Dalam hitungan hari aktifitas dakwah kaum muslimin di tanah air akan terancam bahkan mungkin akan dibubarkan. Sebabnya pemerintah dan DPR RI akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa (RUU ORMAS) yang berpotensi merugikan umat Islam. Dengan RUU ini pemerintah mendapat pengesahan untuk bertindak represif terhadap ormas yang dinilai ‘membandel’. Karenanya RUU ORMAS membuka peluang munculnya rezim represif Orba jilid II yang telah banyak menelan korban dan menciptakan trauma dalam benak umat Islam.
Ketua Pansus RUU ORMAS, Abdul Malik Haramain dari PPP berusaha menenangkan umat dengan menjamin bahwa RUU ini tidak akan represif. “RUU ini jelas bertujuan agar bisa efektif mengatur ormas tanpa unsur represif yang membatasi kebebasan masyarakat Indonesia untuk berorganisasi.”(jurnalparlemen.com, 23/3).
Sementara itu Kemendagri melalui Dirjen Kesbangpol, Tanribali Lamo mengklaim telah mendapat dukungan dari 13 organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI). “Mereka memberi dukungan penuh terhadap proses pembahasan RUU Ormas untuk segera disahkan,” katanya. Ormas-ormas itu yakni Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Islmiyah, Arrobithoh Al-Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Mathlaul Anwar, Attihadiyah, Azikra, Al-Wasliyah, IKADI, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Dewan Dawah Islamiyah (republika.co.id, 22/3).
Akan tetapi selang beberapa hari kemudian Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia melalui Ketua Umumnya Syuhada Bahri membantah telah mendukung RUU ORMAS dan punya andil dalam LOPI. Hal senada juga dilontarkan pimpinan Majilis Az- Zikra Arifin Ilham. Beliau membantah pernyataan Dirjen Kesbangpol, bahwa majlis-nya mendukung RUU ORMAS. Bahkan ia mengatakan, “Saya berkali-kali mengatakan bahwa Syariat Islam adalah harga mati!”(salam-online.com, 25/3).
Selain ormas Islam, sejumlah ormas dan elemen masyarakat juga merasa RUU ini mengancam ruang gerak mereka. Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAK), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), IMPARSIAL dan beberapa LSM lainnya juga menghadap DPR untuk mengajukan ketidaksetujuan mereka (detik.com, 19/2).
Membungkam & Represif
RUU ORMAS yang tengah menunggu pengesahannya memuat sejumlah pasal yang berpotensi melahirkan kembali rezim represif ala Orba dan membungkam sikap kritis terhadap pemerintah. Hal ini terlihat dari 4 hal; Pertama, RUU tersebut memaksa setiap ormas menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, barulah setelah itu boleh mencantumkan asas sesuai organisasi masing-masing. Hal ini tercantum dalam pasal 2 dinyatakan: “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”
Isi pasal ini amat mengherankan karena sejak era reformasi pemaksaan setiap ormas untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas yang ditetapkan oleh TAP MPR no. II/1978 telah dibatalkan oleh TAP MPR no. XVIII/1998, karena terbukti telah memunculkan tindakan kekerasan oleh negara terhadap rakyat dan berbagai macam ormas.
Umat Islam mungkin tidak lupa betapa pemaksaan asas tunggal kepada umat Islam telah melahirkan hubungan penuh ketegangan dan konflik panjang antara umat Islam dengan pemerintah. Sejumlah ormas Islam dinyatakan terlarang lalu banyak tokoh-tokoh umat yang dipenjarakan karena dianggap membahayakan rezim Orba pimpinan Soeharto.
Dengan aturan ini pula maka ormas sesat seperti Ahmadiyah tetap boleh berdiri selama mereka mengakui Pancasila sebagai asas kelompoknya. Padahal mereka adalah aliran sesat menurut al-Quran dan as-Sunnah, dan dinyatakan kafir oleh semua ulama. Bisa dikatakan RUU ORMAS ini melindungi dan menjaga eksistensi kelompok-kelompok sesat seperti Ahmadiyah dan yang lainnya.
Sebaliknya bila ada ormas yang ingin membubarkan Ahmadiyah justru akan ditindak dan bisa dibubarkan karena telah bertentangan dengan prinsip RUU ORMAS, yakni demokrasi pancasila.
Kedua, RUU ORMAS ini melarang semua organisasi massa termasuk ormas Islam berkiprah dalam bidang politik. Dalam pasal 7 dicantumkan pembatasan kegiatan ormas yakni tidak boleh beraktifitas politik. Ormas hanya boleh beraktifitas pada bidang hukum, pemberdayaan perempuan, lingkungan, demokrasi Pancasila, dsb. Artinya RUU ini berusaha menghilangkan sikap kritis masyarakat yang tergabung dalam ormas. Sehingga ormas tidak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah yang bobrok dan merugikan rakyat seperti penjualan sumber daya alam ke pihak asing, korupsi, menaikkan harga BBM dan TDL, dsb., baik secara tulisan maupun melalui aksi-aksi demo.
Ketiga, RUU ini terlihat betul muatan represifnya dengan dicantumkannya pasal 58 dan 61 dimana semua ormas harus berada dalam pengawasan dan evaluasi Kesbangpol Kemendagri. Bila ada ormas yang melanggar maka ormas tersebut dapat ditindak dan dibubarkan tanpa perlu melalui pengadilan.
Keempat, sifat represif dari RUU ini juga terlihat dari keharusan adanya SKT atau Surat Kegiatan Terdaftar bagi setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh ormas yang tidak berbadan hukum. Tanpa SKT maka kegiatan itu menjadi terlarang. Sehingga aktifitas apapun, dan betapa pun sedikit jumlah pesertanya seperti majlis zikir, majlis taklim, kajian Islam, atau bahkan kumpul paguyuban dan kelompok hobi harus memiliki SKT. Tanpanya maka kegiatan itu sah untuk dibubarkan atau tidak diizinkan.
Semakin jelas arah dari RUU ini yakni DPR dan pemerintah merasa ‘gerah’ terus menerus mendapat tekanan dan pengawasan dari berbagai macam ormas, sehingga melalui RUU ini mereka dapat membalas dendam dan membungkam sikap kritis tersebut.
Bila RUU ini jadi diberlakukan bukan saja ormas Islam yang akan terkena dampaknya, akan tetapi semua ormas, LSM, yayasan, ormas buruh yang kerap bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dalam persoalan politik akan turut dibubarkan juga. Bila ormas-ormas ini dibungkam, maka siapa yang akan bersikap kritis terhadap sikap dan kebijakan pemerintah dan DPR yang sudah sering merugikan rakyat? Sudah dikritisi saja pemerintah dan anggota dewan masih juga tidak berhenti melahirkan keputusan atau perundang-undangan yang bertentangan dengan keinginan publik. Bisa dibayangkan bila RUU ini jadi digolkan maka penguasa dan wakil rakyat akan semakin sewenang-wenang.
Yang akan terancam dengan RUU ini bukan saja ormas Islam atau LSM, akan tetapi semua perhimpunan, paguyuban, bahkan perkumpulan hobi juga termasuk yang disasar oleh RUU tersebut. RUU ini benar-benar melakukan gebyah uyah atau pukul rata untuk semua perkumpulan. Sehingga siapapun bisa terimbas.
Mengkhianati Sejarah
Kemunculan RUU ORMAS ini jelas sebuah pengkhianatan terhadap sejarah perjuangan umat Islam di alam Orde Baru. Kala itu setiap ormas Islam dan tokohnya yang vokal terhadap kebijakan lalim rezim Orba seperti pembiaran kristenisasi, keberpihakan pada konglomerat hitam, korupsi, atau menyuarakan syariat Islam diberikan label ‘ekstrim kanan’. Kegiatan mereka dibekukan bahkan harus menerima resiko keluar masuk bui. Sejumlah ormas Islam pun harus mengalami nasib pahit dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan aktifitas mereka dibekukan. Acapkali mereka kucing-kucingan dengan aparat dalam melakukan aktifitas dakwah di masyarakat atau di kampus.
Para pembuat RUU ini juga seperti tidak tahu atau amnesia terhadap berbagai tragedi umat yang berdarah-darah seperti peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dll. Pada waktu itu korban berjatuhan karena keberanian dan sikap kritis mereka terhadap kezaliman rezim Orba. Sampai sekarang pun keluarga korban dan masyarakat sekitar masih belum lupa dengan anggota keluarga dan tetangga mereka yang hilang dalam berbagai tragedi berdarah tersebut.
Demikian pula sejumlah tokoh nasional yang pernah bersikap kritis terhadap rezim Orba pun harus mengalami nasib pencekalan atau masuk ke dalam penjara. Para aktivis politik yang terlibat dalam aksi kritis terhadap penguasa Orba seperti Peristiwa Malari pada tahun 1974 atau Petisi 50, mungkin tidak akan lupa dengan tindakan represif yang mereka terima dari pemerintahan Soeharto. Mereka dicekal dan dibatasi ruang geraknya, bahkan harus masuk penjara.
Namun demikian reformasi yang baru berjalan 15 tahun sudah harus dihabisi oleh penguasa dan para wakil rakyat. Padahal reformasi yang berjalan belumlah menghasilkan kesejahteraan dan keamanan bagi rakyat. Kita tidak heran karena banyak elit pemerintah ataupun anggota legislatif adalah muka lama yang juga mendapat berbagai fasilitas nikmat di rezim represif era Orba, atau mereka yang tidak pernah mengalami pahit getirnya sejarah umat Islam yang meninggalkan luka dalam dan trauma berkepanjangan. Sehingga mereka tidak merasa bersalah bahkan ingin mengembalikan lagi negeri ini ke dalam era represif.
Wahai Kaum Muslimin!
Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan kalian jaminan keamanan dan keselamatan hidup melainkan bila kalian melaksanakan hukum-hukum Allah di bawah naungan Khilafah. Terbukti para pemimpin kalian hari ini adalah para mulk jibayah (penguasa yang kejam) yang mereka bukan saja mengabaikan syariat Islam, tapi juga tidak mau diingatkan atas setiap kesalahannya.
Kita juga wajib mengingatkan orang-orang yang menyusun dan mengesahkan RUU ORMAS agar membatalkan perbuatannya, karena sebenarnya tertipu dengan amal mereka sendiri. Dimana mereka menyangka melakukan sebaik-baiknya amal, padahal tengah tersesat dari jalan Allah. FirmanNya:
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”(QS. al-Kahfi: 103-104)
Bila RUU ORMAS ini ditujukan untuk menghentikan amal dakwah yang agung, untuk menegakkan kalimatullah, hingga tegaknya syariat Islam di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, maka sebenarnya usaha itu akan sia-sia. Karena Allah SWT. telah berjanji akan tetap menyempurnakan cahaya (dien)-Nya, sekalipun orang-orang kafir membencinya.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.”(QS. ash-Shaf: 8).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [ Iwan Januar – LS DPP HTI]