Balasan Kebaikan dan Keburukan

(Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-37)

إِنَّ الله كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا الله لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةَ كَامِلَةَ، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَة، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا الله لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةَ كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بَها فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا الله لَه سَيِّئَةً وَاحِدَةً

Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Lalu Allah menjelaskannya. Siapa saja yang yang bermaksud mengerjakan kebaikan dan tidak dia kerjakan, Allah mencatat di sisi-Nya untuk orang itu satu kebaikan yang sempurna.  Jika dia bermaksud mengerjakan kebaikan dan dia kerjakan, Allah mencatat di sisi-Nya untuk orang itu sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan hingga kelipatan yang sangat banyak.  Sebaliknya siapa saja yang bermaksud mengerjakan keburukan dan tidak dia kerjakan, Allah mencatatkan di sisi-Nya untuk orang itu satu kebaikan yang sempurna.  Jika dia bermaksud mengerjakan keburukan dan dia kerjakan Allah mencatatkan untuk dia satu keburukan (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad).

Sabda Rasul saw.: “InnalLâh kataba al-hasanâti wa as-sayyi’ât. Kata al-hasanât dan as-sayyi’ât menggunakan alil lam ma’rifat sehingga bermakna umum mencakup semua kebaikan dan semua keburukan. Ini menegaskan, semua kebaikan dan keburukan akan dicatat, tidak ada yang luput sedikitpun.

Sabda Rasul, faman hamma bi hasanat[in]…yang dimaksud hamma itu adalah maksud kuat untuk melakukan, tekad dan komitmen, bukan sekadar keinginan atau pikiran yang berkelebatan di dalam benak.  Hal itu dijelaskan dalam sabda beliau saw.:

وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَعَلِمَ الله أَنَّهُ قَدْ أَشْعَرَهَا قَلْبَهُ وَحَرَصَ عَلَيْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً

Siapa yang ingin melakukan kebaikan dan tidak ia lakukan maka Allah mengetahui bahwa ia telah membisikkan hatinya dan berkomitmen atasnya maka dituliskan untuknya satu kebaikan… (HR Ahmad)

Dalam hadis ini Rasul menjelaskan bagaimana bagaimana Allah SWT memperlakukan kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh hamba. Ada empat kondisi terkait hal itu. Pertama: orang yang bermaksud melakukan kebaikan tetapi tidak dia kerjakan. Untuk dia dituliskan satu kebaikan yang sempurna.  Kata kâmilah (sempurna) itu merupakan penegasan atas perhatian Allah atas dirinya sehingga dicatat sebagai satu kebaikan penuh tidak kurang sedikitpun.

Kedua: orang yang bertekad melakukan kebaikan lalu betul-betul ia lakukan, bagi dia dituliskan kebaikan 10 kali lipat sampai 700 kali lipat, dan untuk orang yang dikehendaki Allah akan dilipatgandakan lebih dari itu.  Balasan 10 kebaikan untuk setiap kebaikan yang dilakukan merupakan keniscayaan (Lihat: QS al-An’am [6]: 160).

Kebaikan itu juga bisa mendapat ganjaran lebih dari 10 kali lipat hingga 700 kali lipat (QS al-Baqarah [2]: 261).  Bahkan untuk orang yang dikehendaki, Allah akan melipatgandakan ganjaran kebaikan lebih dari 700 kali lipat, seperti yang dinyatakan dalam hadis di atas, sampai kelipatan yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 245, az-Zumar [39]: 10 dan an-Nisa’ [4]: 40). Pelipatgandaan ganjaran kebaikan lebih dari 10 kali lipat hingga tak terhitung itu bergantung pada sempurnanya keikhlasan ketika melakukannya, tingkat kebaikan keislaman orang yang melakukannya seperti yang dinyatakan dalam riwayat Abu Hurairah, kesempurnaan pelaksanaannya, sejauh mana keutamaan kebaikan itu dalam hati pelakunya, seberapa besar pengorbanannya dan sejauh mana keperluan terhadap kebaikan itu.

Ketiga: orang yang bertekad melakukan keburukan tetapi tidak ia lakukan, bagi dia dituliskan satu kebaikan yang sempurna.  Syaratnya, ia tidak jadi melakukan keburukan itu karena Allah SWT. Rasul bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئةً، فَلاَ تَكْتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا، فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِيْ، فَاكْتُبُوْهَا لَه حَسَنَةً

Allah berfirman, “Jika hamba-Ku ingin melakukan keburukan, maka jangan kalian catat hingga ia melakukannya. Jika ia melakukannya maka catatlah satu semisalnya. Jika ia meninggalkannya karena-Ku maka catatlah untuk dia satu kebaikan (HR al-Bukhari).

Adapun jika orang itu tidak jadi melakukan keburukan karena takut kepada orang, atau karena riya maka ia akan tetap dikenai sanksi.  Sebab, ia mengedepankan takut kepada makhluk daripada takut kepada Allah. Itu adalah haram.  Begitu juga riya adalah haram.

Jika ia tidak melakukannya karena terlewat, tidak sempat, malas atau kesempatannya berlalu, sementara ia tidak pernah mengubah keinginan atau azamnya, ia tetap dihukum.  Begitu pula jika orang tidak melakukan keburukan itu tetapi ia membicarakan keinginannya itu, ia akan dihukum.  Rasul bersabda saw.:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَكَلَّمْ بِهِ أَوْ تَعْمَلْبِهِ

Sesungguhnya Allah mengabaikan (tidak menghukum) umatku karena apa yang diniatkan di dalam hatinya selama ia tidak membicarakannya atau melakukannya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ahmad).

Keempat: perbuatan buruk dicatat sebagai satu keburukan. Rasul hanya menyebut hidah, tidak menyebutkan kâmilah, isyarat bahwa keburukan itu tidak dilipatgandakan (QS al-An’am [6]: 160).

Bahkan keburukan itu mungkin terhapus oleh kebaikan yang dikakukan, mungkin juga diampuni oleh Allah sehingga dengan itu dia tidak dihukum karenanya.  WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

One comment

  1. ulasannya bagus sekali syukran ya akhi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*