Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus beraksi dalam beberapa bulan terakhir di Papua. Aparat keamanan dan kepolisian jadi sasaran, termasuk warga sipil. Sudah banyak korban yang tewas karenanya, termasuk tentara dan polisi. Tapi sikap aparat keamanan sepertinya biasa-biasa saja. Tidak ada Densus 88 yang diturunkan untuk mengejar orang-orang yang jelas-jelas menebar teror tersebut. Apakah karena OPM ini diback-up asing, ataukah karena mereka Kristen? Mengapa mereka tak pernah disebut teroris? Wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo membincangkannya dengan Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI M Rahmat Kurnia. Berikut petikannya.
Telah terjadi penembakan terhadap delapan TNI dan empat warga oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?
Kejadian ini menunjukkan bahwa OPM semakin berani melakukan tindak kekerasan, bukan hanya terhadap tentara melainkan juga terhadap warga. Sudah terjadi tindakan teror di sana. Apalagi, aksi teror tersebut jelas-jelas ditujukan untuk separatisme, memisahkan Papua dari negeri Muslim Indonesia. Pengibaran bendera bintang Kejora yang mencerminkan separatisme terus terjadi.
Tindakan teror ini terus berlangsung dari tahun ke tahun. Sayangnya, pemerintah seakan gagap dan gagu menghadapi persoalan ini.
Apakah Anda melihat adanya standar ganda pemerintah dalam penanganan antara orang Islam yang diduga teroris dengan OPM?
Ya. Jelas sekali.
Indikasinya?
Coba lihat, ketika terjadi peristiwa tindak kekerasan terhadap kepolisian di Cirebon, langsung saja diumumkan bahwa pelakunya adalah teroris. Padahal, penyelidikan belum dilakukan dan pengakuan dari pihak pelaku pun tidak ada. Respon sangat cepat.
Berbeda dengan itu, penembakan terhadap 8 TNI dan 4 warga di Papua langsung diakui oleh OPM bahwa merekalah yang bertanggung jawab terhadap penembakan tersebut. Namun, sekali pun demikian, pemerintah tidak mencapnya sebagai teroris. Menkopolhukam hanya menyebutnya sebagai ‘sabotase berbahaya’.
Bahkan, Kepala BIN justru menyerukan dialog dengan mereka. Saya percaya, andai saja hal serupa dilakukan oleh orang Islam tentu tuduhan teroris itu akan serta merta diserukan.
Bukti lainnya?
Ketika ada tindak kekerasan yang dilakukan orang Islam, langsung saja diterjunkan Densus 88. Tapi, mengapa tindak kekerasan yang dilakukan OPM di Papua tidak ditangani oleh Densus 88? Kejadian di Bima baru-baru ini, langsung dituduh dilakukan oleh terduga teroris. Enam orang langsung dibunuh. Bahkan, satu orang yang Densus 88 sendiri tidak mengetahui identitasnya mereka bunuh pula.
Sementara, penembakan di Papua yang benar-benar pelakunya sudah jelas justru dibiarkan saja. Ketika ada kelompok Islam yang menyerukan syariah dan pemerintahan Islam dituduh teroris yang membahayakan NKRI, tapi OPM yang jelas-jelas menggunakan senjata untuk mendirikan negara sendiri mengapa tidak disebut teroris?
Mengapa mereka tidak disebut membahayakan NKRI? Mengapa pula tokoh dan organisasi yang selama ini berteriak ‘NKRI final’ tapi diam seribu bahasa menghadapi tindak kekerasan dan separatisme OPM di Papua?
Mengapa OPM tidak dicap teroris oleh pemerintah?
Hal ini terjadi karena pemerintah menari di atas genderang negara kafir penjajah pimpinan AS. Amerika telah mendefinisikan dengan jelas apa itu teroris sebagaimana ungkapan Bush: ‘Either you are with us or with terrorists’. Jadi, OPM tidak dicap teroris karena tindakan OPM sesuai dengan kepentingan AS. Pemerintah pun menjadi lembek.
Tapi Presiden SBY pada Juni 2012 pernah mengatakan masalah Papua harus dituntaskan. Tidak boleh ada satu orang pun korban jiwa dan tidak bisa dibiarkan harus dilakukan dan diberikan sanksi siapa yang melakukan kekerasan. Hukum harus ditegakkan, …
Tapi ucapan itu tak ada buktinya.
Mengapa bisa muncul OPM yang kerap menebar teror?
Ada beberapa penyebabnya. Pertama, sebagaimana daerah lain, pemerintah belum berhasil menyejahterakan rakyat Papua. Tingkat kemiskinan di daerah Papua sampai akhir tahun 2012 sebesar 31,11 persen. Pemerintah menyerahkan kekayaan alam Papua kepada AS melalui Freeport sementara kemiskinan di Papua tetap menganga.
Kedua, OPM didukung oleh LSM asing dan lokal. Mereka selalu mengangkat persoalan Papua dan menyudutkan pemerintah dengan isu pelanggaran HAM. Dalam kasus penembakan anggota TNI dan warga pun, mereka membela OPM.
Ketiga, lembaga internasional mendukung mereka baik dana maupun kebijakan. Kita masih ingat, pada tahun 2012 Amnesti Internasional menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat untuk sekelompok aktivis OPM, memprotes ketidakadilan dan pelanggaran HAM, mendesak pemerintah Indonesia mencabut peraturan pemerintah No 77/2007 melarang logo atau bendera daerah, digunakan organisasi separatis.
Keempat, beberapa anggota Senat AS secara terbuka mendukung separatisme Papua yang dilakukan OPM. Di London ada organisasi mendukung OPM.
Itu semua membuat OPM ngelunjak?
Jadi, OPM merasa mendapatkan dukungan dari LSM komprador di dalam negeri dan negara besar di luar negeri. Pada sisi lain, terkesan ada tindakan pembiaran oleh pemerintah. Tidak mengherankan OPM makin berani.
Bagaimana peran gereja dan Pastur dalam upaya disintegrasi Papua dari Indonesia?
Saya percaya ungkapan Fadzlan Garamatan, seorang tokoh muda Papua. Beliau menyampaikan (22/02/2013): “Bukan rahasia lagi, kelompok misionaris telah membantu teroris (OPM) di pedalaman Papua. Mereka masuk dengan dalih menyebarkan agama Nasrani, tetapi sesungguhnya membawa kepentingan asing”.
Pada awal Maret 2012, Pendeta Dr. SAE. Nababan yang menyebut diri sebagai Presiden Dewan Gereja se-Dunia (DGD), mengatakan DGD sejak awal terus mengikuti perkembangan di tanah Papua, dan Komite Eksekutif DGD telah mengeluarkan statemen tentang masalah Papua untuk diangkat dalam agenda internasional.
Kita juga ingat, sebuah dokumen rahasia yang dibuat Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat bocor ke media Australia dan dimuat di kelompok surat kabar Fairfax (13/8/2011).
Dalam dokumen yang berjudul “Anatomi Separatisme Papua” itu menyebut dengan detail tokoh-tokoh kunci gerakan separatis tersebut dan berbagai tokoh dari luar negeri yang menjadi simpatisan gerakan Papua merdeka ini.
Di antaranya adalah Senator AS dari Partai Demokrat, Dianne Feinstein; anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh, Andrew Smith; mantan Perdana Menteri Papua Nugini, Michael Somare; Uskup Agung Desmond Tutu.
Solusi apa yang Anda tawarkan terkait masalah ini?
Pertama, lakukan pendekatan kesejahteraan. Rakyat Papua perlu disejahterakan. Kekayaan Papua harusnya dapat dinikmati oleh mereka. Faktanya, sekarang dinikmati oleh AS.
Kedua, lakukan penyadaran pada masyarakat Papua bahwa pemisahan diri (disintegrasi) bukanlah solusi. Sebab, ketika pemisahan diri terjadi maka AS akan tetap mencengkeram Papua dan rakyat di sana pun tetap akan miskin. Ingatlah, AS itu penjajah. Itulah yang terjadi di Timor Timur.
Ketiga, tindak keras gerakan OPM.
Keempat, ubah negara menjadi negara yang tidak menjadi tangan kanan asing; negara yang menjaga kesatuan, persatuan, dan menjamin kesejahteraan. Itulah khilafah. Jadi, khilafah akan menjadi solusi bagi Papua. (mediaumat.com, 13/3)
OPM dibackup teroris Amerika. Lha gimana, wong “RI 1” nya aja pecinta negara Teroris Amerika, dengan segala kesalahannya ??