Setelah revolusi Mesir dan berkuasanya calon dari Ikhwanul Muslimin, kebanyakan orang percaya bahwa masalah-masalah di Jalur Gaza akan berubah, blokade akan pecah, penyeberangan Rafah akan membuka pintunya untuk semua jenis barang, serta angkatan bersenjata Mesir akan mendukung pasukan Hamas di Jalur Gaza untuk menghadapi musuh bersama ( Israel), dan seterusnya.
Namun yang terjadi justru berbalik seratus delapan puluh derajat dari apa yang diperkirakan, blokade di Jalur Gaza masih ada, dan penyeberangan Rafah masih secara khusus mengekspresikan aspek kemanusiaan dan propaganda kebijakan, serta intelijen Mesir yang masih bertanggung jawab untuk itu, bukan pemerintah atau presiden.
Adapun yang baru, yang mengejutkan rakyat Gaza adalah membanjiri terowongan dengan air limbah yang menjijikkan dan membahayakan, dimana hal ini belum pernah dilakukan oleh negara Mesir di era Mubarak, yang dilakukan dengan dalih dan argumentasi palsu dan dusta, yang keluar dari lisan Asisten Presiden Mesir untuk urusan Luar Negeri Isam Haddad, yang mengatakan dengan angkuhnya bahwa “Mesir tidak akan mentolerir dengan aliran senjata selundupan dari dan ke Jalur Gaza.” Ia mengklaim bahwa hal itu “menjadi penyebab ketidakstabilan di Sinai”.
Argumen yang tidak bernilai ini telah menjadi pembenaran bagi institusi kepresidenan di Mesir dalam memutus mata pencaharian dari sekitar satu juta tujuh ratus ribu warga Palestina yang menggantungkan penghidupan mereka dari jaringan terowongan itu, dan dengannya pemerintah Mesir menambahkan blokade baru atas blokade (Israel), karena menghalangi sekitar 30% barang yang sampai ke Jalur Gaza melalui terowongan itu.
Haddad mengklaim bahwa hal itu tidak akan mempengaruhi rakyat Gaza karena “Cengkeraman Israel di Jalur Gaza berkurang secara signifikan setelah kesepakatan yang ditengahi oleh Mesir, dan mengakhiri pertempuran antara Israel dan Hamas pada bulan November.”
Ia menganggap agresi (Israel) atas Gaza sebagai pertempuran antara kedua pihak, sehingga ia mengembalikan kepada (Israel) tanggung jawab untuk menyediakan sektor bahan yang diperlukan kehidupan.
Namun, alasan sebenarnya terkait sikap Mesir melalui pemerintah Mursi ini adalah berbeda dari apa yang diklaim oleh Asisten Presiden Mursi, yaitu apa yang telah dijelaskan sebelumnya dengan mengatakan: “Mursi akan menghormati dengan sungguh-sungguh perjanjian damai dengan Israel, dan kerjasama setiap hari dengan Israel seperti biasanya, meskipun kurangnya komunikasi di tingkat presiden.”
Inilah sebabnya. Jadi, di balik tindakan membanjiri terowongan dengan air limbah adalah bentuk penghormatan Mursi yang sungguh-sungguh pada perjanjian perdamaian dengan Israel!!.
Sementara kunjungan delegasi keamanan Israel yang berturut-turut ke Kairo, melintasnya kapal perang (Israel) di Terusan Suez, yang salah satunya dan pertama kalinya mengangkat bendera (Israel), semua ini tidak lain menegaskan hubungan Mesir dan (Israel) yang sangat baik, yang merupakan perpanjangan dari hubungan serupa di era Mubarak.
Haddad telah mengungkapkan fakta ini dengan fasih bahwa “Prioritas keamanan pertama pemerintahan Mursi sekarang adalah memperkuat perbatasan kami di wilayah barat.” Dalam hal ini ia berdalih dengan adanya penyelundupan rudal anti-pesawat dan senjata anti-tank ke Mesir, katanya.
Sungguh, bahasa keamanan beraroma kebencian yang diucapkan oleh lembaga kepresidenan, dimana Muhammad Mursi sebagai presidennya, telah mengembalikan pikiran pada apa yang pernah lakukan oleh lembaga yang sama di era presiden yang digulingkan, Mubarak (kantor berita HT, 25/2/2013)