Oleh: Rokhmat S.Labib, M.E.I.
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya (TQS al-Furqan [25]: 70-71)
Ayat-ayat ini masih dalam rangkaian penjelasan tentang potret ‘ibâd al-Rahmân. Jika dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang perbuatan terlarang yang ditinggalkan oleh para hamba Yang Maha Penyayang beserta ancaman bagi siapa pun yang melanggarnya, maka dalam ayat ini dijelaskan tentang masih adanya masih terbukanya ampunan bagi orang-orang yang bertaubat.
Pintu Ampunan bagi yang Bertaubat
Allah Swt berfirman: Illâ man tâba wa âmana wa ‘amila shâlih[an] (kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih). Ayat ini diawali dengan huruf illâ. Huruf tersebut memberikan makna istitsnâ` (pengecualian), yakni mengecualikan kalimat sebelumnya dengan ayat sesudahnya. Dalam ayat sebelumnya disebutkan tentang ancaman siksa keras lagi menghinakan bagi orang-orang yang melanggar perbuatan terlarang, yakni: menyembah selain-Nya, membunuh jiwa yang diharamkan, dan berzina. Kemudian dalam ayat ini disebutkan orang yang diperkecualikan dari ancaman siksa tersebut. Mereka yang diperkecualikan itu adalah orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih.
Dijelaskan al-Asfahani, kata al-tawb berarti meninggalkan dosa pada sebaik-baiknya bentuk. Secara syar’i, kata tersebut mengandung empat perkara, yakni: meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali kelalaian yang telah dilakukan, bertekad untuk tidak mengulangi dosa lagi, dan memperbaiki dengan amal. Ketika terkumpul empat perkara ini, telah sempurna syarat-syarat taubah.
Sedangkan: wa âmana (dan beriman). Artinya, dia membenarkan semua yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Adapun: wa ‘amila shâlih[an] (dan mengerjakan amal shalih) mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang Allah SWT. Demikian Ibnu Jarir dalam tafsirnya.
Mengenai pentingnya keberadaan amal shalih dalam bertaubat juga disebutkan dalam beberapa ayat, seperti firman Allah SWT: tersebut di samping berguna mendatangkan pahala juga dapat menghapus kesalahan. Rasulullah SAW bersabda: Dan ikutilah keburukan dengan kebaikan yang menghapusnya (keburukan) (HR al-Tirmidzi dan Ahmad).
Dengan demikian, ayat ini menerangkan bahwa mereka yang telah telanjur mengerjakan tiga perbuatan terlarang di atas, selama mau bertaubat di dunia, maka pintu ampunan terhadap mereka masih terbuka. Syaratnya dia mau bertaubat, beriman, dan beramal shalih.
Dijelaskan al-Qurthubi, tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa istitsnâ` (pengecualian) ini berguna bagi orang kafir dan pelaku perzinaan. Mereka berbeda pendapat mengenai pelaku pembunuhan. Perbedaan tersebut disebabkan adanya ancaman bagi pelaku pembunuhan secara sengaja terhadap Muslim. Dalam QS al-Nisa [4]: 93 disebutkan, balasan bagi mereka adalah neraka Jahannan, kekal di dalamnya, mendapat murka dan laknat-Nya, dan disediakan azab yang besar.
Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini terdapat penunjukan yang jelas tentang absahnya taubat bagi pembunuh. Tidak ada pertentangan ayat ini dengan QS al-Nisa’ [4]: 93 tersebut. Alasannya, sekalipun ayat tersebut Madaniyyah, namun bersifat mutlak, sehingga digunakan untuk dalil bagi orang yang belum bertaubat. Sebab, ayat tersebut muqayyadah (terikat) dengan taubat. Allah SWT juga berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (TQS al-Nisa [4]: 48). Di samping itu, juga terdapat beberapa hadits yanng shahih mengenai absahnya taubat bagi pelaku pembunuh, seperti hadits yang mengisahkan seseorang yang telah membunuh 100 orang, kemudian dia bertaubat, lalu taubatnya diterima Allah SWT. Dan hadit-hadits lainnya.
Mengenai terbukanya pintu ampunan bagi orang-orang yang masih hidup dan mau bertaubat juga disebutkan dalam firman-Nya: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya” (TQS al-Zumar [39]: 53). Juga firman-Nya: Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) (QS al-Zumar [39]: 54). Ayat ini jelas menunjukkan terbukanya pintu taubat bagi orang kafir yang mau beriman dan masuk Islam. Jika tidak demikian, tentu mereka tidak akan diseru demikian.
Keburukan Diganti Kebajikan
Kemudian Allah SWT berfirman: Fa ulâika yubaddilul-Lâh sayy`iâtihim hasanât (maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan). Kata menunjuk kepada mereka yang memenuhi tiga sifat yang dijelaskan sebelumnya, yakni: bertaubat, beriman, dan berama shalih. Keburukan mereka akan diganti Allah SWT dengan kebajikan.
Ada beberapa penjelasan mengenai maksud digantikannya sayy`iât mereka dengan hasanât. Menurut al-Syaukani, pengertiannya adalah Allah SWT menghapus dari mereka kemaksiatan dan mengokohkan untuk mereka ketaatan. Al-Hasan, sebagaimana dikutip al-Syaukani, mengatakan bahwa Allah SWT menukar keimanan bagi mereka sebagai ganti kemusyrikan, terbebas dari keraguan, dan terjaga dari kefasikan. Dikatakan juga oleh al-Alusi, bahwa Allah menghapus kemaksiatan mereka sebelumnya dengan taubat dan mengokohkan kedudukan taubatnya dengan ketaatan mereka berikutnya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wakânal-Lâh Ghafûr[an] Rahîm[an] (dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Frasa ini memberikan penegasan masih terbukanya pintu ampunan bagi orang yang bertaubat. Diterangkan al-Jazairi, Ghafûr berarti yang memiliki maghfirah (ampunan) bagi hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Rahîm berarti yang memiliki rahmah (kasih sayang) kepada mereka. Sehingga Dia tidak mengazab mereka karena taubat mereka.
Taubat yang Sungguh-sungguh
Kemudian dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Wa man tâba wa ‘amila shâlih[an] (dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih). Pengertian tâba dalam ayat ini tidak berbeda dengan ayat sebelumnya. Demikian pula dengan dan ‘amila shâlih[an]. Sehingga ayat ini menunjuk kepada siapa saja yang telah berhenti dari kekufuran dan kemaksiatan, menyesali pelanggarannnya itu, dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa lagi, serta mengerjakan amal shalih dan ketaatan.
Terhadap orang-orang yang melakukan demikian, maka mereka dinyatakan: Fa innahu yatûbu ilal-Lâh matâb[an] (maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya). Kata yatûbu merupakan bentuk al-fi’l al-mudhâri’ dari kata tâba. Demikian juga kata matâb[an], merupakan bentuk mashdar dari kata tâba. Dalam konteks kalimat ayat ini, kata tersebut memberikan makna ta`kîd (menguatkan). Sehingga ayat ini memberikan penegasan bahwa siapa pun yang bertaubat dan beramal shalih, maka mereka sesungguhnya telah bertaubat dengan sebenar-benar-Nya. Dijelaskan al-Qurthubi, sesungguhnya dia telah bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka Allah pun menerima taubatnya dengan sebenar-benarnya.
Bertolak dari ayat ini, maka semua pelaku pelanggaran, baik dalam perkara akidah maupun syariah, tidak boleh berputus asa terhadap ampunan Allah SWT. Mereka masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Sebagaimana ditegaskan ayat ini, taubat itu harus diiringi dengan keimanan dan amal shalih. Inilah solusi satu-satunya bagi orang ingin mendapat ampunan-Nya. Bahkan menjadi orang yang dicintai-Nya sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri (TQS al-Baqarah [2]: 222). Maka bersegeralah bertaubat selagi pintu taubat masih terbuka. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Iktisar:
- Solusi satu-satunya bagi pelaku pelanggaran akidah dan syariah adalah bertaubat, yang diiringi dengan keimanan dan amal shalih
- Syarat bertaubat adalah dengan: (1) berhenti dari maksiat, (2) menyesali pelanggarannya, (3) bertekad untuk tidak mengulangi dosa lagi, (4) dan memperbaiki dengan amal shalih.