Jakarta – Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Farid Wadjdi, dalam acara bedah Tabloid Media Umat di Islamic Book Fair 2013 mengatakan bahwa, telah terjadi kerjasama dalam kemaksiatan khususnya masalah korupsi antara para pemilik modal dan pemangku kekuasaan, inilah yang disebut lingkaran setan demokrasi alias money to politics, politics to money.
“Telah terjadi simbiosis mutualisme antara penguasa dengan pengusaha, pengusaha memerlukan proyek dari penguasa untuk bisnisnya, penguasa memerlukan dana pengusaha untuk meraih atau mempertahankan kekuasaannya,” ungkapnya di Ruang Anggrek IBF 2013, Istora Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Ahad (10/3).
Demokrasi ini, lanjutnya, kemudian menghasilkan individu-individu yang rakus, atau individu yang rakus ini masuk ke dalam demokrasi untuk menyalurkan kerakusannya. “Hampir semua partai politik, anggotanya telah menjadi terdakwa atau terbukti korupsi,” ujar pemimpin redaksi Media Umat ini.
Menurutnya, omomg kosong kalau pemerintahan demokrasi itu bersih dari korupsi, Amerika saja yang terlihat sistem dalamnya anti korupsi namun di luar negerinya bekerjasama dengan rezim-rezim koruptor. Singapura juga terlihat anti korupsi namun menampung dan melindungi koruptor-koruptor dari Indonesia.
Farid pun menegaskan bahwa, korupsi ini bukan perkara kasuistik, ini merupakan perkara sistemik. “Karena kalau yang korupsi hanya beberapa orang maka bisa dikatakan ini masalah person, sementara ini dilakukan oleh sangat banyak dan bahkan terus meningkat,” terangnya.
Dalam demokrasi, masih menurut Farid, uang itu menjadi panglima. “Dimana pun, dalam sistem demokrasi apapun,” tegasnya.
Senada dengan Farid, Dai yang juga mantan artis, Hary Moekti, dalam menanggapi pertanyaan seputar golput mengatakan bahwa kita bukan golput. “Kita ini ingin memperjuangkan syariat Islam, maka wajib memilih partai yang memperjuangkan dan menerapkan syariat Islam, tapi di Indonesia ini tidak ada,” jelasnya.
Sementara itu, perwakilan dari ICW, Ade Irawan, mengatakan, semua orang mau berkuasa atau memperluas kekuasaannya.“Kecenderungannya orang makin permisif terhadap korupsi, kalau dulu orang korupsi di bawah meja, sekarang malah meja-mejanya sekalian dikorupsi,” ungkapnya.
Fenomena di daerah-daerah, sambungnya, koruptor yang biasa berbagi itu tidak dilihat lagi sebagai orang yang buruk. “Koruptor yang memberikan sumbangan justru dianggap orang baik dan tidak ada sanksi sosial,” tuturnya.
Bahkan, masih menurut Ade, selain serangan fajar, ada juga (istilah) serangan dhuha, selain itu dana-dana hasil korupsi yang disumbangkan masih juga dipotong atau di korupsi. “Istilahnya uang setan di mata jurig,” pungkasnya.[] (Mediaumat.com 10/3/2013)