Kelompok liberal yang mendewa-dewakan demokrasi dan anti syariah Islam tentu kecewa, melihat fakta negara-negera Eropa yang tingkat pemerkosaannya tinggi. Sesuatu yang seharusnya menjadi tamparan bagi Yeni Wahid—salah satu pentolan kelompok liberal—yang dengan bangga menyatakan angka perkosaan di Saudi lebih tinggi daripada Eropa yang perempuannya banyak pakai bikini.
Padahal menurut data statistik tentang angka Pemerkosaan di 116 negara, 7 dari 10 negara dengan tingkat pemerkosaan tertinggi justru terjadi negara-negara Eropa. Seperti dilansir nationmaster.com, Prancis, Jerman, Rusia, dan Swedia adalah negara Eropa dengan tingkat perkosaan tertinggi di dunia.
Kelompok liberal ini tentu lebih kecewa lagi, ketika melihat realita, banyaknya negara yang mengklaim sebagai negara demokratis yang tingkat kriminalitas seksual juga tinggi. Menurut data United States Department of Justice total korban pemerkosaan atau serangan seksual yang dilaporkan di Amerika pada pada tahun 2005 ada 191.670 orang.
Data pada 1995 dari lembaga perlindungan anak lokal AS mengidentifikasi 126 ribu anak-anak menjadi korban kekerasan seksual baik dapat dibuktikan atau hanya terindikasi. Dari jumlah korban itu, 75 persen adalah anak perempuan. Sekitar 30 persen korban kekerasan seksual itu berusia empat hingga tujuh tahun.
Harian The Guardian (10/1) menambahkan potret rusak negara kampiun demokrasi Inggris. Berdasarkan sebuah studi dilaporkan hampir satu dari lima wanita di Inggris dan Wales menjadi korban serangan seksual sejak berusia 16 tahun. Studi ini juga menunjukkan ada sekitar 473 ribu orang dewasa yang menjadi korban kejahatan seksual setiap tahun, termasuk di dalamnya ada 60 ribu sampai 95 ribu korban perkosaan.
Kondisi yang sama terjadi di negara demokratis lain di luar Amerika dan Eropa, seperti India. Negara ini tergoncang dengan meninggalnya mahasiswi kedokteran India berusia 23 tahun yang menjadi korban dari serangan pemerkosaan brutal (16/12) oleh enam orang laki-laki di dalam bis di New Delhi.
Pemerkosaan di negara demokratis terbesar di dunia ini ini memang mencengangkan, mencapai tingkat epedemik. Menurut Al-Jazeera, seorang perempuan diperkosa setiap 20 menit di India, dan 24.000 kasus perkosaan telah dilaporkan hanya untuk tahun lalu saja. Dilaporkan 80 persen wanita di Delhi telah mengalami pelecehan seksual. Sementara The Times of India melaporkan, perkosaan di India telah meningkat secara mengejutkan sebanyak 792 persen selama 40 tahun terakhir.
Perlu kita catat, angka pemerkosaan yang tinggi justru terjadi di negara-negara demokratis sekuler yang justru tidak menerapkan syariah Islam. Kita tentu saja bukan ingin menyatakan bahwa di negara-negara Arab tidak terjadi pemerkosaan, karena negara-negara Arab juga bukanlah potret negara yang benar-benar menerapkan syariah Islam.
Yang ingin kita soroti adalah kegagalan negara-negara demokratis untuk melindungi wanita dari kejahatan seksual. Nilai-nilai liberal yang mereka agung-agungkan justru menjadi sumber malapetaka. Karena itu penting kita renungi komentar Dr Nazreen Nawaz, anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir tentang kejahatan seksual yang marak di India.
Menurutnya, di saat pemerintah Barat terus mengekspor “demokrasi” pada dunia Islam sebagai sistem terbaik dalam menjamin martabat dan hak-hak perempuan, maka negeri demokratis terbesar di dunia ini justru dengan spektakuler telah gagal dalam melindungi kaum perempuannya.
Kejahatan seksual dengan tingkat yang mengerikan, sikap longgar pihak kepolisian India dalam menjaga martabat perempuan, dan sikap apatis dari pemerintah India dalam menjamin keamanan mereka adalah hasil dari kultur liberal yang secara rutin dan sistematis merendahkan nilai kaum perempuan. Kultur yang dibanggakan oleh negara dan diwujudkan dalam industri hiburan Bollywood.
Nazreen menambahkan, kultur Bollywood ini, bersama dengan industri lain seperti entertainment, periklanan, dan pornografi yang didukung oleh sistem demokrasi sekuler liberal India telah menampilkan kaum perempuan sebagai obyek untuk dimainkan sekadar memuaskan hasrat kaum lelaki, melakukan seksualisasi masyarakat, mendorong individu untuk mengejar keinginan egois jasmaniah mereka, mempromosikan hubungan di luar nikah, memelihara kultur pergaulan bebas dan memurahkan hubungan antara pria dan wanita. Semua ini telah menumpulkan kepekaan terhadap rasa jijik yang seharusnya dirasakan kaum lelaki, saat martabat kaum perempuannya dinodai.
Oleh karena itu, menurutnya, tidak mengherankan India telah mengejar posisi dan status yang sejajar dengan negara-negara liberal lainnya seperti US dan Inggris, yakni berada di antara para pemimpin global kekerasan terhadap perempuan. Sistem demokrasi sekuler liberal ini, di mana setengah penduduknya hidup dalam ketakutan, bukanlah model yang pantas ditiru oleh dunia Muslim.
Islam satu-satunya sistem yang terbukti melindungi kehormatan masyarakat dan kemulian wanita. Masyarakat Islam dibangun atas dasar ketaqwaan yang juga melandasi hubungan pria dan wanita. Bukan hubungan yang mengumbar hawa nafsu dan seksualitas yang justru akan merugikan keduabelah pihak terutama wanita.
Syariah Islam secara komprehensif menjaga kehormatan wanita dengan pakaiannya yang menutup aurat, terpisahnya kehidupan pria dan wanita kecuali ada kebutuhan syar’i yang dibolehkan. Islam hanya melegalkan hubungan seksual pria dan wanita melalui lembaga pernikahan yang mulia dan penuh tanggung jawab. Syariah Islam tentu saja tidak membiarkan segala aktifitas yang melecehkan wanita, tidak membiarkan wanita menjadi obyek seksual seperti industri hiburan penuh syahwat atau bisnis pornografi. Meskipun secara ekonomi mungkin menguntungkan.
Kehormatan wanita pun semakin terjaga dengan keberadaan lembaga pengadilan yang bersikap tegas dan adil berdasarkan syariah Islam untuk menghukum siapapun yang merusak dan melecehkan kehormatan wanita. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah : 50). [] Farid Wadjdi