik-baiklah kepada mereka, karena mereka adalah pasangan dan penolong kalian.”
Penghargaan tinggi atas tugas-tugas perempuan sebagai ibu dan kepala rumah tangga juga diberikan Islam. Nabi saw. bersabda:
“Pada masa kehamilan hingga persalinan, dan hingga berakhirnya maasa menyusui, seorang perempuan mendapatkan pahala yang setara dengan pahalanya orang yang menjaga perbatasan Islam.” (HR. Thabrani)
Nabi saw. juga pernah bersabda:
“Ketika seorang perempuan menyusui anaknya, untuk setiap tegukan itu ia akan mendapatkan pahala seolah-olah ia baru dilahirkan sebagai seorang manusia, dan ketika ia menyapih anaknya, para malaikat menepuk punggungnya sambil berkata, ‘Selamat! Semua dosa-dosamu yang telah lalu telah diampuni, kini semuanya berjalan dari awal lagi’.” (Raiyadhu as-Salihin)
B. Masalah Kemiskinan, Keamanan, Pendidikan dan Kesehatan
Dalam Daulah Islamiyyah, negara menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat secara keseluruhan. Negara juga memberikan jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
Kebutuhan pokok, antara lain pangan, sandang dan papan (rumah), pendidikan dan kesehatan semuanya dijamin negara. Rasullah saw. bersabda:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kebutuhan Pangan, Sandang, dan Papan
Negara memerintahkan kepada setiap kepala keluarga bekerja mencari nafkah. (Lihat: QS al-Mulk: [67] 15; QS al-Jumu‘ah [62]: 10). Hal ini karena kepala keluarga wajib mencari nafkah untuk keluarganya. Kaum perempuan tidak wajib mencari nafkah. Semua kebutuhan anak-anak termasuk anak perempuan ditanggung oleh ayah atau walinya. Sedangkan kebutuhan istri ditanggung oleh suaminya. Begitupula seorang anak laki-laki harus menanggung kebutuhan ibunya jika ayahnya telah meninggal atau sudah tidak mampu bekerja.
Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Sehingga angka pengangguran dapat dientaskan, karena hal ini merupakan salah satu kewajiban negara Khilafah.
Jika kepala keluarga ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka negara akan memerintahkan setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu.
Negara juga akan mewajibkan tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan, dan dengan segera negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan. Orang yang tidak mampu lagi bekerja dan tidak mempunyai sanak saudara yang menanggungnya, maka kebutuhannya akan ditanggung negara melalui Baitul Mal (Kas Negara).
Jika ternyata kas negara tengah kosong atau dilanda krisis sehingga tidak mampu memnuhinya, maka kewajiban tersebut beralih kepada seluruh kaum Muslimin. Kaum Muslim dapat dikenai pajak (dharîbah). Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang kaya dan tidak boleh diambil dari orang non-Muslim meskipun ia kaya.
Rasulullah saw. pernah mengambil sebagian harta milik orang-orang kaya Bani Nadhir dan membagi-bagikannya kepada sahabat Muhajirin yang fakir. Itu dilaksanakan oleh beliau sebagai realisasi pengamalan perintah Allah Swt.
Pada masa kekhalifahan, Umar bin al-Khaththab pernah membangun suatu rumah yang diberi nama “Dâr ad-Daqîq” (Rumah Tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang ditujukan untuk membantu para musafir memenuhi kebutuhannya. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicapai oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.
Diceritakan oleh Imam Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharâj, bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab r.a., pernah melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, “Apakah ada yang bisa saya bantu?” Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. “Usiaku sudah lanjut,” katanya. Amirul Mukminin berkata, “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya perlakuan kami. Karena kami mengambil sesuatu darimu di saat mudamu dan kami biarkan kamu di saat tuamu.”
Setelah kejadian itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.
Demikianlah, peran besar negara untuk menciptakan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan warga negaranya, baik perempuan, laki-laki, maupun non-muslim. Tentunya dengan cara ini masalah kemiskinan rakyat di Daulah Islamiyyah akan teratasi. Cara yang agung dan mulia ini, juga akan mencegah setiap individu masyarakat—yang sedang dililit kesulitan hidup—memenuhi kebutuhan mereka dengan cara menghinakan diri (meminta-minta).
Masalah Keamanan, Pendidikan, dan Kesehatan
Pemenuhan kebutuhan pokok berupa keamanan, pendidikan, dan kesehatan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri‘âyah asy-syu’ûn) dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara (Khilafah Islamiyah) berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat. Seluruh biaya yang diperlukan ditanggung oleh Baitul Mal.
Keamanan dan kepastian hukum setiap anggota masyarakat dijamin dengan jalan menerapkan hudûd (qishâsh, potong tangan bagi pencuri, diyat [denda], dsb). yang tegas kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta orang lain. Dengan jujur, Noah Feldman, seorang professor hukum dari Havard University, mengakui perlindungan negara Khilafah kepada penduduknya termasuk kaum perempuan. Dia mengatakan, “Ketika Inggris menerapkan hukum mereka pada umat Muslim sebagai ganti syariah, sebagaimana yang telah mereka lakukan di beberapa koloni, hasilnya adalah peniadaan hak milik kaum perempuan yang selalu dijamin oleh hukum Islam-kemajuan yang sulit ditandingi dalam kesetaraan gender.”
Profesor Feldman melanjutkan, “Syariah juga melarang penyuapan atau dukungan khusus dalam pengadilan. Ia menuntut perlakuan sama antara si kaya dan miskin. Ia mengutuk pembunuhan-pembunuhan vigilante-style honour yang masih terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Ia juga melindungi, hak milik semua orang-termasuk perempuan.” (Kantor Berita Common Ground, 2008)
Dalam hal kesehatan, negara Khilafah juga memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya termasuk kaum perempuan. Diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menghadiahkan dokternya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw., dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan seluruh rakyat, yang bertugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa hadiah semacam itu bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kaum Muslim atau untuk negara.
Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal. Pernah serombongan orang berjumlah 8 orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama Zhi Jadr. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali.
Dalam bidang pendidikan, Daulah Islamiyyah juga memberikan jaminan bagi seluruh warga untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW pernah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar, bahwa para tawanan itu bisa bebas dengan mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis.
Dengan tindakan itu, yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis, berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan setara dengan barang tebusan. Artinya, Rasul memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.
Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, menjelaskan bahwa negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara serta diambil dari kas Baitul Mal.
Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah, Khalifah Umar Ibnu Al Khathab memberi gaji sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).
Al-Badri juga menceritakan bahwa Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam, memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar ibadah dan mu’amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Ia menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:
“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”
Pada masa kekhilafahan Turki Ustmani, dibangun sekolah-sekolah yang untuk laki-laki dan perempuan. Dalam satu daerah kekuasaannya, negara membangun sebuah perguruan tinggi, dua buah sekolah untuk pelajar laki-laki, sebuah sekolah untuk pelajar perempuan dan sebuah sekolah untuk anak-anak. Di semua sekolah tersebut, 450
orang pelajar lelaki dan 300 orang pelajar perempuan mendapat pendidikan yang sama. (Antalya Golden Orange Art & Cultural Foundation, 1997).
Kebijakan yang menjamin terlaksananya pendidikan ini diperuntukan bagi semua warga Negara Khilafah, baik laki-laki, perempuan maupun non muslim. Perempuan dan laki-laki muslim mempunyai kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu. Permasalahan rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan saat ini tentu tidak akan ditemui di masa kekhilafahan.
Sekarang pertanyaanya adalah apakah kita mau hidup dalam naungan khilafah dengan segala kemuliaannya terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan? Atau memilih hidup dalam alam demokrasi dengan segala permasalahannya? Wallahu ‘alam bi ash showab. (*)