Melawan Halusinasi

Pangkalan bun park

Oleh : Abdullah Zaid, Aktivis Kajian Sosial Politik, tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng

Halusinasi didefinisikan sebagai persepsi yang kuat atas suatu peristiwa atau objek yang sebenarnya tidak ada.  Jadi, seseorang dikategorikan berhalusinasi ketika memiliki impian, keinginan atau ketakutan yang sebenarnya tidak pernah terwujud dan tidak pernah ada dalam kenyataan. Siapapun tentu tidak ingin terserang atau mengidap wabah halusinasi. Pasalnya, halusinasi akan menjadikan kehidupan seseorang menjadi salah jalan akibat ketakutan yang berlebihan atau optimisme yang tidak rasional. Yang harus diwaspadai, halusinasi dapat menimpa siapapun tanpa memandang status dan pekerjaan seseorang. Buktinya, para pemimpin kita sebagai orang orang pilihan ternyata bisa juga terserang halusinasi.
Seperti penilaian pengamat politik Universitas Indonesia yang juga presidium  Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Boni Hargens. Dia menyebut isu kudeta yang dilontarkan Presiden SBY ke media merupakan bentuk halusinasi. Sebelumnya, Presiden SBY melemparkan isu adanya ancaman kudeta pada 25 maret mendatang  yang  bertepatan dengan aksi demonstrasi oleh MKRI.
Dalam pandangan penulis, wabah halusinasi sudah terjadi dimana mana dan bukan cuma di Jakarta. Maaf, wabah halusinasi ternyata juga menimpa para pemimpin daerah yang ada di Kalteng. Dua diantaranya adalah Bupati Kotawaringin Barat Ujang Iskandar dan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi.
Di Kobar, Bupati Ujang Iskandar getol menyuarakan pembangunan bandara Internasional yang berlokasi di Desa Sebuai dan Desa Keraya, Kecamatan Kumai. Bahkan, atas restu DPRD Kobar pada tahun ini sudah disusun rencana studi kelayakan yang menelan dana miliaran rupiah. Bukan cuma itu, Ujang bahkan sudah mempersiapkan rencana yang tak kalah prestisius yakni pembangunan pelabuhan laut internasional. Alasannya klasik, untuk mengembangkan sektor jasa, pariwisata dan memajukan ekonomi lokal. Di Kabupaten tentangga, Kotim tak kalah mentereng.
Meski mendapat penentangan publik, Bupati Supain Hadi bersikukuh untuk membangun Patung Ikan Jelawat sebagai ikon kota sampit dengan anggaran mencapai 40 miliar rupiah. Harapannya, keberadaan patung ikan jelawat bisa mendongkrak sektor pariwisata dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Sebagai warga Kobar, tak etis penulis mengomentari rencana pembangunan patung Ikan Jelawat. Namun, secara prinsip, kebijakan kedua kepala daerah tersebut menunjukkan gejala yang serupa yakni sama sama terserang wabah halunisasi. Bisa dikatakan perencanaan program pembangunan yang bergulir lebih mengedepankan ambisi dan asumsi pribadi si kepala daerah daripada realitas kekinian.
Namun, agar dapat diterima publik dan kalangan dewan, maka disusunlah sejumlah studi dan asumsi yang bertujuan untuk melegitimasi kebijakan sang kepala daerah. Bukan untuk menampikan objektivitas layak tidaknya rencana tersebut.
Tudingan ini bukan isapan jempol. Sebagai contoh, sebelum muncul proyek bandara internasional, Bupati Ujang Iskandar sudah pernah menggolkan sejumlah proyek prestisius. Dua antaranya yakni pabrik jagung PT. Agrotama Mandiri dan megaproyek Pangkalan Bun Park. Saat itu, Bupati berusaha meyakinkan DPRD dan publik bahwa kalau kedua proyek tersebut disetujui, maka akan mampu memajukan pembangunan dan peningkatan bagi pendapatan asli daerah. Agar semakin meyakinkan, ditunjuk tim konsultan untuk memaparkan hasil kajian yang –sekali lagi- mendukung ambisi sang kepala daerah. Namun, jauh panggang dari api. Bukan untung, masyarakat dan daerah justru buntung.
Hari ini, fakta membuktikan bahwa janji peningkatan pembangunan dan kesejahteraan hanya pepesan kosong dan tidak pernah terbukti. Pabrik Jagung yang hasil panennya akan diekspor ke Malaysia, sekarang tinggal puing puing besi beton yang mangkrak dan sudah tidak beroperasi.
Begitu juga Pangkalan Bun Park. Setelah sempat menjadi arena STQ tingkat Provinsi, praktis kondisinya saat ini terbengkalai tanpa peruntukan yang jelas. Rencana awalnya ingin dijadikan arena rekreasi, kini justru  menjadi sarang mesum dan balap liar. Sudah begitu, pengelolaan keuangan proyek Pangkalan Bun Park justru menjadi temuan oleh tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Bagaimana dengan nasib Patung Ikan Jelawat ? Akan kah bernasib sama dengan di Kobar ?  biarlah waktu dan masyarakat Kotim yang membuktikan.
Pastinya, akibat kesalahan asumsi dan dominasi ambisi sang Bupati telah menjadikan daerah mengalami kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Padahal, dana sebesar itu jika dikelola dengan baik akan mampu memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bisa dalam bentuk perbaikan infrastruktur jalan, pembangunan sekolah dan fasilitas sosial/rumah ibadah  Inilah yang menjadi bahaya dari halusinasi karena menjadikan para pemimpin kita buta dan tidak amanah dalam melihat persoalan dan kepentingan masyarakat.
Namun, sekali lagi hal ini bukanlah semata mata karena kelemahan individu dari sang kepala daerah tersebut. Melainkan lahir sebagai produk sistem demokrasi sekuler (pemisahan agama dengan kehidupan) yang menciptakan mindset (pola pikir) sekuler.
Dalam pandangan sekulerisme, jabatan merupakan sarana kekuasaan dan kesempatan untuk mendapatkan apapun. Mulai dari harta, citra diri hingga ambisi pribadi. Kalaupun ada embel embel pro rakyat, tak lebih sekedar pemanas bibir belaka. Begitu juga,  saat mengucapkan sumpah jabatan  menjadi sebatas seremonial belaka tanpa bekas dan menjadi panduan dalam menjalankan amanah. Alhasil, antara kepentingan rakyat dan kepentingan konglomerat menjadi beda beda tipis. Antara solusi dengan ilusi menjadi kabur dan sulit dibedakan. Yang terjadi justru kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang kian menggurita. Tak heran, berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri sejak 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat yang terlibat korupsi. Rinciannya, 227 gubernur terjerat korupsi. Di tingkat kabupaten kota dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus.
Untuk itu, sudah saatnya masyarakat sadar dan kritis atas berbagai kebijakan yang tidak menyentuh kepentingan publik. Sudah saatnya, masyarakat sadar bahwa ternyata sistem demokrasi sekuler hanya menghasilkan pemimpin yang haus kekuasaan dan mendatangkan kebinasaan bagi rakyat yang dipimpin.
Sudah saatnya kita sadar bahwa halusinasi demokrasi telah menjadikan suara rakyat sebagai ajang permainan para politisi kapitalis untuk meraih kekuasaan. Bukan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Sudah saatnya, masyarakat khususnya umat Islam sadar dan melawan halusinasi demokrasi yang terbukti gagal dan hanya menjual mimpi.  Sudah saatnya kita mengagas jalan baru perubahan yang nyata dan sudah terbukti menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua baik muslim maupun nonmuslim. Caranya, dengan memilih pemimpin yang baik dalam sistem yang baik pula. Itulah Khalifah (kepala negara) yang menegakkan Syariat Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Bukan demokrasi sekuler. Wallahualam. (Harian Borneonews, 1/4/2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*